Permukiman Padat Penduduk Berpotensi Jadi Pusat Penyebaran COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Permukiman padat penduduk berpotensi menjadi pusat penyebaran COVID-19 . Toh, sudah ada contoh cepatnya penyebaran virus corona di wilayah padat penduduk, seperti di India dan Singapura. Direktur Perkotaan Perumahan dan Permukiman Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti, menyampaikan permukiman padat penduduk memang menjadi titik rawan penyebaran virus corona.
Bappenas menyebut jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di Indonesia sudah mencapai 55. Tak heran, ada banyak pemukiman kumuh dan padat penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Tri menjelaskan situasi ini sudah menjadi tren global. Roda perekonomian di kota menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk migrasi dari desa. Ia menerangkan kepadatan di kota itu menimbulkan beberapa masalah, terutama ketersediaan perumahan. Lahan di wilayah perkotaan sangat terbatas dan lebih mahal.
“Kondisi perkotaan, seperti DKI Jakarta yang paling maju (di Indonesia) mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan. Perumahan yang layak belum memadai,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi COVID-19, Kamis (9/7/2020).
Berdasarkan data Bappenas, 40% penduduk di wilayah perkotaan tinggal di hunian yang belum layak, akses air minum, dan sanitasi belum memadai. Pemukiman padat penduduk biasanya jalannya tidak terlalu lebar sehingga tidak bisa diakses kendaraan. Kendala lainnya, pengelolaan sampah dan drainase yang belum baik.
Tri menerangkan pemukiman padat penduduk ini berpotensi menjadi pusat penyebaran penyakit dan wabah. Sebelum pagebluk COVID-19, sudah penyakit tuberkulosis (TBC) dan diare. Ada beberapa contoh COVID-19 begitu cepat menyebar di wilayah padat penduduk, yakni di Singapura dan India.
“Kita bisa memanfaatkan kondisi yang tidak baik ini, bukan memanfaatkan bencana, tapi menjadi momentum untuk mendorong kesadaran masyarakat perkotaan dan lebih produktif. Pencegahan lebih murah dan efisien dibandingkan kuratif,” pungkasnya.
Bappenas menyebut jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di Indonesia sudah mencapai 55. Tak heran, ada banyak pemukiman kumuh dan padat penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Tri menjelaskan situasi ini sudah menjadi tren global. Roda perekonomian di kota menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk migrasi dari desa. Ia menerangkan kepadatan di kota itu menimbulkan beberapa masalah, terutama ketersediaan perumahan. Lahan di wilayah perkotaan sangat terbatas dan lebih mahal.
“Kondisi perkotaan, seperti DKI Jakarta yang paling maju (di Indonesia) mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan. Perumahan yang layak belum memadai,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi COVID-19, Kamis (9/7/2020).
Berdasarkan data Bappenas, 40% penduduk di wilayah perkotaan tinggal di hunian yang belum layak, akses air minum, dan sanitasi belum memadai. Pemukiman padat penduduk biasanya jalannya tidak terlalu lebar sehingga tidak bisa diakses kendaraan. Kendala lainnya, pengelolaan sampah dan drainase yang belum baik.
Tri menerangkan pemukiman padat penduduk ini berpotensi menjadi pusat penyebaran penyakit dan wabah. Sebelum pagebluk COVID-19, sudah penyakit tuberkulosis (TBC) dan diare. Ada beberapa contoh COVID-19 begitu cepat menyebar di wilayah padat penduduk, yakni di Singapura dan India.
“Kita bisa memanfaatkan kondisi yang tidak baik ini, bukan memanfaatkan bencana, tapi menjadi momentum untuk mendorong kesadaran masyarakat perkotaan dan lebih produktif. Pencegahan lebih murah dan efisien dibandingkan kuratif,” pungkasnya.
(tri)