Pakar Kesehatan Lingkungan Unair: Jasad Dijadikan Kompos Berisiko Tularkan Penyakit

Jum'at, 18 November 2022 - 13:01 WIB
loading...
Pakar Kesehatan Lingkungan Unair: Jasad Dijadikan Kompos Berisiko Tularkan Penyakit
Ilustrasi mayat. Foto: Istimewa
A A A
SURABAYA - Pengomposan manusia dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi metode baru dalam menangani orang mati. Metode itu dianggap unggul, jika dibandingkan dengan pemakaman tradisional dan kremasi.

Metode baru ini juga telah legal di negara Colorado, Oregon, Vermont, Washington, dan Amerika.

Pengomposan manusia dilakukan dengan meninggalkan tubuh dalam wadah berisikan serpihan kayu dan bahan organik lainnya selama sekitar satu bulan. Kemudian, memanfaatkan bakteri untuk menjadi kompos.



Pakar Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, Prof Dr Ririh Yudhastuti menuturkan, pengomposan manusia terdapat resiko menularkan penyakit. Selain itu, pihaknya menilai itu tidaklah lazim di agama Islam.

“Karena takutnya akan menyebarkan penyakit. Contohnya hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit ini itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping. Itu artinya apa? kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa baru kita kubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman,” katanya, Jumat (18/11/2022).

Dia melanjutkan, dalam penanganan jasad terinfeksi COVID-19, tingkat penularannya tinggi. Yakni, jasad tersebut harus dikubur sedalam 3 meter atau lebih, serta tidak berada di sekitar sumber air.



“Itu baru satu penyakit, penyakit lain banyak seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian, itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada,” jelasnya.

Menurut Prof Ririh, negara seperti Colorado kemungkinan memiliki budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia.

“Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia) biasa di sana. Dan, di sana tanahnya kan kering, jadi tidak banyak ini,” tukasnya.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2426 seconds (0.1#10.140)