Pemerintah Pertimbangkan Protes Terhadap Qanun Jinayat Aceh

Sabtu, 08 November 2014 - 03:16 WIB
Pemerintah Pertimbangkan Protes Terhadap Qanun Jinayat Aceh
Pemerintah Pertimbangkan Protes Terhadap Qanun Jinayat Aceh
A A A
JAKARTA - Pemerintah sedang mempertimbangkan protes sejumlah masyarakat terhadap Peraturan Daerah Aceh tentang Pidana (Qanun Jinayat).

"Salah satu agenda rapat hari ini (dengan Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla). Ada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang belum selesai," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat 7 November 2014.

Dia mengatakan, sebanyak 85 qanun yang sedang dievaluasi pemerintah pusat, karena dinilai belum mengena seluruh lapisan masyarakat Aceh. "Kita serahkan pada Aceh lagi," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, rencananya pekan depan akan menggelar rapat kembali mengundang Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh. "Untuk menyamakan persepsi," ungkapnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Mahkamah Agung (MA) membatalkan Qanun Jinayat jika pelaksanaannya dipaksakan.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa peraturan daerah Aceh tentang Pidana (Qanun Jinayat) perlu ditunda pelaksanaan.

"Hal ini karena aturan tersebut memiliki muatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga berpotensi mengeroposi wawasan kebangsaan Indonesia dan integritas hukum nasional," ujar Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, kepada Sindonews dalam keterangan tertulisnya, Rabu 5 November.

Menurut Komnas Perempuan, enam persoalan pokok yang terkandung di dalam aturan tersebut yaitu menciptakan ketidakpastian hukum, menghilangkan jaminan perlindungan hukum, melemahkan perlindungan bagi anak, meneguhkan impunitas dan kriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual, mengokohkan bentuk hukuman yang tidak manusiawi dan melembagakan diskriminasi atas nama agama.

"Dalam situasi ini, perempuan, anak dan kelompok masyarakat yang marginal dan minoritas menjadi pihak yang paling dirugikan," tuturnya.

Dia mengatakan, Komnas Perempuan secara khusus prihatin bahwa dalam qanun ini menghilangkan hak perlindungan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Dia menambahkan, korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual tetap berhadapan dengan kemungkinan kriminalisasi dalam pengaturan tentang khalwath (berdua-duaan), ikhtilath (bermesraan) dan zina.

"Dalam pengaturan zina, sebab bukan lagi menjadi delik aduan maka seorang istri atau ibu kehilangan hak dan kesempatan untuk memutuskan yang terbaik bagi diri dan keluarganya berhadapan dengan situasi di mana suaminya melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain," katanya.

Komnas Perempuan lanjut dia, mencermati bahwa sejumlah banyak perempuan memilih untuk tidak memidanakan suaminya atas tuduhan zina demi kelangsungan hidup anaknya bebas dari stigma.

Selain itu, menurut dia, qanun ini mencerabut hak keadilan perempuan korban perkosaan.

"Qanun jinayat membuka celah besar impunitas pelaku perkosaan yang dapat melenggang dari tanggung jawabnya semata-mata dengan bersumpah, tidak melakukan tindak kejahatan tersebut ketika bukti tindak tersebut dianggap kurang oleh pengadilan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2448 seconds (0.1#10.140)