Kisah Sultan Agung Susah Payah Taklukkan Surabaya dan Hadang Pemberontakan Pati
loading...
A
A
A
Puncak dari serangan itu adalah menutup saluran air yang menjadi permasalahan Surabaya hingga abad ke-19. Itu merupakan pengepungan kelima yang dilakukan lebih sadis. Pasukan Mataram membendung aliran Sungai Brantas sebagai nadi kehidupan pusat kota Kadipaten Surabaya. Pasokan air yang tersisa masuk ke pusat kota Kadipaten Surabaya diracuni dengan bangkai binatang. Pusat kota Kadipaten Surabaya, mengalami bencana kekurangan makanan yang sangat dahsyat. Seluruh jalur pasokan logistik telah diblokade pasukan Mataram. Bahkan air yang masuk kota juga telah diracun dengan bangkai-bangkai binatang. Kelaparan dan wabah penyakit menjangkiti seluruh warga di pusat kota.
Penderitaan dahsyat yang dirasakan rakyat di pusat Kadipaten Surabaya tersebut memaksa Adipati Surabaya, Jayalengkara menggelar rapat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya usai pemberontakannya digagalkan Mataram menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram.
Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota menyarankan Jayalengkara untuk menyerah kepada kekuatan Mataram. Akhirnya, Jayalengkara memilih untuk menyerah kepada Sultan Agung. Karena usianya yang sudah senja Jayalengkara akhirnya meninggal dunia tak lama usai Kadipaten Surabaya ditaklukkan Mataram.
Surabaya akhirnya takluk dengan segala penderitaannya. Wabah penyakit dan kelaparan yang mematikan menjadi hantu menakutkan bagi warga kadipaten yang pernah besar dan menguasai timur Jawa.
Pati Bergejolak
Di tengah ekspansi Surabaya, Pati bergejolak dan melakukan pemberontakan maka meletuslah perang pati, itu merupakan akhir dari hubungan Mataram-Pati.
Sultan Agung dan Adipati Pragola II penguasa Pati, merupakan kakak dan adik ipar, Adipati beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yang merupakan Adik Sultan Agung.
Namun pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Ia tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram.
Daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat, karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan.
Baca Juga
Penderitaan dahsyat yang dirasakan rakyat di pusat Kadipaten Surabaya tersebut memaksa Adipati Surabaya, Jayalengkara menggelar rapat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya usai pemberontakannya digagalkan Mataram menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram.
Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota menyarankan Jayalengkara untuk menyerah kepada kekuatan Mataram. Akhirnya, Jayalengkara memilih untuk menyerah kepada Sultan Agung. Karena usianya yang sudah senja Jayalengkara akhirnya meninggal dunia tak lama usai Kadipaten Surabaya ditaklukkan Mataram.
Surabaya akhirnya takluk dengan segala penderitaannya. Wabah penyakit dan kelaparan yang mematikan menjadi hantu menakutkan bagi warga kadipaten yang pernah besar dan menguasai timur Jawa.
Pati Bergejolak
Di tengah ekspansi Surabaya, Pati bergejolak dan melakukan pemberontakan maka meletuslah perang pati, itu merupakan akhir dari hubungan Mataram-Pati.
Sultan Agung dan Adipati Pragola II penguasa Pati, merupakan kakak dan adik ipar, Adipati beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yang merupakan Adik Sultan Agung.
Namun pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Ia tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram.
Daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat, karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan.