Mahkota Binokasih, Pusaka Pajajaran yang Dipakai untuk Penobatan Raja Sumedang
loading...
A
A
A
Mahkota Binokasih merupakan peninggalan Kerajaan Sumedang Larang. Mahkota ini dibuat atas prakarsa Sanghyang Bunisora Suradipati, raja Galuh (1357-1371).
Mahkota ini digunakan raja-raja Sunda selanjutnya dalam upacara pelantikan raja baru dan menjadi benda pusaka kerajaan hingga Kerajaan Sunda runtuh.
Pada waktu ibu kota kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran diserbu oleh pasukan Banten (1579), mahkota ini diselamatkan oleh para pembesar kerajaan Sunda yang berhasil meloloskan diri, yaitu: Sayang Hawu, Térong Péot, dan Kondang Hapa.
Baca juga: Aturan Perkawinan di Kerajaan Majapahit, Suami Sakit Selama 3 Tahun Perempuan Boleh Kawin Lagi
Selanjutnya mahkota ini dibawa ke Sumedang Larang dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun dengan harapan dapat menggantikan dan melanjutkan keberadaan dan kejayaan kerajaan Sunda.
Sejak itu mahkota ini menjadi benda pusaka para raja Sumedang Larang dan kemudian para bupati Sumedang. Sejak pemerintahan Bupati Pangeran Suria Kusumah Adinata atau Pangeran Sugih (1836-1882) mahkota tersebut dipakai untuk hiasan kepala pengantin keluarga bupati Sumedang.
Kekuatan Pajajaran Melemah
Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri Raja Sumedang Larang ke-9, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah di beberapa daerah termasuk Sumedang. Kondisi ini disebabkan serangan Banten. Beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten .
Mengutip Okezone.com, kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang,
Berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi. "Di tengah perjalanan rombongan dibagi dua, rombongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan," kata Latif Kabid Cagar Budaya Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara (MCKN) Jabar .
Latif yang juga kerabat Keraton Sumedang menerangkan, pada 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang, Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante.
Mereka dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa. Mereka adalah Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot yang membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371).
Raja Sumedang Larang
Mahkota tersebut kemudian diserahkan kepada penguasa Sumedanglarang. Pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601), sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang). .
Selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
“Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya,"ucapnya.
Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa, dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara.
Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja, sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun.
Tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.(diolah berbagai sumber)
Mahkota ini digunakan raja-raja Sunda selanjutnya dalam upacara pelantikan raja baru dan menjadi benda pusaka kerajaan hingga Kerajaan Sunda runtuh.
Pada waktu ibu kota kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran diserbu oleh pasukan Banten (1579), mahkota ini diselamatkan oleh para pembesar kerajaan Sunda yang berhasil meloloskan diri, yaitu: Sayang Hawu, Térong Péot, dan Kondang Hapa.
Baca juga: Aturan Perkawinan di Kerajaan Majapahit, Suami Sakit Selama 3 Tahun Perempuan Boleh Kawin Lagi
Selanjutnya mahkota ini dibawa ke Sumedang Larang dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun dengan harapan dapat menggantikan dan melanjutkan keberadaan dan kejayaan kerajaan Sunda.
Sejak itu mahkota ini menjadi benda pusaka para raja Sumedang Larang dan kemudian para bupati Sumedang. Sejak pemerintahan Bupati Pangeran Suria Kusumah Adinata atau Pangeran Sugih (1836-1882) mahkota tersebut dipakai untuk hiasan kepala pengantin keluarga bupati Sumedang.
Kekuatan Pajajaran Melemah
Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri Raja Sumedang Larang ke-9, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah di beberapa daerah termasuk Sumedang. Kondisi ini disebabkan serangan Banten. Beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten .
Mengutip Okezone.com, kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang,
Berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi. "Di tengah perjalanan rombongan dibagi dua, rombongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan," kata Latif Kabid Cagar Budaya Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara (MCKN) Jabar .
Latif yang juga kerabat Keraton Sumedang menerangkan, pada 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang, Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante.
Mereka dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa. Mereka adalah Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot yang membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371).
Raja Sumedang Larang
Mahkota tersebut kemudian diserahkan kepada penguasa Sumedanglarang. Pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601), sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang). .
Selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
“Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya,"ucapnya.
Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa, dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara.
Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja, sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun.
Tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.(diolah berbagai sumber)
(msd)