Kisah Penyiksaan dan Intimidasi oleh Polisi Hindia Belanda Bikin Heboh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus kekerasan di Kepolisian pada masa kolonial Belanda bikin geger dan membuat heboh publik Hindia Belanda. Praktik kekerasan polisi terhadap para terduga pelaku kejahatan dan saksi perkara pelanggaran, membuat lembaga Kejaksaan Agung Hindia Belanda gerah dan mengambil tindakan.
Kinerja polisi yang ditengarai banyak tercemari pelanggaran tata tertib dan disiplin resmi diselidiki pada November 1930. Semua pimpinan kepolisian di wilayah kerja masing-masing, diminta melaporkan pelanggaran yang dilakukan anak buahnya.
“Jaksa Agung R.J.M. Verheijen memerintahkan agar semua kepala kepolisian setempat (para residen dan gubernur) membuat laporan bulanan tentang pelanggaran tata tertib dan disiplin di kepolisian serta tindakan yang diambil terhadapnya,” tulis Marieke Bloembergen dalam buku Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Kepolisian Kolonial Hindia Belanda mulai dikembangkan menjadi kepolisian kolonial modern sejak tahun 1900 hingga 1930. Dalam upaya itu, kepolisian telah memiliki kekuatan maksimal 54.000 orang personil, dengan 96 persen di antaranya orang Indonesia atau pribumi.
Munculnya tindakan Kejaksaan Agung menyelidiki kasus kekerasan di tubuh kepolisian Hindia Belanda berawal dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap cara polisi dalam mengungkap kasus.
Cara-cara kekerasan sering dipakai dalam proses penyelidikan. Terduga pelaku dan saksi-saksi kerap dianiaya.
Mereka disiksa, digebuki, ditekan, dipaksa-paksa, diintimidasi agar polisi memperoleh pengakuan sesuai yang diinginkan. Cara polisi untuk mendapatkan tersangka sebuah perkara pelanggaran dinilai telah menyalahgunakan kewenangan.
“Korban dari tindak kekerasan polisi kebanyakan adalah para tahanan golongan bumiputera atau mereka yang diduga bersalah melanggar undang-undang (tersangka pelaku pencurian, pelanggaran lalu lintas)”.
Dalam ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) BB (Binnelands Bestuur) inv.nr (invetarisnummer) 3403, tercatat pada kurun waktu Desember 1930 hingga Agustus 1931dan 1935, masuk 489 pengaduan. Penyalahgunaan kekerasan oleh polisi sering kali terjadi tanpa adanya saksi lain kecuali korban sendiri.
Praktik kekerasan melibatkan polisi mulai pangkat rendah hingga tinggi. Polisi pangkat rendah yang dimaksud di antaranya agen polisi atau reserse atau taruna reserse. Kemudian pangkat tinggi, di antaranya komandan pos jaga (posthuiscommandant), mantri polisi, agen besar (hoofdagent) dan pengawas polisi (politieoopziener).
Pelanggaran juga melibatkan beberapa pejabat Eropa. Yang dilaporkan saat itu di antaranya kepolisian wilayah Residen Cirebon, Jawa Barat, Probolinggo, dan Jember, Jawa Timur. “Dari 81 pelanggaran yang dilaporkan, kebanyakan (dalam 58 kali pengaduan) dilakukan oleh agen polisi Jawa,” tulis Marieke Bloembergen.
Upaya Kejaksaan Agung untuk menghentikan praktik kekerasan yang dilakukan polisi di Hindia Belanda, tidak sepenuhnya berjalan maksimal. Terdorong untuk melindungi anggota, tidak sedikit pimpinan kepolisian wilayah memberikan laporan sesuai kenyataan. Banyak yang menyampaikan keterangan nihil.
Dari sebanyak 489 pengaduan yang masuk selama Desember 1930 sampai Agustus 1931 dan 1935, 362 aduan di antaranya diberi catatan nihil. Kemudian dari 263 pengaduan, 205 di antaranya juga mendapat keterangan nihil. Artinya catatan nihil sama sekali tidak bermakna.
Keterangan residen yang merujuk dari keterangan korban, kerap kali bertentangan dengan laporan yang dibuat komandan polisi yang cenderung bersikap melindungi bawahannya yang bersalah.
Selain itu, para pimpinan kepolisian juga menempuh upaya memperingan kesalahan bawahan, sehingga jatuh kesimpulan sebagai pelanggaran ringan. Sebab untuk pelanggaran yang terbukti berat, sanksi tahanan, denda, hingga pemecatan siap menanti.
“Ringan di sini dimaksudkan adalah tamparan satu atau beberapa kali, biasanya di wajah, satu kali pukulan ke kepala, satu kali dengan tambahan didorong secara kasar sampai korban terjatuh,” demikian mengacu pada ANRI, BB,inv.nr.3403, Yogyakarta.
Sementara tindak kekerasan dalam interogasi yang digolongkan pelanggaran berat adalah menendang dan memukul, memukul dengan tongkat karet atau tongkat besi sehingga berakibat fatal, bahkan tewas. Di sisi lain, tidak semua residen aktif mengawasi sekaligus melaporkan dugaan adanya pelanggaran kepolisian.
Yang terungkap kemudian, polisi yang melakukan kekerasan dan dijatuhi hukuman ringan serta denda diketahui memiliki riwayat ringan tangan. Dugaan adanya kekerasan yang dilakukan secara sistemik menjadi sulit dibuktikan. Begitu juga dengan peran dan tanggung jawab pimpinan tertinggi kepolisian (komandan detasemen dan komisaris polisi), tampak sangat kabur.
Di internal kepolisian, terutama di tingkat pimpinan tidak terlihat upaya mencegah atau menunda pendayagunaan kekerasan. “Padahal merekalah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pengawasan penataan disiplin serta kualitas kepolisian,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Kinerja polisi yang ditengarai banyak tercemari pelanggaran tata tertib dan disiplin resmi diselidiki pada November 1930. Semua pimpinan kepolisian di wilayah kerja masing-masing, diminta melaporkan pelanggaran yang dilakukan anak buahnya.
“Jaksa Agung R.J.M. Verheijen memerintahkan agar semua kepala kepolisian setempat (para residen dan gubernur) membuat laporan bulanan tentang pelanggaran tata tertib dan disiplin di kepolisian serta tindakan yang diambil terhadapnya,” tulis Marieke Bloembergen dalam buku Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Kepolisian Kolonial Hindia Belanda mulai dikembangkan menjadi kepolisian kolonial modern sejak tahun 1900 hingga 1930. Dalam upaya itu, kepolisian telah memiliki kekuatan maksimal 54.000 orang personil, dengan 96 persen di antaranya orang Indonesia atau pribumi.
Munculnya tindakan Kejaksaan Agung menyelidiki kasus kekerasan di tubuh kepolisian Hindia Belanda berawal dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap cara polisi dalam mengungkap kasus.
Cara-cara kekerasan sering dipakai dalam proses penyelidikan. Terduga pelaku dan saksi-saksi kerap dianiaya.
Mereka disiksa, digebuki, ditekan, dipaksa-paksa, diintimidasi agar polisi memperoleh pengakuan sesuai yang diinginkan. Cara polisi untuk mendapatkan tersangka sebuah perkara pelanggaran dinilai telah menyalahgunakan kewenangan.
“Korban dari tindak kekerasan polisi kebanyakan adalah para tahanan golongan bumiputera atau mereka yang diduga bersalah melanggar undang-undang (tersangka pelaku pencurian, pelanggaran lalu lintas)”.
Dalam ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) BB (Binnelands Bestuur) inv.nr (invetarisnummer) 3403, tercatat pada kurun waktu Desember 1930 hingga Agustus 1931dan 1935, masuk 489 pengaduan. Penyalahgunaan kekerasan oleh polisi sering kali terjadi tanpa adanya saksi lain kecuali korban sendiri.
Praktik kekerasan melibatkan polisi mulai pangkat rendah hingga tinggi. Polisi pangkat rendah yang dimaksud di antaranya agen polisi atau reserse atau taruna reserse. Kemudian pangkat tinggi, di antaranya komandan pos jaga (posthuiscommandant), mantri polisi, agen besar (hoofdagent) dan pengawas polisi (politieoopziener).
Pelanggaran juga melibatkan beberapa pejabat Eropa. Yang dilaporkan saat itu di antaranya kepolisian wilayah Residen Cirebon, Jawa Barat, Probolinggo, dan Jember, Jawa Timur. “Dari 81 pelanggaran yang dilaporkan, kebanyakan (dalam 58 kali pengaduan) dilakukan oleh agen polisi Jawa,” tulis Marieke Bloembergen.
Upaya Kejaksaan Agung untuk menghentikan praktik kekerasan yang dilakukan polisi di Hindia Belanda, tidak sepenuhnya berjalan maksimal. Terdorong untuk melindungi anggota, tidak sedikit pimpinan kepolisian wilayah memberikan laporan sesuai kenyataan. Banyak yang menyampaikan keterangan nihil.
Dari sebanyak 489 pengaduan yang masuk selama Desember 1930 sampai Agustus 1931 dan 1935, 362 aduan di antaranya diberi catatan nihil. Kemudian dari 263 pengaduan, 205 di antaranya juga mendapat keterangan nihil. Artinya catatan nihil sama sekali tidak bermakna.
Keterangan residen yang merujuk dari keterangan korban, kerap kali bertentangan dengan laporan yang dibuat komandan polisi yang cenderung bersikap melindungi bawahannya yang bersalah.
Selain itu, para pimpinan kepolisian juga menempuh upaya memperingan kesalahan bawahan, sehingga jatuh kesimpulan sebagai pelanggaran ringan. Sebab untuk pelanggaran yang terbukti berat, sanksi tahanan, denda, hingga pemecatan siap menanti.
“Ringan di sini dimaksudkan adalah tamparan satu atau beberapa kali, biasanya di wajah, satu kali pukulan ke kepala, satu kali dengan tambahan didorong secara kasar sampai korban terjatuh,” demikian mengacu pada ANRI, BB,inv.nr.3403, Yogyakarta.
Sementara tindak kekerasan dalam interogasi yang digolongkan pelanggaran berat adalah menendang dan memukul, memukul dengan tongkat karet atau tongkat besi sehingga berakibat fatal, bahkan tewas. Di sisi lain, tidak semua residen aktif mengawasi sekaligus melaporkan dugaan adanya pelanggaran kepolisian.
Yang terungkap kemudian, polisi yang melakukan kekerasan dan dijatuhi hukuman ringan serta denda diketahui memiliki riwayat ringan tangan. Dugaan adanya kekerasan yang dilakukan secara sistemik menjadi sulit dibuktikan. Begitu juga dengan peran dan tanggung jawab pimpinan tertinggi kepolisian (komandan detasemen dan komisaris polisi), tampak sangat kabur.
Di internal kepolisian, terutama di tingkat pimpinan tidak terlihat upaya mencegah atau menunda pendayagunaan kekerasan. “Padahal merekalah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pengawasan penataan disiplin serta kualitas kepolisian,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan.
(shf)