Respons UU HKPD, Adnan Soroti Belanja Pegawai dan Mandatory
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan , memberikan respons terkait kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Menurutnya, UU HKPD yang saat ini sementara disusun peraturan pemerintah (PP)-nya harusnya melihat perspektif pemerintah daerah yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga pemerintah pusat sebaiknya tidak melihat kondisi pemerintah daerah yang ada di Pulau Jawa, sebab beberapa pemerintah daerah lainnya akan kesulitan jika menerapkan aturan tersebut.
"Beberapa kebijakan yang akan diterapkan dalam aturan ini akan sulit untuk dilaksanakan di daerah seperti terkait batasan belanja pegawai dan belanja mandatory," katanya saat menghadiri Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, belum lama ini.
Lanjut Adnan , misalnya pada belanja pegawai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 30 persen. Aturan ini tentunya sangat berat untuk daerah ikuti, apalagi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) masuk dalam komponen belanja pegawai.
"APBD daerah yang besar hingga 40 miliar mungkin tidak masalah dengan 30 persen namun bagaimana dengan daerah yang mengharap dari Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)," terang Adnan.
Kondisi ini juga ditambah dengan beban P3K yang oleh kebijakan pusat penggangarannya diserahkan ke pemerintah daerah. Belum lagi dengan rencana penghapusan honorer menjadi P3K atau outsourching, kondisi ini akan menambah anggaran belanja pegawai.
"Kami memberikan saran agar dalam PP tersebut perlu dibuatkan klasifikasi daerah terkait belanja pegawai ini. Daerah yang APBD dan PAD kuat boleh diangka 30 persen namun untuk daerah yang masih mengandalkan TKDD ini perlu dibuatkan aturan main khusus," harap Sekjen APKASI ini.
Terkait belanja mandatory yang menstandarkan biaya infrastruktur sebesar 40 persen juga menjadi kendala di pemerintah daerah.
"Belanja infrastruktur dari 20 persen menjadi 40 persen kendala bagi pemda . Jika belanja pegawai 30 persen ditambah lagi kewajiban mengalokasikan pendidikan 20 persen kesehatan 10 persen dana desa 10 persen dana kelurahan 5 persen dan BPJS maka alokasi dana saja sudah lebih dari 100 persen. Sedangkan kami di daerah masih memiliki 27SKPD yang membutuhkan anggaran," jelas Adnan secara terperinci.
Olehnya sangat diharapkan pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan juga bisa berkordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar pedoman penyusunan anggaran disamakan dengan aturan di Kemendagri.
Apalagi mulai 2023 beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Pilkades serentak dan 2024 sudah memasuki tahun Pilkada yang semua pembiayaannya menjadi beban anggaran daerah. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk menyesuaikan dengan mandatory.
Menurutnya, UU HKPD yang saat ini sementara disusun peraturan pemerintah (PP)-nya harusnya melihat perspektif pemerintah daerah yang berbeda-beda di setiap wilayah. Sehingga pemerintah pusat sebaiknya tidak melihat kondisi pemerintah daerah yang ada di Pulau Jawa, sebab beberapa pemerintah daerah lainnya akan kesulitan jika menerapkan aturan tersebut.
"Beberapa kebijakan yang akan diterapkan dalam aturan ini akan sulit untuk dilaksanakan di daerah seperti terkait batasan belanja pegawai dan belanja mandatory," katanya saat menghadiri Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulsel, belum lama ini.
Lanjut Adnan , misalnya pada belanja pegawai yang ditetapkan tidak boleh lebih dari 30 persen. Aturan ini tentunya sangat berat untuk daerah ikuti, apalagi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) masuk dalam komponen belanja pegawai.
"APBD daerah yang besar hingga 40 miliar mungkin tidak masalah dengan 30 persen namun bagaimana dengan daerah yang mengharap dari Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)," terang Adnan.
Kondisi ini juga ditambah dengan beban P3K yang oleh kebijakan pusat penggangarannya diserahkan ke pemerintah daerah. Belum lagi dengan rencana penghapusan honorer menjadi P3K atau outsourching, kondisi ini akan menambah anggaran belanja pegawai.
"Kami memberikan saran agar dalam PP tersebut perlu dibuatkan klasifikasi daerah terkait belanja pegawai ini. Daerah yang APBD dan PAD kuat boleh diangka 30 persen namun untuk daerah yang masih mengandalkan TKDD ini perlu dibuatkan aturan main khusus," harap Sekjen APKASI ini.
Terkait belanja mandatory yang menstandarkan biaya infrastruktur sebesar 40 persen juga menjadi kendala di pemerintah daerah.
"Belanja infrastruktur dari 20 persen menjadi 40 persen kendala bagi pemda . Jika belanja pegawai 30 persen ditambah lagi kewajiban mengalokasikan pendidikan 20 persen kesehatan 10 persen dana desa 10 persen dana kelurahan 5 persen dan BPJS maka alokasi dana saja sudah lebih dari 100 persen. Sedangkan kami di daerah masih memiliki 27SKPD yang membutuhkan anggaran," jelas Adnan secara terperinci.
Olehnya sangat diharapkan pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan juga bisa berkordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar pedoman penyusunan anggaran disamakan dengan aturan di Kemendagri.
Apalagi mulai 2023 beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Pilkades serentak dan 2024 sudah memasuki tahun Pilkada yang semua pembiayaannya menjadi beban anggaran daerah. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk menyesuaikan dengan mandatory.
(tri)