Bripda Diego Rumaropen Gugur, Ratusan Keluarga Datangi Kapolda Papua Tuntut Keadilan
loading...
A
A
A
WAMENA - Gugurnya Bripda Fernad Diego Rumaropen, membuat keluarga besarnya terpukul. Bukan itu saja, gugurnya polisi muda asli Papua ini juga masih menyisakan banyak misteri bagi keluarga korban.
Ada sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh pihak keluarga, dalam peristiwa gugurnya anggota polisi berusia 19 tahun ini. Bripda Fernad Diego Rumaropen, baru bertugas enam bulan sebagai anggota pasukan elite Polri di Batalyon D Wamena, Satuan Brimob Polda Papua.
Demi mendapatkan keadilan, dan menjawab misteri yang masih ada dibenak keluarga almarhum, ratusan keluarga Bripda Fernad Diego Rumaropen mendatangi langsung Kapolda Papua, Irjen Pol. Mathius D Fakhri di lapangan apel Mapolres Jayawijaya, Wamena, Selasa (21/6/2022).
Jenderal bintang dua polisi tersebut, berkunjung ke Wamena, untuk memimpin langsung proses pengejaran para pelaku penyerangan yang menyebabkan Bripda Fernad Diego Rumaropen meninggal dunia.
Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Kapolda Papua. Mereka menuntut keadilan bagi anak atau cucu mereka yang gugur dalam insiden berdarah, pada Sabtu (18/6/2022) di Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya.
Dalam pertemuan itu keluarga almarhum menyampaikan sejumlah kejanggalan atas meninggalnya Gogo sapaan akrab Bripda Fernad Diego Rumaropen. Paman korban, Erik Merani menyatakan, kejadian yang menimpa keponakannya adalah murni kelalaian dari Komandan Kompi, AKP Rustam yang saat itu mengajak Gogo pergi menembak sapi di daerah Napua, yang termasuk daerah merah tempat perlintasan KKB.
Erik Merani yang juga merupakan anggota Pasukan Elite Polri, dari Satuan Densus 88 ini menuntut agar AKP Rustam harus dihukum dengan hukuman yang setimpal. "Ada berita yang beredar bahwa ini ulah KKB. Menurut saya ini janggal, kalau senjata direbut Dankinya juga pasti diserang KKB," ungkapnya.
Sementara itu Pendeta Alexander Mauri yang mewakili pihak keluarga besar almarhum, meminta agar hukum ditegakkan seadil-adilnya, karena bertanggungjawab atas meninggalnya Bripda Fernad Diego Rumaropen.
"Moyang Diego pionir pembangunan di Wamena, dan juga Polri di Papua. Jadi kami minta hukum ditegakkan. Kenapa komandannya pergi sendiri, meninggalkan anak yang masih magang. Terlalu keji peristiwa ini. Kami minta ada keadilan," tegas Alexander Mauri.
Alexander Mauri menyebut, ada yang telah merusak citra Polri. "Proses ini benar-benar janggal, senjata digunakan untuk menembak sapi. Kami menduga ada penjualan senjata, dan menumbalkan anak kami," tegasnya.
Sementara itu Mathius D. Fakhri mengatakan, atas nama pribadi dan Polda Papua, menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya putra Papua terbaik, almarhum Bripda Fernando Diego Rumaropen.
"Kami akan cari sampai kemanapun. Kami tidak akan toleransi. Saya minta dukungan keluarga dengan bantuan doa, agar kami temukan pelaku. Masalah ini sementara ditangani dan kami trasparan. Komandannya bersalah secara SOP, dan kami copot dari jabatannya," tegas Mathius.
Menurutnya, dalam institusi Polri ada dua aturan, yakni proses secara internal dan peradilan. Sehingga akan terlihat apakah yang bersangkutan melanggar SOP dan pidana. "Saya meminta keluarga untuk bersabar, dengan proses penyelidikan yang sementara dilakukan. Saya mohon waktu, kita percayakan proses yang sedang berjalan. Tidak perlu saling berburuk sangka, karena duka keluarga bisa dimanfaatkan pihak lain," pungkasnya.
Baca Juga
Ada sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh pihak keluarga, dalam peristiwa gugurnya anggota polisi berusia 19 tahun ini. Bripda Fernad Diego Rumaropen, baru bertugas enam bulan sebagai anggota pasukan elite Polri di Batalyon D Wamena, Satuan Brimob Polda Papua.
Demi mendapatkan keadilan, dan menjawab misteri yang masih ada dibenak keluarga almarhum, ratusan keluarga Bripda Fernad Diego Rumaropen mendatangi langsung Kapolda Papua, Irjen Pol. Mathius D Fakhri di lapangan apel Mapolres Jayawijaya, Wamena, Selasa (21/6/2022).
Baca Juga
Jenderal bintang dua polisi tersebut, berkunjung ke Wamena, untuk memimpin langsung proses pengejaran para pelaku penyerangan yang menyebabkan Bripda Fernad Diego Rumaropen meninggal dunia.
Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Kapolda Papua. Mereka menuntut keadilan bagi anak atau cucu mereka yang gugur dalam insiden berdarah, pada Sabtu (18/6/2022) di Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya.
Dalam pertemuan itu keluarga almarhum menyampaikan sejumlah kejanggalan atas meninggalnya Gogo sapaan akrab Bripda Fernad Diego Rumaropen. Paman korban, Erik Merani menyatakan, kejadian yang menimpa keponakannya adalah murni kelalaian dari Komandan Kompi, AKP Rustam yang saat itu mengajak Gogo pergi menembak sapi di daerah Napua, yang termasuk daerah merah tempat perlintasan KKB.
Baca Juga
Erik Merani yang juga merupakan anggota Pasukan Elite Polri, dari Satuan Densus 88 ini menuntut agar AKP Rustam harus dihukum dengan hukuman yang setimpal. "Ada berita yang beredar bahwa ini ulah KKB. Menurut saya ini janggal, kalau senjata direbut Dankinya juga pasti diserang KKB," ungkapnya.
Sementara itu Pendeta Alexander Mauri yang mewakili pihak keluarga besar almarhum, meminta agar hukum ditegakkan seadil-adilnya, karena bertanggungjawab atas meninggalnya Bripda Fernad Diego Rumaropen.
"Moyang Diego pionir pembangunan di Wamena, dan juga Polri di Papua. Jadi kami minta hukum ditegakkan. Kenapa komandannya pergi sendiri, meninggalkan anak yang masih magang. Terlalu keji peristiwa ini. Kami minta ada keadilan," tegas Alexander Mauri.
Alexander Mauri menyebut, ada yang telah merusak citra Polri. "Proses ini benar-benar janggal, senjata digunakan untuk menembak sapi. Kami menduga ada penjualan senjata, dan menumbalkan anak kami," tegasnya.
Sementara itu Mathius D. Fakhri mengatakan, atas nama pribadi dan Polda Papua, menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya putra Papua terbaik, almarhum Bripda Fernando Diego Rumaropen.
"Kami akan cari sampai kemanapun. Kami tidak akan toleransi. Saya minta dukungan keluarga dengan bantuan doa, agar kami temukan pelaku. Masalah ini sementara ditangani dan kami trasparan. Komandannya bersalah secara SOP, dan kami copot dari jabatannya," tegas Mathius.
Menurutnya, dalam institusi Polri ada dua aturan, yakni proses secara internal dan peradilan. Sehingga akan terlihat apakah yang bersangkutan melanggar SOP dan pidana. "Saya meminta keluarga untuk bersabar, dengan proses penyelidikan yang sementara dilakukan. Saya mohon waktu, kita percayakan proses yang sedang berjalan. Tidak perlu saling berburuk sangka, karena duka keluarga bisa dimanfaatkan pihak lain," pungkasnya.
(eyt)