Kisah Johar Manik Naik Kuda Putih Kyai Bangkol, Senopati Sakti Mandraguna Kepercayaan Pangeran Diponegoro
loading...
A
A
A
SALATIGA - Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah senopati perang yang handal saat perang mengusir pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah senopati Johar Manik.
Konon Johar Manik menjadi senopati andalan Pangeran Diponegoro lantaran ahli strategi perang. Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, juga memiliki kemampuan kemampaun supranatural alias kesaktian.
Kesaktian itu didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur).
Sebagai salah satu senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dilakukannya. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak musuh.
Ketika terdesak, beliau bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya warga pribumi yang disebut londo ireng ( Belanda hitam).
Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinannya yaitu Pangeran Diponegoro menjadikannya begitu sangat dekat dan akrab dengan Sang Pangeran. Kadangkala Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, Kabupaten Magelang secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang.
Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik pun mendapat semacam ‘mobil dinas’ berupa seekor kuda berwarna putih dari Sang Pangeran agar bisa dipakai untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kyai Bangkol.
Menurut Agustina Sri Kuntarsih, cucu canggah Johar Manik, dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya dari prajurit keraton yang memihak Belanda, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit.
Dalam peperangan, Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah.
Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
"Kudanya sudah sangat terlatih dan ketika Mbah Johar Manik terluka parah, langsung menuju tempat persembunyiannya di Sumogawe,” kata Sri Kuntrasih.
Di Sumogawe ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun nyawanya akhirnya tidak tertolong.
Sebelum meninggal, Johar Manik yang asli Bantul tersebut berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo.
Jenasah Johar Manik pun akhirnya dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo. “ Mbah Johar juga berpesan kepada anaknya agar makamnya jangan diberi cungkup atau rumah-rumahan dan tidak boleh dibuat permanen seperti diberi nisan,” kata Kuntrasih.
Pesan dari mbah Johar Manik itu pun dipegang teguh oleh anak cucunya hingga sekarang. Hanya pernah suatu kali salah seorang cucunya membuatkan cungkup makam.
Namun tak lama kemudian cungkup itu tersapu angin kencang yang entah datangnya dari mana. “ Bapak saya pernah membuatkan cungkup, namun tak lama cungkup itu tersapu angin. Sejak saat itu sudah tidak ada lagi yang mencoba membuatkan cungkup Mbah Johar,” ujarnya.
Dia menceritakan, pernah suatu kali ada orang tak dikenal yang mecoba memperindah makam Johar Manik yang sebelumnya hanya gundukan tanah yang dikelilingi bata dengan memberi semen.
"Niatnya baik, memperindah dan merapikan makam yang hanya tumpukan bata, namun setelah disemen, bebera hari kemudian semennya lepas. Sekarang dibiarkan apa adanya," pungkasnya.
Konon Johar Manik menjadi senopati andalan Pangeran Diponegoro lantaran ahli strategi perang. Johar Manik yang ditugaskan di wilayah Salatiga dan sekitarnya, juga memiliki kemampuan kemampaun supranatural alias kesaktian.
Kesaktian itu didapat setelah Johar Manik gemar tirakat, baik itu puasa maupun melek (tidak tidur).
Sebagai salah satu senopati andalan Pangeran Diponegoro, berbagai medan pertempuran sengit melawan Belanda dilakukannya. Baik ketika bisa mengalahkan pasukan musuh atau terpaksa mundur karena terdesak musuh.
Ketika terdesak, beliau bersama laskarnya sering dikejar-kejar Belanda dan antek-anteknya warga pribumi yang disebut londo ireng ( Belanda hitam).
Kesetiaan Johar Manik terhadap pimpinannya yaitu Pangeran Diponegoro menjadikannya begitu sangat dekat dan akrab dengan Sang Pangeran. Kadangkala Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo, Kabupaten Magelang secara diam-diam berkunjung ke Blondo, Salatiga untuk sekedar ngobrol atau mengatur strategi perang.
Karena jabatannya sebagai senopati perang, Johar Manik pun mendapat semacam ‘mobil dinas’ berupa seekor kuda berwarna putih dari Sang Pangeran agar bisa dipakai untuk mobilitas dalam peperangan. Kuda putih itu diberi nama Kyai Bangkol.
Menurut Agustina Sri Kuntarsih, cucu canggah Johar Manik, dalam sebuah penyergapan di Salatiga yang dilakukan oleh Belanda dan antek-anteknya dari prajurit keraton yang memihak Belanda, Johar Manik yang saat itu terkepung tetap melakukan perlawanan sengit.
Dalam peperangan, Johar Manik yang saat itu menunggangi kuda, tertusuk tombak di badannya hingga menderita luka parah.
Meski demikian, dia masih tetap bisa mengendalikan kuda tunggangannya menuju tempat persembunyiannya di daerah Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
"Kudanya sudah sangat terlatih dan ketika Mbah Johar Manik terluka parah, langsung menuju tempat persembunyiannya di Sumogawe,” kata Sri Kuntrasih.
Di Sumogawe ada Pangeran Sumonegoro yang merupakan saudara Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang melawan penjajah. Johar Manik yang terluka parah kemudian dirawat, namun nyawanya akhirnya tidak tertolong.
Sebelum meninggal, Johar Manik yang asli Bantul tersebut berpesan kepada anaknya Karmin Karyodino agar dimakamkan di dekat rumahnya, yaitu di sekitaran Blondo.
Jenasah Johar Manik pun akhirnya dimakamkan di daeah Tanggulayu tak jauh dari Blondo. “ Mbah Johar juga berpesan kepada anaknya agar makamnya jangan diberi cungkup atau rumah-rumahan dan tidak boleh dibuat permanen seperti diberi nisan,” kata Kuntrasih.
Pesan dari mbah Johar Manik itu pun dipegang teguh oleh anak cucunya hingga sekarang. Hanya pernah suatu kali salah seorang cucunya membuatkan cungkup makam.
Namun tak lama kemudian cungkup itu tersapu angin kencang yang entah datangnya dari mana. “ Bapak saya pernah membuatkan cungkup, namun tak lama cungkup itu tersapu angin. Sejak saat itu sudah tidak ada lagi yang mencoba membuatkan cungkup Mbah Johar,” ujarnya.
Dia menceritakan, pernah suatu kali ada orang tak dikenal yang mecoba memperindah makam Johar Manik yang sebelumnya hanya gundukan tanah yang dikelilingi bata dengan memberi semen.
"Niatnya baik, memperindah dan merapikan makam yang hanya tumpukan bata, namun setelah disemen, bebera hari kemudian semennya lepas. Sekarang dibiarkan apa adanya," pungkasnya.
(shf)