DPPPA Makassar Terima 200 Laporan Kasus Kekerasan Anak
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar mencatat ada sekitar 200 laporan kasus kekerasan anak yang diterima pihaknya sepanjang Januari-Juni 2022. Jumlah itu terbilang tinggi dan menandakan masih maraknya kekerasan anak di Kota Daeng.
Kepala DPPPA Makassar, Achi Soleman, membenarkan dalam kurun enam bulan terakhir ini, ada 200 laporan kasus kekerasan anak yang masuk ke pihaknya. Jumlah itu pun tergolong cukup tinggi.
"Di antara kasus kekerasan lain, memang kasus dominan yang kami hadapi saat ini adalah kasus kekerasan terhadap anak . Untuk kasus yang masuk di UPTD dari Januari ke Juni memang ada sekitar 200 kasus, kata dia, dalam rapat koordinasi dan kerja sama lintas sektor terkait pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kantor DPPPA Makassar, Selasa (15/6/2022).
Achi mengatakan tingginya kasus kekerasan terhadap anak banyak dipengaruhi persoalan sosial ekonomi. Termasuk di dalamnya anak yang tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua atau keluarga terdekatnya.
"Kami lakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat karena asal muasal dari segala persoalan yang terjadi adalah keluarga. Jadi memang butuh pola pengasuhan yang baik, ketahanan keluarga yang baik, dan lingkungan keluarga yang ikut mendukung setiap langkah pengasuhan kepada anak," jelasnya.
Kekerasan pada anak bisa memunculkan masalah fisik maupun psikologis pada anak di kemudian hari. Secara fisik, bisa dilihat dari sekujur tubuh yang kadang muncul tanda-tanda bekas kekerasan, dan secara psikis, anak yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami masalah kejiwaan seperti gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, dan psikotik.
Achi berujar, pihaknya saat ini terus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam upaya penanganan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak.
Pihaknya terus memperbaiki sistem pelaporan, pelayanan, dan pengaduan, dalam pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
"Kami terus memperkuat layanan dengan tim jejaring, setiap tiga bulan sekali aparat penegak hukum datang ke kami untuk memperkuat sinergitas layanan," tuturnya.
Sementara itu, Hakim Anak Pengadilan Negeri Makassar, Herianto, mengatakan anak berhadapan hukum alias ABH butuh perlindungan khusus. Olehnya itu, hal tersebut menjadi salah satu bagian dari atensi kasus kekerasan terhadap anak.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), penanganan ABH mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Kata Herianto, undang-undang tersebut menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman atau retributif yang berparadigma penangkapan, penahanan dan penghukuman penjara terhadap anak.
"Hal tersebut tentu berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak dan berdampak pada masa depan seperti kepentingan terbaik bagi anak,” katanya.
Namun setelah diberlakukannya Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), hal ini dinilai bisa menjadi solusi yang baik dalam penanganan ABH. Pasalnya, Undang-Undang SPPA lebih mengutamakan pendekaan keadilan restoratif melalui sistem diversi.
"Anak yang berhadapan hukum, apalagi kalau tidak ada korbannya, baiknya dibina saja. Jalur hukum bukan jalan keluar untuk menghukum anak. Jika anak ditahan, maka setelah keluar tahanan dia akan lebih menjadi-jadi. Mending tidak usah diproses, baiknya dibina dan diawasi," jelasnya.
Kendati demikian, lanjut dia, masih ada hambatan dalam pelaksanaan UU SPPA. Sebab tidak jarang pemahaman aparat penegak hukum dalam penanganan ABH masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda.
"Belum semua perkara anak diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif demi kepentingan terbaik bagi anak. Undang-undang SPPA belum dipahami secara komprehensif dan terpadu oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat," tandasnya.
Kepala DPPPA Makassar, Achi Soleman, membenarkan dalam kurun enam bulan terakhir ini, ada 200 laporan kasus kekerasan anak yang masuk ke pihaknya. Jumlah itu pun tergolong cukup tinggi.
"Di antara kasus kekerasan lain, memang kasus dominan yang kami hadapi saat ini adalah kasus kekerasan terhadap anak . Untuk kasus yang masuk di UPTD dari Januari ke Juni memang ada sekitar 200 kasus, kata dia, dalam rapat koordinasi dan kerja sama lintas sektor terkait pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kantor DPPPA Makassar, Selasa (15/6/2022).
Achi mengatakan tingginya kasus kekerasan terhadap anak banyak dipengaruhi persoalan sosial ekonomi. Termasuk di dalamnya anak yang tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua atau keluarga terdekatnya.
"Kami lakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat karena asal muasal dari segala persoalan yang terjadi adalah keluarga. Jadi memang butuh pola pengasuhan yang baik, ketahanan keluarga yang baik, dan lingkungan keluarga yang ikut mendukung setiap langkah pengasuhan kepada anak," jelasnya.
Kekerasan pada anak bisa memunculkan masalah fisik maupun psikologis pada anak di kemudian hari. Secara fisik, bisa dilihat dari sekujur tubuh yang kadang muncul tanda-tanda bekas kekerasan, dan secara psikis, anak yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami masalah kejiwaan seperti gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, dan psikotik.
Achi berujar, pihaknya saat ini terus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam upaya penanganan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak.
Pihaknya terus memperbaiki sistem pelaporan, pelayanan, dan pengaduan, dalam pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban.
"Kami terus memperkuat layanan dengan tim jejaring, setiap tiga bulan sekali aparat penegak hukum datang ke kami untuk memperkuat sinergitas layanan," tuturnya.
Sementara itu, Hakim Anak Pengadilan Negeri Makassar, Herianto, mengatakan anak berhadapan hukum alias ABH butuh perlindungan khusus. Olehnya itu, hal tersebut menjadi salah satu bagian dari atensi kasus kekerasan terhadap anak.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), penanganan ABH mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Kata Herianto, undang-undang tersebut menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman atau retributif yang berparadigma penangkapan, penahanan dan penghukuman penjara terhadap anak.
"Hal tersebut tentu berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak dan berdampak pada masa depan seperti kepentingan terbaik bagi anak,” katanya.
Namun setelah diberlakukannya Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), hal ini dinilai bisa menjadi solusi yang baik dalam penanganan ABH. Pasalnya, Undang-Undang SPPA lebih mengutamakan pendekaan keadilan restoratif melalui sistem diversi.
"Anak yang berhadapan hukum, apalagi kalau tidak ada korbannya, baiknya dibina saja. Jalur hukum bukan jalan keluar untuk menghukum anak. Jika anak ditahan, maka setelah keluar tahanan dia akan lebih menjadi-jadi. Mending tidak usah diproses, baiknya dibina dan diawasi," jelasnya.
Kendati demikian, lanjut dia, masih ada hambatan dalam pelaksanaan UU SPPA. Sebab tidak jarang pemahaman aparat penegak hukum dalam penanganan ABH masih bervariasi dan cenderung menggunakan persepsi yang berbeda.
"Belum semua perkara anak diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif demi kepentingan terbaik bagi anak. Undang-undang SPPA belum dipahami secara komprehensif dan terpadu oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat," tandasnya.
(tri)