Lestarikan Budaya, Pemuda Surabaya Kreatif Ngeblak Wayang Jek Dong
loading...
A
A
A
SURABAYA - Danar Dwi Putra, pemuda berusia 30 tahun, di Kota Surabaya, Jawa Timur mengisi waktu di tengah pandemi COVID-19 dengan ngeblak wayang kulit jek dong khas jawa timuran.
Ngeblak wayang adalah membuat ulang wayang kulit yang sudah hampir rusak berusia 50 hingga 100 tahun menjadi kembali baru persis dengan aslinya agar wayang tersebut tidak punah termakan zaman.
Danar yang tinggal Kampung Plampitan ini sangat mencintai wayang. Dia tidak ingin wayang kulit, khususnya wayang khas jawa timuran pupus seiring dengan kemajuan zaman.
"Kondisi fisik wayang kulit jek dong khas jawa timuran yang sudah berusia 50 hingga 100 tahun, sudah hampir rusak karena termakan usia," kata Danar.
Danar mengemukakan, wayang kulit berusia tua itu didapatkan dari kolektor wayang dan dalang dari berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Gresik dan Malang.
Beberapa wayang kulit yang dibuat ulang di antaranya, Semar, Gajendramuka, Bagong, Kumbokarno, Rahwana, Subali, dan Gatot Kaca. "Ngeblak wayang kulit tidak bisa sembarangan dilakukan karena bentuk dan warna wayang harus sesuai dengan pakem atau wayang aslinya," ujar dia.
Dana menuturkan, ngeblak wayang kulit tidak mudah. Selain harus memiliki seni dan bentuk yang presisi, bahan baku yang digunakan, yakni kulit kerbau, sulit dicari. Apalagi di perkotaan seperti Surabaya.
Untuk membuat ulang satu buah wayang kulit, Danar membutuhkan waktu 2 hingga 4 bulan, tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan. "Tujuan saya ngeblak wayang, khususnya Jatim tidak punah," tutur Danar.
Wayang kulit jek dong khas jawa timuran, ungkap dia, memiliki ciri berbeda dari wayang kulit khas Solo. Yakni terletak pada warna kulit dan wajah wayang.
Salah satu contohnya, kata Danar, wayang kulit Gatot Kaca. Jika wayang kulit khas Solo, wajah Gatot Kaca berwarna hitam dan ukuran lebih besar.
"Sementara, warna wajah wayang kulit jek dong khas jawa timuran, berwana merah dan berukuran lebih kecil," ungkap dia.
Lihat Juga: Puluhan Ribu Warga Meriahkan Gebyar Budaya, Husain Alting Sjah Ingatkan Perdamaian di Atas Segalanya
Ngeblak wayang adalah membuat ulang wayang kulit yang sudah hampir rusak berusia 50 hingga 100 tahun menjadi kembali baru persis dengan aslinya agar wayang tersebut tidak punah termakan zaman.
Danar yang tinggal Kampung Plampitan ini sangat mencintai wayang. Dia tidak ingin wayang kulit, khususnya wayang khas jawa timuran pupus seiring dengan kemajuan zaman.
"Kondisi fisik wayang kulit jek dong khas jawa timuran yang sudah berusia 50 hingga 100 tahun, sudah hampir rusak karena termakan usia," kata Danar.
Danar mengemukakan, wayang kulit berusia tua itu didapatkan dari kolektor wayang dan dalang dari berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Gresik dan Malang.
Beberapa wayang kulit yang dibuat ulang di antaranya, Semar, Gajendramuka, Bagong, Kumbokarno, Rahwana, Subali, dan Gatot Kaca. "Ngeblak wayang kulit tidak bisa sembarangan dilakukan karena bentuk dan warna wayang harus sesuai dengan pakem atau wayang aslinya," ujar dia.
Dana menuturkan, ngeblak wayang kulit tidak mudah. Selain harus memiliki seni dan bentuk yang presisi, bahan baku yang digunakan, yakni kulit kerbau, sulit dicari. Apalagi di perkotaan seperti Surabaya.
Untuk membuat ulang satu buah wayang kulit, Danar membutuhkan waktu 2 hingga 4 bulan, tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan. "Tujuan saya ngeblak wayang, khususnya Jatim tidak punah," tutur Danar.
Wayang kulit jek dong khas jawa timuran, ungkap dia, memiliki ciri berbeda dari wayang kulit khas Solo. Yakni terletak pada warna kulit dan wajah wayang.
Salah satu contohnya, kata Danar, wayang kulit Gatot Kaca. Jika wayang kulit khas Solo, wajah Gatot Kaca berwarna hitam dan ukuran lebih besar.
"Sementara, warna wajah wayang kulit jek dong khas jawa timuran, berwana merah dan berukuran lebih kecil," ungkap dia.
Lihat Juga: Puluhan Ribu Warga Meriahkan Gebyar Budaya, Husain Alting Sjah Ingatkan Perdamaian di Atas Segalanya
(awd)