Kisah Cinta Sultan Syarif Kasim II dan Ratu Wilhelmina Bersemi di Antara Kolonialisme dan Kecamuk Perang
loading...
A
A
A
Pada masa pemerintahan ayah Sultan Syarif Kasim II, Sultan Sayed Hasyim, dalam melaksanakan pemerintahannya, sultan dibantu oleh Dewan Menteri atau Dewan Kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan.
Dewan Kerajaan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku, yaitu Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa. Dihapusnya Dewan Kerajaan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tentunya menjadi pengingkaran terhadap undang-undang kerajaan dan tata pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid.
Dalam Babul Kawaid tersebut, tertuang pedoman 10 Provinsi Kerajaan Siak. Dihapusnya semua aturan tersebut, membuat Sultan Syarif Kasim II murka, dan tidak menerima perubahan yang diusulkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sultan Syarif Kasim II menilai Hindia Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.
Upaya menekan Sultan Syarif Kasim II, terus dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil, di mana struktur pemerintahan di daerah-daerah diubah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district.
Akibat perubahan itu, Kerajaan Siak akhirnya memiliki lima distrik, yakni Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu, dan Distrik Pekanbaru. Hal ini juga membuat Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi. Dan penghasilan hutan tanah yang disebut "pancung alas" diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Keserakahan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini, membuat rakyat di Kerajaan Siak resah. Sultan Syarif Kasim II tak tinggal diam, dia semakin keras menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Sultan Syarif Kasim II memutuskan untuk membangun kekuatan fisik, karena ancaman pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kekuatan militer dibangun oleh Sultan Syarif Kasim II, yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Mereka akhirnya dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan, dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.
Sultan Syarif Kasim II juga dengan tegas menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terhadap rakyatnya. Dia tetap mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak, yang diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.
Dewan Kerajaan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku, yaitu Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa. Dihapusnya Dewan Kerajaan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tentunya menjadi pengingkaran terhadap undang-undang kerajaan dan tata pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid.
Dalam Babul Kawaid tersebut, tertuang pedoman 10 Provinsi Kerajaan Siak. Dihapusnya semua aturan tersebut, membuat Sultan Syarif Kasim II murka, dan tidak menerima perubahan yang diusulkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sultan Syarif Kasim II menilai Hindia Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.
Upaya menekan Sultan Syarif Kasim II, terus dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil, di mana struktur pemerintahan di daerah-daerah diubah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district.
Akibat perubahan itu, Kerajaan Siak akhirnya memiliki lima distrik, yakni Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu, dan Distrik Pekanbaru. Hal ini juga membuat Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi. Dan penghasilan hutan tanah yang disebut "pancung alas" diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Keserakahan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini, membuat rakyat di Kerajaan Siak resah. Sultan Syarif Kasim II tak tinggal diam, dia semakin keras menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, Sultan Syarif Kasim II memutuskan untuk membangun kekuatan fisik, karena ancaman pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kekuatan militer dibangun oleh Sultan Syarif Kasim II, yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Mereka akhirnya dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan, dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.
Sultan Syarif Kasim II juga dengan tegas menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terhadap rakyatnya. Dia tetap mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak, yang diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.