Jejak Kejayaan Rempah-Rempah di Bumi Nusantara

Sabtu, 20 Juni 2020 - 05:00 WIB
loading...
Jejak Kejayaan Rempah-Rempah di Bumi Nusantara
Fakta bahwa Nusantara pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia tentu tak dapat dinafikan. Foto SINDO Media/Hendri I
A A A
Selain secara geografis amat strategis menghubungkan negeri-negeri "di atas angin", dahulu kala Indonesia juga merupakan daerah sumber komoditas paling berharga dan dicari dunia, yakni rempah-rempah.

Sejarah membuktikan, bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu penggerak globalisasi Asia. Tampaknya tak berlebihan pula bila dikatakan bahwa Indonesia senantiasa memegang peranan penting dalam perekonomian kawasan regional Asia Tenggara, bahkan sampai sekarang.

Sebagai pemain utama dalam sejarah penting yang mengubah peta sejarah dunia, seyogianya masyarakat Indonesia berupaya lebih serius untuk melakukan pelurusan sejarah agar peristiwa-peristiwa di masa lalu dapat dijelaskan secara lebih berimbang.

Fakta bahwa Nusantara pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia tentu tak dapat dinafikan. Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala bahkan menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan internasional di Asia Tenggara pada masa itu. (Baca juga:Diterjang Banjir Bandang, Jembatan Antardesa di Tasikmalaya Ambruk)

Pohon cengkeh (Eugenia aromatica, Kuntze ) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Sedangkan pala dan bunga merahnya didapat dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn), endemik Pulau Banda. Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinna momum camphora dan Dryo balanops aromaticum).

Beberapa komoditas penting lain seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan lada (Pipernigrum ) juga banyak dihasilkan di Sumatera. Demikian pula cendana (Santalum album) dan kemiri (Aleurites moluccana) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara.

Kayanya komoditas rempah inilah yang telah menarik bangsa asing datang ke Nusantara. Bukti awal ada peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudera Hindia datang dari seorang astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus, yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 Masehi (M).

Ia menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum nama sebuah kota bernama Barus, yang tampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat penting di Sumatera dan dunia. Nama kota emporium ini mengingatkan kita pada sebuah komoditas aromatik rempah, yang kala itu amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-bangsa dunia, Yunani, Romawi, Mesir, Arab, China, Hindustan, yakni kapur barus.

Meski sejumlah sumber China sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkeh dari Maluku, hanya ada satu catatan bertarik 1350, yang betul-betul menulis Jung China langsung berlayar dari China ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Banda.

Lalu, para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan China membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini, dengan harga mencapai 600 kali lipat.

Perdagangan rempah di Nusantara juga secara masif meninggalkan jejak peradaban yang signifikan berupa peninggalan situs sejarah, situs budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang kaya. Tampak sekali, di masa lalu orang-orang berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban.

Mulai dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5.000 tahun, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kejayaan Wangsa Syailendra, Kerajaan Kahuripan, hingga negara-negara bandar seperti di Banten, Maluku, dan Sulawesi. Semuanya terbentuk karena perdagangan rempah-rempah alias politik ekonomi masa itu.

"Malah menurut cerita sejarah masyarakat dulu, pada abad ke-6 China sudah menambatkan kapalnya di pulau Tidore. Mereka membawa kapas, sutra untuk ditukar dengan rempah-rempah," kata M Amin Faaroek, Perdana Menteri Kesultanan Tidore (Jajou), Provinsi Maluku Utara.

Beranjak dari kesejarahan yang panjang dan temuan-temuan inilah, narasi besar Jalur Rempah menjadi penting digelorakan. Ini juga untuk membungkam berbagai argumentasi dari para ahli terutama dari luar, yang banyak memperdebatkan Jalur Rempah hingga kurang mendapatkan apresiasi.

Kondisi makin rumit, ditambah selama ini masyarakat Indonesia senantiasa memahami sejarah Nusantara dari perspektif asing (Barat). Padahal, narasi besar Jalur Rempah ini sebagai diplomasi sekaligus posisi tawar Indonesia, dan untuk lebih mempertegas jati diri atau identitas bangsa.

"Satu hal yang penting ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan dan kemandirian," ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.

Narasi Jalur Rempah yang berangkat dari inisiatif masyarakat ini memiliki semangat untuk belajar dan menularkan antusiasmenya kepada publik yang lebih luas tentang betapa pentingnya masyarakat Nusantara mengenal sejarah dan budaya negeri sendiri, betapapun dengan cara yang sederhana.

Perspektif Jalur Rempah bahkan diyakini dapat menjadi entry point sekaligus memberikan bingkai yang kontekstual untuk memahami Indonesia. Karena Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, sosial-budaya, bahasa, keahlian, keterampilan, dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh.

Jalur Rempah merupakan melting pot berbagai konsep, gagasan, dan praksis. Dan, Jalur Rempah menjadi sarana perpindahan semua itu, dari satu tempat ke tempat lain. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hal tersebut di atas menjadi penting untuk senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan, agar manusia Indonesia tak lupa dengan multikulturalisme yang telah membentuknya.
(sms)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1303 seconds (0.1#10.140)