Petani Sawit Swadaya Paling Merasakan Dampak Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah mengancam kehidupan para petani kelapa sawit independen atau swadaya di Indonesia karena makin rendahnya harga tandan buah segar (TBS) dan langkanya pupuk. Beda dengan para petani bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang mendapatkan berbagai kemudahan, petani swadaya paling merasakan ketika diberlakukan penerapan sosial berskala besar (PSBB).
Hal ini terungkap dalam acara virtual berjudul, “Dampak COVID-19 pada petani bersertifikat RSPO,” yang dilaksanakan pada Kamis (18/6/2020). Acara yang dipandu oleh RSPO dan CNN Indonesia ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain Guntur Cahyo Prabowo (Manajer Smallholders Program Indonesia RSPO), Rukaiyah Rafik (Penasihat Senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia), Mansuetus Darto (Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit), dan Perwakilan petani dari Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah juga hadir.
Penasihat Senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Rukaiyah Rafik mengungkapkan, selain harga TBS rendah, petani merasakan kesulitan karena baik pabrik kelapa sawit dan kegiatan manufaktur berjalan lamban karena pembatasan sosial skala besar. Di sisi lain, harga pupuk tetap tinggi dan langka. (Baca: Warga Nenas Siam Terdampak Banjir Haru Dikunjungi Polres Batu Bara)
“Karena banyak petani swadaya tidak memiliki sarana untuk mengangkut TBS mereka ke pabrik, mereka bergantung pada “perantara” atau bisnis perantara untuk menyediakan layanan ini, tetapi pembatasan dalam kegiatan dan pergerakan karena COVID-19 telah berdampak pada mereka dan sumber mata pencaharian utama karena mereka tidak dapat menjual atau mengangkut TBS mereka ke pembeli. Pandemi juga mempengaruhi stok pupuk dan input untuk perkebunan petani serta harga makanan,” katanya.
Untuk petani bersertifikat RSPO, menurut Rukaiyah, masih beruntung karena memiliki lembaga dan jaringan yang kuat untuk mendukung mereka, serta standar akuntabilitas. "Petani bersertifikat RSPO juga memiliki beragam bisnis atau tanaman selama pandemi, yang selanjutnya mendukung mata pencaharian mereka," tambahnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menjelaskan, pada satu titik selama pandemi, harga TBS turun di bawah Rp 1.000 per kilogram di tingkat petani swadaya. Sementara itu, harga TBS untuk petani plasma (petani yang bermitra dengan perusahaan penghasil kelapa sawit) tercatat antara Rp 1.200 per kg dan Rp 1.300 per kg.
Harga di bawah Rp 1.100 sulit bagi petani yang memiliki lebih dari dua anak, dengan anak mereka mengejar pendidikan tinggi, atau mereka yang memiliki anggota keluarga lain yang bergantung pada mereka, seperti orang tua mereka. "Karena produktivitasnya yang rendah, antara 1 hingga 1,2 ton per hektar per bulan, mereka menjual hasil produksi mereka kepada perantara. Mereka juga memiliki beban hutang kepada para tengkulak karena para petani memiliki pinjaman, yang harus dilunasi selama panen,” katanya.
Dia menambahkan bahwa banyak petani kelapa sawit tidak memiliki sumber pendapatan lain dan hanya mengandalkan minyak sawit. Sebuah studi SPKS 2018 mengungkapkan bahwa hanya 30 persen petani yang memiliki mata pencaharian alternatif mulai dari pengolahan, penanaman karet, dan menjadi pedagang kecil. Tanah yang disisihkan selama era Orde Baru untuk petani PIR selama periode transmigrasi, yang mencakup 0,75 hektar, telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Darto juga mengatakan bahwa keadaan petani terpuruk karena kenaikan harga pupuk, yang kadang-kadang langka. “Tidak ada protokol kesehatan untuk petani/pemanen. Petani membutuhkan uang tunai sementara proses transaksi untuk TBS untuk petani yang menjual ke perusahaan biasanya diproses antara satu atau dua minggu setelah produk dikirim ke pabrik atau perkebunan,” katanya.
Manajer Smallholders Program Indonesia RSPO, Guntur Cahyo Prabowo mengatakan, selama pandemi, sertifikasi membantu mendukung sekitar 6.000 anggota yang terdiri dari 26 kelompok tani, melalui penjualan minyak kelapa sawit bersertifikasi RSPO melalui Kredit RSPO. "Sebanyak USD $ 1,5 juta dicairkan untuk 30 kelompok petani kecil independen bersertifikasi RSPO dari transaksi penjualan minyak sawit bersertifikat antara Mei 2019 dan Mei 2020,” ungkapnya.
Hal ini terungkap dalam acara virtual berjudul, “Dampak COVID-19 pada petani bersertifikat RSPO,” yang dilaksanakan pada Kamis (18/6/2020). Acara yang dipandu oleh RSPO dan CNN Indonesia ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain Guntur Cahyo Prabowo (Manajer Smallholders Program Indonesia RSPO), Rukaiyah Rafik (Penasihat Senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia), Mansuetus Darto (Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit), dan Perwakilan petani dari Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah juga hadir.
Penasihat Senior Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Rukaiyah Rafik mengungkapkan, selain harga TBS rendah, petani merasakan kesulitan karena baik pabrik kelapa sawit dan kegiatan manufaktur berjalan lamban karena pembatasan sosial skala besar. Di sisi lain, harga pupuk tetap tinggi dan langka. (Baca: Warga Nenas Siam Terdampak Banjir Haru Dikunjungi Polres Batu Bara)
“Karena banyak petani swadaya tidak memiliki sarana untuk mengangkut TBS mereka ke pabrik, mereka bergantung pada “perantara” atau bisnis perantara untuk menyediakan layanan ini, tetapi pembatasan dalam kegiatan dan pergerakan karena COVID-19 telah berdampak pada mereka dan sumber mata pencaharian utama karena mereka tidak dapat menjual atau mengangkut TBS mereka ke pembeli. Pandemi juga mempengaruhi stok pupuk dan input untuk perkebunan petani serta harga makanan,” katanya.
Untuk petani bersertifikat RSPO, menurut Rukaiyah, masih beruntung karena memiliki lembaga dan jaringan yang kuat untuk mendukung mereka, serta standar akuntabilitas. "Petani bersertifikat RSPO juga memiliki beragam bisnis atau tanaman selama pandemi, yang selanjutnya mendukung mata pencaharian mereka," tambahnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menjelaskan, pada satu titik selama pandemi, harga TBS turun di bawah Rp 1.000 per kilogram di tingkat petani swadaya. Sementara itu, harga TBS untuk petani plasma (petani yang bermitra dengan perusahaan penghasil kelapa sawit) tercatat antara Rp 1.200 per kg dan Rp 1.300 per kg.
Harga di bawah Rp 1.100 sulit bagi petani yang memiliki lebih dari dua anak, dengan anak mereka mengejar pendidikan tinggi, atau mereka yang memiliki anggota keluarga lain yang bergantung pada mereka, seperti orang tua mereka. "Karena produktivitasnya yang rendah, antara 1 hingga 1,2 ton per hektar per bulan, mereka menjual hasil produksi mereka kepada perantara. Mereka juga memiliki beban hutang kepada para tengkulak karena para petani memiliki pinjaman, yang harus dilunasi selama panen,” katanya.
Dia menambahkan bahwa banyak petani kelapa sawit tidak memiliki sumber pendapatan lain dan hanya mengandalkan minyak sawit. Sebuah studi SPKS 2018 mengungkapkan bahwa hanya 30 persen petani yang memiliki mata pencaharian alternatif mulai dari pengolahan, penanaman karet, dan menjadi pedagang kecil. Tanah yang disisihkan selama era Orde Baru untuk petani PIR selama periode transmigrasi, yang mencakup 0,75 hektar, telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Darto juga mengatakan bahwa keadaan petani terpuruk karena kenaikan harga pupuk, yang kadang-kadang langka. “Tidak ada protokol kesehatan untuk petani/pemanen. Petani membutuhkan uang tunai sementara proses transaksi untuk TBS untuk petani yang menjual ke perusahaan biasanya diproses antara satu atau dua minggu setelah produk dikirim ke pabrik atau perkebunan,” katanya.
Manajer Smallholders Program Indonesia RSPO, Guntur Cahyo Prabowo mengatakan, selama pandemi, sertifikasi membantu mendukung sekitar 6.000 anggota yang terdiri dari 26 kelompok tani, melalui penjualan minyak kelapa sawit bersertifikasi RSPO melalui Kredit RSPO. "Sebanyak USD $ 1,5 juta dicairkan untuk 30 kelompok petani kecil independen bersertifikasi RSPO dari transaksi penjualan minyak sawit bersertifikat antara Mei 2019 dan Mei 2020,” ungkapnya.