Gawat! Populasi Hiu Tikus di Perairan Alor Turun 80 Persen, Konservasi Mendesak Dilakukan
loading...
A
A
A
ALOR - Hiu tikus (thresher shark) yang hidup di kawasan perairan Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami penurunan populasi hingga 80 persen. Saat ini langkah konservasi mendesak dilakukan untuk mencegah kepunahan salah satu jenis hiu unik yang tak banyak ditemukan di dunia ini.
Hiu tikus memiliki ekor panjang yang bisa mencapai setengah tubuhnya dan merupakan fitur unik yang membedakandengan hiu lainnya. Pada jenis tertentu, panjang ekor hiu tikus hampir dapat menyamai ukuran tubuhnya.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina mengungkapkan, Alor memiliki potensi wisata bahari yang sangat mumpuni dan dengan didapatkannya informasi tentang hiu tikus.
Dia berharap pariwisata dapat menjadi salah satu sarana konservasi bagi hewan unik tersebut. Shana juga mendorong tresher shark menjadi salah satu ikon wisata bahari Alor selain dugong.
“Alor adalah bagian dari wilayah koordinatif BPOLBF dan dalam MoU kami bersama Pemda Alor kami akan fokus bekerja sama di sektor parekraf dengan tema besarnya adalah wisata konservasi bahari," kata Shana Fatina, Kamis (14/04/2022)
Dengan adanya fakta bahwa Alor bukan saja memiliki dugong tetapi juga mempunyai hiu tikus, maka hal ini bisa menjadi nilai tambah.
"Dengan fakta bahwa perairan laut Alor sebagai tempat berkumpul bagi hiu tikus, maka akan sangat relevan bila dijadikan sebagai salah satu ikon destinasi minat khusus dan tentunya dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung agar habitat hiu ini tidak terganggu dengan aktivitas wisatawan,” ujarnya.
Saat ini kebanyakan hiu tikus mati ketika berumur 10-20 tahun. Populasinyatelah mengalami penurunan sebesar 80 persen yang disebabkan karena adanya praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.
Perairan Alor merupakan jalur migrasi penting hiu tikus, khususnya di sekitar Selat Pantar. Namun sayangnya, data tangkapan hiu tikus di Alor sejak Maret hingga Agustus 2021 mencapai 126 betina dewasa dan 41 jantan dewasa.
Dari jumlah itu, sekitar 82 persen yang ditangkap adalah hiu betina yang sedang hamil dengan rata-rata 2 ekor anakan. Tingginya presentasi betina hamil yang ditangkap menurunkan kemampuan hiu untuk memulihkan populasi dan hal ini dikhawatirkan akan membuat hiu unik ini akan punah.
Dua desa di Alor yaitu Lewalu dan Ampera sudah mulai menangkap hiu tikus sejak 50 tahun terakhir. Berawal dari tangkapan tidak sengaja lalu menjadi salah satu tangkapan utama. Menurut penuturan masyarakat, lebih dari 300 hiu tikus didaratkan dalam satu tahun dan sebagian besar dari tangkapan adalah hiu betina yang sedang hamil.
Melihat potensi hewan unuik yang terancam punah ini, Thresher Shark Indonesia, komunitas yang fokus pada upaya membantu konservasi Hiu Tikus berbasis masyarakat sejak tahun 2018 telah melakukan beberapa upaya pelestarian.
Di antaranya dengan memasang penanda satelit dan akustik, pengembangan kapasitas nelayan dengan pembinaan dan pelatihan, pengembangan produk olahan lokal, dan program pelatihan kepemimpinan bagi para pemuda di Alor di dua desa tersebut.
Sementara itu, Dewi Ratna Sari, Co-founder dan Program Koordinator Thresher Shark Indonesia mengatakan bahwa Alor memiliki potensi pengembangan pariwisata dan lokasi penelitian hiu tikus.
Menurutnya, salah satu cara konservasi hiu tikus adalah dengan mengadakan kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi.
Dia menyebut di Filipina kegiatan pariwisata hiu tikus dapat mendatangkan pemasukan sebesar Rp180 miliar per tahun.
“Di Malapascua, Filipina, Hiu Tikus menjadi ekoturisme yaitu penggerak ekonomi komunitas lokal. Jika dihitung, kegiatan itu bisa memberikan pemasukan Rp180 miliar per tahun," katanya.
Dewi menyatakan sejumlah site Hiu Tikus di Alor mempunyai potensi besar untuk dikelola menjadi ekoturisme, khususnya wisata selam karena, dari segi habitat dan jumlah populasinya masih cukup baik.
"Jika kepedulian sudah tumbuh, upaya konservasi hingga kegiatan ekoturisme akan mudah dilakukan”, jelas Dewi.
Berdasarkan paparan yang disampaikan Thresher Shark Indonesia, saat ini nelayan telah berkomitmen untuk berhenti menangkap Hiu Tikus dengan mendapatkan pendampingan pengembangan pendapatan alternatif.
Opsi pendapatan alternatif saat ini yang sedang diuji coba antara lain tuna sirip kuning skala kecil, kakap merah dan kerapu, dan usaha darat seperti bengke dan ayam petelur serta pengembangan pariwisata.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kabupaten Alor, Marcelsius Bayo Bili, mengungkapkan bahwa Dispar Alor sangat mendukung upaya konservasi tersebut dan berharap agar berbagai upaya yang diinisiasi dari pihak-pihak terkait dapat berjalan dengan baik.
“Kami sangat mendukung upaya konservasi hiu tikus yang dilakukan oleh Tresher Shark Indonesia di wilayah perairan Kabupaten Alor. Oleh karena kelangkaan dan daya tarik yang dimiliki, maka keberadaan hiu tikus dapat semakin memperkaya daya tarik wisata bahari," ujarnya.
Sehingga akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. "Untuk itu kami berharap agar upaya konservasi dan pelestarian Hiu Tikus dapat terlaksana secara baik,” tandas Marcelsius.
Hiu tikus memiliki ekor panjang yang bisa mencapai setengah tubuhnya dan merupakan fitur unik yang membedakandengan hiu lainnya. Pada jenis tertentu, panjang ekor hiu tikus hampir dapat menyamai ukuran tubuhnya.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina mengungkapkan, Alor memiliki potensi wisata bahari yang sangat mumpuni dan dengan didapatkannya informasi tentang hiu tikus.
Dia berharap pariwisata dapat menjadi salah satu sarana konservasi bagi hewan unik tersebut. Shana juga mendorong tresher shark menjadi salah satu ikon wisata bahari Alor selain dugong.
“Alor adalah bagian dari wilayah koordinatif BPOLBF dan dalam MoU kami bersama Pemda Alor kami akan fokus bekerja sama di sektor parekraf dengan tema besarnya adalah wisata konservasi bahari," kata Shana Fatina, Kamis (14/04/2022)
Dengan adanya fakta bahwa Alor bukan saja memiliki dugong tetapi juga mempunyai hiu tikus, maka hal ini bisa menjadi nilai tambah.
"Dengan fakta bahwa perairan laut Alor sebagai tempat berkumpul bagi hiu tikus, maka akan sangat relevan bila dijadikan sebagai salah satu ikon destinasi minat khusus dan tentunya dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung agar habitat hiu ini tidak terganggu dengan aktivitas wisatawan,” ujarnya.
Saat ini kebanyakan hiu tikus mati ketika berumur 10-20 tahun. Populasinyatelah mengalami penurunan sebesar 80 persen yang disebabkan karena adanya praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.
Perairan Alor merupakan jalur migrasi penting hiu tikus, khususnya di sekitar Selat Pantar. Namun sayangnya, data tangkapan hiu tikus di Alor sejak Maret hingga Agustus 2021 mencapai 126 betina dewasa dan 41 jantan dewasa.
Dari jumlah itu, sekitar 82 persen yang ditangkap adalah hiu betina yang sedang hamil dengan rata-rata 2 ekor anakan. Tingginya presentasi betina hamil yang ditangkap menurunkan kemampuan hiu untuk memulihkan populasi dan hal ini dikhawatirkan akan membuat hiu unik ini akan punah.
Dua desa di Alor yaitu Lewalu dan Ampera sudah mulai menangkap hiu tikus sejak 50 tahun terakhir. Berawal dari tangkapan tidak sengaja lalu menjadi salah satu tangkapan utama. Menurut penuturan masyarakat, lebih dari 300 hiu tikus didaratkan dalam satu tahun dan sebagian besar dari tangkapan adalah hiu betina yang sedang hamil.
Melihat potensi hewan unuik yang terancam punah ini, Thresher Shark Indonesia, komunitas yang fokus pada upaya membantu konservasi Hiu Tikus berbasis masyarakat sejak tahun 2018 telah melakukan beberapa upaya pelestarian.
Di antaranya dengan memasang penanda satelit dan akustik, pengembangan kapasitas nelayan dengan pembinaan dan pelatihan, pengembangan produk olahan lokal, dan program pelatihan kepemimpinan bagi para pemuda di Alor di dua desa tersebut.
Sementara itu, Dewi Ratna Sari, Co-founder dan Program Koordinator Thresher Shark Indonesia mengatakan bahwa Alor memiliki potensi pengembangan pariwisata dan lokasi penelitian hiu tikus.
Menurutnya, salah satu cara konservasi hiu tikus adalah dengan mengadakan kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi.
Dia menyebut di Filipina kegiatan pariwisata hiu tikus dapat mendatangkan pemasukan sebesar Rp180 miliar per tahun.
“Di Malapascua, Filipina, Hiu Tikus menjadi ekoturisme yaitu penggerak ekonomi komunitas lokal. Jika dihitung, kegiatan itu bisa memberikan pemasukan Rp180 miliar per tahun," katanya.
Dewi menyatakan sejumlah site Hiu Tikus di Alor mempunyai potensi besar untuk dikelola menjadi ekoturisme, khususnya wisata selam karena, dari segi habitat dan jumlah populasinya masih cukup baik.
"Jika kepedulian sudah tumbuh, upaya konservasi hingga kegiatan ekoturisme akan mudah dilakukan”, jelas Dewi.
Berdasarkan paparan yang disampaikan Thresher Shark Indonesia, saat ini nelayan telah berkomitmen untuk berhenti menangkap Hiu Tikus dengan mendapatkan pendampingan pengembangan pendapatan alternatif.
Opsi pendapatan alternatif saat ini yang sedang diuji coba antara lain tuna sirip kuning skala kecil, kakap merah dan kerapu, dan usaha darat seperti bengke dan ayam petelur serta pengembangan pariwisata.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kabupaten Alor, Marcelsius Bayo Bili, mengungkapkan bahwa Dispar Alor sangat mendukung upaya konservasi tersebut dan berharap agar berbagai upaya yang diinisiasi dari pihak-pihak terkait dapat berjalan dengan baik.
“Kami sangat mendukung upaya konservasi hiu tikus yang dilakukan oleh Tresher Shark Indonesia di wilayah perairan Kabupaten Alor. Oleh karena kelangkaan dan daya tarik yang dimiliki, maka keberadaan hiu tikus dapat semakin memperkaya daya tarik wisata bahari," ujarnya.
Sehingga akan berpengaruh pada peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. "Untuk itu kami berharap agar upaya konservasi dan pelestarian Hiu Tikus dapat terlaksana secara baik,” tandas Marcelsius.
(shf)