Gedung Lawang Sewu Semarang, Saksi Bisu Pertempuran 5 Hari AMKA Melawan Tentara Jepang
loading...
A
A
A
Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga sangat mahal. “Zaman dulu harga satu batu bata ditaksir mencapai Rp300.000. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung," kata Aris.
"Dan salah satu alasan kenapa Lawang Sewu banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus, tapi juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image. Jadi kalau bangun ya nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya.
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.
Seusai masa kolonial Belanda, pada tahun 1942 Lawang Sewu berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku. Singkat cerita, di tahun 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) dengan prajurit Jepang.
Pertempuran ini berlangsung selama lima hari tiada henti pada 15-19 Oktober 1945. Salah satu penyebabnya adalah tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu.
Prajurit Jepang berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein inilah yang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.
Dari segi jumlah dan senjata pemuda AMKA dinilai memang sudah kalah. Prajurit Jepang ada sekitar 500.000 orang dengan senjata bayonetnya. Sedangkan AMKA hanya berjumlah 2.000 lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Namun dengan semangat yang menggelora dan pantang menyerah, pemuda AMKA tetap berusaha melawan, walau pada akhirnya harus gugur di medan perang.
“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” ujar Aris.
Berlatar sejarah inilah, pemerintah menetapkan Lawang Sewu sebagai gedung warisan bersejarah yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.
Menilik tingginya nilai sejarah, Gedung Lawang Sewu menjadi salah satu pilihan wisatawan penyuka wisata sejarah. Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Museum Lawang Sewu tidak perlu khawatir, karena pihak pengelola sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik.
"Dan salah satu alasan kenapa Lawang Sewu banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus, tapi juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image. Jadi kalau bangun ya nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya.
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.
Seusai masa kolonial Belanda, pada tahun 1942 Lawang Sewu berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku. Singkat cerita, di tahun 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) dengan prajurit Jepang.
Pertempuran ini berlangsung selama lima hari tiada henti pada 15-19 Oktober 1945. Salah satu penyebabnya adalah tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu.
Prajurit Jepang berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein inilah yang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.
Dari segi jumlah dan senjata pemuda AMKA dinilai memang sudah kalah. Prajurit Jepang ada sekitar 500.000 orang dengan senjata bayonetnya. Sedangkan AMKA hanya berjumlah 2.000 lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Namun dengan semangat yang menggelora dan pantang menyerah, pemuda AMKA tetap berusaha melawan, walau pada akhirnya harus gugur di medan perang.
“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” ujar Aris.
Berlatar sejarah inilah, pemerintah menetapkan Lawang Sewu sebagai gedung warisan bersejarah yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.
Menilik tingginya nilai sejarah, Gedung Lawang Sewu menjadi salah satu pilihan wisatawan penyuka wisata sejarah. Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Museum Lawang Sewu tidak perlu khawatir, karena pihak pengelola sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik.