Kisah Istri Cantik Intel CIA Bertemu Bung Karno, Berujung Pembebasan Allen Pope
loading...
A
A
A
Prajurit Korps Komando (KKO) TNI AL, yang kini disebut Marinir TNI AL, dengan senjata lengkap mengepung Allen Pope usai penerbang berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS) itu menyerang KRI Sawega, berisi pasukan TNI AL yang tengah menuju Morotai.
Baca Juga: Gagalnya Operasi CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Saat itu tanggal 18 Mei 1958. Sebuah pesawat pembom B-26 Invader yang dipiloti Allen Pope tiba-tiba menjatuhkan bom ke arah kapal TNI AL yang bertolak dari dari Pelabuhan Halong, Ambon.
"Sekitar jam tujuh pagi 18 Mei 1958, saat kami sedang bersiap-siap makan pagi, sayup-sayup terdengar bunyi pesawat terbang," kata Letkol Herman Piters, komandan "Operasi Mena I" seperti diriwayatkan buku "Siasat Jitu Intel Dunia".
B-26 Invader merupakan pesawat milik Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pemerintahan Soekarno-Hatta tengah diguncang pemberontakan yang berkobar di wilayah Indonesia Timur.
Allen Pope yang berkebangsaan AS, berniat menghancurkan pasukan Indonesia, namun gagal. Serangan bom berdaya ledak tinggi itu meleset, dan jatuh sekitar 50 meter dari buritan KRI Sawega.
Kapal dan seisinya berguncang keras akibat efek ledakan, namun semuanya selamat. Prajurit TNI dengan sigap menyerang balik. B-26 diberondong tembakan berkali-kali. Pesawat itu terbakar di udara. Sebelum nyungsep ke laut, pesawat masih berusaha bermanuver.
Beruntung, Allen Pope dan Pedro yang belakangan diketahui bernama Harry Rantung berhasil meloncat bersama parasut, sebelum B-26 remuk menghantam permukaan air. Di sebuah pulau kecil, posisi Allen Pope dan Pedro terpojok. Paha Allen Pope terluka akibat terkena tembakan.
Sebelum pasukan TNI datang menyergap, Allen Pope mencabut pistol dari pinggangnya dan menyerahkan kepada Harry Rantung alias Pedro seraya membuka mulut. "Maksudnya agar Rantung (Pedro) menembaknya, tapi ia menolak".
Herman Piters lalu menggelandang keduanya ke atas kapal Sawega. Allen Pope berusaha tetap tenang. Begitu juga saat diinterogasi, ia memperlihatkan sikap santai, dan bahkan sempat meminta rokok serta wiski.
"Kebetulan saya punya satu kaleng rokok 555 dan sebotol wiski. Ketika disodorkan, Pope (Allen Pope) tersenyum dan bilang thanks," tutur Herman Piters seperti dalam buku. Herman Piters baik hati. Ia juga memberikan kemejanya untuk dipakai Allen Pope, sebagai ganti bajunya yang kotor.
Mendapat perlakuan baik, Allen Pope geleng-geleng kepala. "Selalu saya unggul (dalam pertempuran udara), kali ini Indonesia yang unggul," kata Herman Piters menceritakan dialognya dengan Allan Pope.
TNI menggeledah Allen Pope, dan mendapati dokumen penting terkait perannya. Dokumen yang disita mengatakan Allen Lawrence Pope sebagai tentara sewaan yang digerakkan CIA, dinas intelejen Amerika Serikat.
Allen Pope berpengalaman tempur di masa perang Korea. Ia diketahui memiliki kode "11", yakni tentara sewaan CIA yang bertugas mengacaukan pasifik. Sedangkan Pedro diketahui bernama Harry Rantung, seorang Kopral AURI di pangkalan Morotai, yang bergabung dengan pemberontak Permesta.
Dokumen yang disita TNI menyebut Pedro kelahiran Davao Philipina. Di pesawat B-26, Rantung bertugas sebagai operator radio yang menghubungkan komunikasi dengan Manado (markas Permesta).
Duet keduanya dalam serangan udara sempat menghancurkan obyek-obyek militer milik TNI di kawasan lapangan terbang Ambon. Dalam penggeledahan sekaligus interogasi itu, TNI mengembalikan dompet berisi uang dan foto istri Allen Pope.
Penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA langsung dilaporkan Jakarta. Namun Pemerintahan Soekarno tidak segera mengumumkan dengan pertimbangan operasi Morotai masih perlu dirahasiakan.
Pengadilan Indonesia, kemudian menjatuhi vonis hukuman mati kepada Allen Pope dan hukuman 15 tahun penjara kepada Harry Rantung. Pemerintah Amerika Serikat langsung turun tangan.
Amerika Serikat berusaha keras melobi Bung Karno agar vonis mati terhadap Allen Pope, dibatalkan. Jaksa Agung Amerika Serikat, Robert Kennedy bahkan diutus ke Jakarta menemui Bung Karno. Kennedy membawa surat Presiden Dwight D. Eisenhower yang intinya meminta kebijaksanaan Presiden Soekarno, agar Allan Pope bebas.
Istri Allen yang cantik juga diterbangkan dari Amerika untuk secara khusus menemui Bung Karno. Dalam buku "Siasat Jitu Intel Dunia" menyebut: Konon, Bung Karno menerima dengan penuh keramahan. Kekaguman Bung Karno kepada wanita cantik, dimanfaatkan Amerika.
Pada Februari 1962, jelang subuh. Sejumlah anggota CPM bersenjata lengkap membawa terpidana Allen Pope dan Harry Rantung. Sebelumnya anggota CPM meminta Allan mengemasi barang-barang pribadinya. Sedangkan Rantung diperintahkan ikut tanpa membawa apa-apa.
Keduanya dinaikkan ke dalam kendaraan Panser yang melaju kencang tanpa ada percakapan. Setengah jam kemudian Panser berhenti, dan keduanya tahu sedang berada di Bandara Kemayoran. Beberapa pejabat Amerika Serikat di Indonesia sudah menunggu di pintu VIP.
Terlihat pesawat Constellation yang tengah bersiap tinggal landas. Mata Allen Pope berkaca-kaca. Ia memeluk Harry Rantung. Pemerintah Soekarno telah membebaskannya. "Pasti kita akan jumpa lagi," kata Harry Rantung menirukan Allen Pope.
Allen Pope saat itu juga terbang bebas kembali ke Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian Harry Rantung menerima undangan dari Allen Pope yang bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di California.
Baca Juga: Gagalnya Operasi CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Saat itu tanggal 18 Mei 1958. Sebuah pesawat pembom B-26 Invader yang dipiloti Allen Pope tiba-tiba menjatuhkan bom ke arah kapal TNI AL yang bertolak dari dari Pelabuhan Halong, Ambon.
"Sekitar jam tujuh pagi 18 Mei 1958, saat kami sedang bersiap-siap makan pagi, sayup-sayup terdengar bunyi pesawat terbang," kata Letkol Herman Piters, komandan "Operasi Mena I" seperti diriwayatkan buku "Siasat Jitu Intel Dunia".
B-26 Invader merupakan pesawat milik Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pemerintahan Soekarno-Hatta tengah diguncang pemberontakan yang berkobar di wilayah Indonesia Timur.
Allen Pope yang berkebangsaan AS, berniat menghancurkan pasukan Indonesia, namun gagal. Serangan bom berdaya ledak tinggi itu meleset, dan jatuh sekitar 50 meter dari buritan KRI Sawega.
Kapal dan seisinya berguncang keras akibat efek ledakan, namun semuanya selamat. Prajurit TNI dengan sigap menyerang balik. B-26 diberondong tembakan berkali-kali. Pesawat itu terbakar di udara. Sebelum nyungsep ke laut, pesawat masih berusaha bermanuver.
Beruntung, Allen Pope dan Pedro yang belakangan diketahui bernama Harry Rantung berhasil meloncat bersama parasut, sebelum B-26 remuk menghantam permukaan air. Di sebuah pulau kecil, posisi Allen Pope dan Pedro terpojok. Paha Allen Pope terluka akibat terkena tembakan.
Sebelum pasukan TNI datang menyergap, Allen Pope mencabut pistol dari pinggangnya dan menyerahkan kepada Harry Rantung alias Pedro seraya membuka mulut. "Maksudnya agar Rantung (Pedro) menembaknya, tapi ia menolak".
Herman Piters lalu menggelandang keduanya ke atas kapal Sawega. Allen Pope berusaha tetap tenang. Begitu juga saat diinterogasi, ia memperlihatkan sikap santai, dan bahkan sempat meminta rokok serta wiski.
"Kebetulan saya punya satu kaleng rokok 555 dan sebotol wiski. Ketika disodorkan, Pope (Allen Pope) tersenyum dan bilang thanks," tutur Herman Piters seperti dalam buku. Herman Piters baik hati. Ia juga memberikan kemejanya untuk dipakai Allen Pope, sebagai ganti bajunya yang kotor.
Mendapat perlakuan baik, Allen Pope geleng-geleng kepala. "Selalu saya unggul (dalam pertempuran udara), kali ini Indonesia yang unggul," kata Herman Piters menceritakan dialognya dengan Allan Pope.
TNI menggeledah Allen Pope, dan mendapati dokumen penting terkait perannya. Dokumen yang disita mengatakan Allen Lawrence Pope sebagai tentara sewaan yang digerakkan CIA, dinas intelejen Amerika Serikat.
Allen Pope berpengalaman tempur di masa perang Korea. Ia diketahui memiliki kode "11", yakni tentara sewaan CIA yang bertugas mengacaukan pasifik. Sedangkan Pedro diketahui bernama Harry Rantung, seorang Kopral AURI di pangkalan Morotai, yang bergabung dengan pemberontak Permesta.
Dokumen yang disita TNI menyebut Pedro kelahiran Davao Philipina. Di pesawat B-26, Rantung bertugas sebagai operator radio yang menghubungkan komunikasi dengan Manado (markas Permesta).
Duet keduanya dalam serangan udara sempat menghancurkan obyek-obyek militer milik TNI di kawasan lapangan terbang Ambon. Dalam penggeledahan sekaligus interogasi itu, TNI mengembalikan dompet berisi uang dan foto istri Allen Pope.
Penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA langsung dilaporkan Jakarta. Namun Pemerintahan Soekarno tidak segera mengumumkan dengan pertimbangan operasi Morotai masih perlu dirahasiakan.
Pengadilan Indonesia, kemudian menjatuhi vonis hukuman mati kepada Allen Pope dan hukuman 15 tahun penjara kepada Harry Rantung. Pemerintah Amerika Serikat langsung turun tangan.
Amerika Serikat berusaha keras melobi Bung Karno agar vonis mati terhadap Allen Pope, dibatalkan. Jaksa Agung Amerika Serikat, Robert Kennedy bahkan diutus ke Jakarta menemui Bung Karno. Kennedy membawa surat Presiden Dwight D. Eisenhower yang intinya meminta kebijaksanaan Presiden Soekarno, agar Allan Pope bebas.
Baca Juga
Istri Allen yang cantik juga diterbangkan dari Amerika untuk secara khusus menemui Bung Karno. Dalam buku "Siasat Jitu Intel Dunia" menyebut: Konon, Bung Karno menerima dengan penuh keramahan. Kekaguman Bung Karno kepada wanita cantik, dimanfaatkan Amerika.
Pada Februari 1962, jelang subuh. Sejumlah anggota CPM bersenjata lengkap membawa terpidana Allen Pope dan Harry Rantung. Sebelumnya anggota CPM meminta Allan mengemasi barang-barang pribadinya. Sedangkan Rantung diperintahkan ikut tanpa membawa apa-apa.
Keduanya dinaikkan ke dalam kendaraan Panser yang melaju kencang tanpa ada percakapan. Setengah jam kemudian Panser berhenti, dan keduanya tahu sedang berada di Bandara Kemayoran. Beberapa pejabat Amerika Serikat di Indonesia sudah menunggu di pintu VIP.
Terlihat pesawat Constellation yang tengah bersiap tinggal landas. Mata Allen Pope berkaca-kaca. Ia memeluk Harry Rantung. Pemerintah Soekarno telah membebaskannya. "Pasti kita akan jumpa lagi," kata Harry Rantung menirukan Allen Pope.
Allen Pope saat itu juga terbang bebas kembali ke Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian Harry Rantung menerima undangan dari Allen Pope yang bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di California.
(eyt)