Gubernur Ridwan Kamil Tak akan Merevisi UMK 2021
loading...
A
A
A
Meskipun keukeuh tidak akan merevisi UMK 2021 sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021, namun Kang Emil tetap memberikan solusi, agar upah buruh tetap naik. Solusi yang ditawarkan pun menurutnya tidak melanggar aturan.
Dia mengatakan, PP Nomor 36 Tahun 2021 hanya mengatur upah untuk karyawan yang baru masuknya yang jumlahnya hanya sekitar 5 persen, sedangkan pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun membutuhkan negosiasi lebih untuk mendapatkan kenaikan upah.
"Tawaran Jabar, UMK-nya ngikut PP 36 untuk yang 5 persen pegawai baru. 95 persennya bisa naik antara 3-5 persen. Nah ini yang kami wacanakan. Kenapa beda? ya begitulah politik, upah itu carut-marut sejak zaman kapan. Kita mah korban dari proses yang awalnya gak jelas. Jadi tiap tahun kepala daerah dibentur-benturkan," bebernya.
Seakan meluapkan kekesalannya, Kang Emil bahkan meminta pemerintah pusat untuk menetapkan besaran UMK jika pemerintah daerah tak bisa mengajukan diskresi, termasuk berwacana terkait besaran UMK.
"Makanya saya bilang kalau daerah tidak boleh ada diskresi lagi, sudah ketok palu saja oleh menteri. Jangan nyuruh bupati ngajuin, jangan nyuruh gubernur stempel berikut gak boleh juga berwacana. Tiba-tiba (kabar revisi UMK) DKI masuk, buruh menilai jika Pak Anies bisa semua gubernur bisa karena gak paham logikanya," tandas Kang Emil.
Sebelumnya diberitakan, buruh di Jabar menuntut revisi UMK 2022, mengikuti langkah Pemprov DKI Jakarta. Tuntutan tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto menyatakan, pihaknya menuntut revisi UMK 2022 mengingat kenaikan UMK 2021 ke 2022 sebagaimana ketetapan Gubernur Jabar hanya sekitar 1,09 persen.
Roy menyebut, revisi UMK wajar dilakukan. Beberapa gubernur Jabar juga beberapa kali pernah melakukan revisi besaran UMK di antaranya saat kepemimpinan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan.
"Jakarta juga bisa merevisi. Artinya, hal yang sama juga bisa dilakukan Provinsi Jawa Barat," katanya.
Dia mengatakan, PP Nomor 36 Tahun 2021 hanya mengatur upah untuk karyawan yang baru masuknya yang jumlahnya hanya sekitar 5 persen, sedangkan pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun membutuhkan negosiasi lebih untuk mendapatkan kenaikan upah.
"Tawaran Jabar, UMK-nya ngikut PP 36 untuk yang 5 persen pegawai baru. 95 persennya bisa naik antara 3-5 persen. Nah ini yang kami wacanakan. Kenapa beda? ya begitulah politik, upah itu carut-marut sejak zaman kapan. Kita mah korban dari proses yang awalnya gak jelas. Jadi tiap tahun kepala daerah dibentur-benturkan," bebernya.
Seakan meluapkan kekesalannya, Kang Emil bahkan meminta pemerintah pusat untuk menetapkan besaran UMK jika pemerintah daerah tak bisa mengajukan diskresi, termasuk berwacana terkait besaran UMK.
"Makanya saya bilang kalau daerah tidak boleh ada diskresi lagi, sudah ketok palu saja oleh menteri. Jangan nyuruh bupati ngajuin, jangan nyuruh gubernur stempel berikut gak boleh juga berwacana. Tiba-tiba (kabar revisi UMK) DKI masuk, buruh menilai jika Pak Anies bisa semua gubernur bisa karena gak paham logikanya," tandas Kang Emil.
Sebelumnya diberitakan, buruh di Jabar menuntut revisi UMK 2022, mengikuti langkah Pemprov DKI Jakarta. Tuntutan tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto menyatakan, pihaknya menuntut revisi UMK 2022 mengingat kenaikan UMK 2021 ke 2022 sebagaimana ketetapan Gubernur Jabar hanya sekitar 1,09 persen.
Roy menyebut, revisi UMK wajar dilakukan. Beberapa gubernur Jabar juga beberapa kali pernah melakukan revisi besaran UMK di antaranya saat kepemimpinan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan.
"Jakarta juga bisa merevisi. Artinya, hal yang sama juga bisa dilakukan Provinsi Jawa Barat," katanya.
(msd)