Kisah Pariani dan Amran, Korban PHK Perusahaan Crumb Rubber di Asahan
loading...
A
A
A
ASAHAN - Air mata Pariani (39) sudah kering. Tapi di balik tatapannya matanya yang sendu menyimpan kesedihan dan kerinduan yang dalam. Sejak Jamari, pria yang mempersuntingnya pada tahun 2000 silam pergi menghadap Sang Ilahi. Tepatnya, sejak 7 April.
Kini, ia menjadi orangtua tunggal dari ketiga anaknya: Indra Pratama (20), Dwi Cahaya Pranesti (14) dan Adinda Cici Pramulia (7). Berempat, mereka tinggal di rumah peninggalan orang tua almarhum, di Dusun IIA, Desa Silau Timur, Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten Asahan. (Baca juga : Eks Karyawan Gugat Perusahaan Crumb Rubber di Asahan Rp13 Miliar )
Ketika ditemui SINDOnews.com, Sabtu (6/6/2020), Pariani tengah melayani seorang gadis kecil yang ingin membeli jajanan. Setelah menyodorkan 2 biji permen, sekeping logam berpindah dalam sekejap dari tangan mungil anak tetangganya itu, ke saku rok celananya yang lusuh. Uang pecahan Rp500.
"Saya tak punya kepandaian apa-apa. Cuma (jualan) ini yang bisa," katanya mengawali pembicaraan. Hampir 2 bulan Pariani telah melakoni pekerjaan itu sendiri. Sambil mengurus rumah dan merawat dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Sedangkan Indra telah bekerja.
Yang awalnya dulu dilakukan berdua. Disaat Jamari tak lagi bekerja di PT Fairco Bumi Lestari (FBL). Yang tanpa di beri pesangon, ketika manajemen perusaahaan crumb rubber industri di Asahan itu, menghentikan kegiatan operasional pabrik.
Sejak kejadian itu, ia memanfaatkan barang-barang rumah tangga yang ada. Meja makan dan steling kaca bekas dijadikan sebagai tempat pajangan menata barang-barang dagangan. Seperti mi instan, rokok, permen dan jajanan makanan anak-anak lainnya.
Disamping itu, juga menjual bahan bakar minyak (BBM) eceran. BBM Jenis Pertalite dan Solar. Yang dibeli dari SPBU terdekat. "Lumayan, buat tambah-tambah penhasilan, selain dari jualan jajanan anak-anak," katanya menambahkan.
Dari hasil berdagang kecil-kecilan itu, dia bisa meraih keuntungan Rp30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. Jika beruntung, bisa dapat lebih. Dapat Rp60 ribu. Tapi jarang. "Seratus ribu, hampir tidak pernah. Paling sering di bawah lima puluh ribu. Jauh berkurang, waktu suami masih ada dan bekerja. Bisa dapat Rp600 ribu per minggu," ujarnya lirih.
Mengingat itu, hati Pariani seolah tercabik. Tapi bukan karena pendapatan yang jauh berkurang dan tak pernah cukup memenuhi kehidupannya sehari-hari. Dan bukan pula semata karena kepergian yang menafkahinya dari 20 tahun yang lalu.
Melainkan, karena merasa kehilangan hak-hak suaminya yang sudah bekerja selama 16 tahun dan hanya ditawari uang kompensasi senilai 1 bulan gaji. Selain khawatir, untuk membiayai kebutuhan sekolah kedua anaknya yang masih kecil-kecil. "Ya, sedih, kecewa, kesal, marah. Semuanya jadi satu. Entahlah...," katanya
Tak jauh, sekitar 500 meter dari rumah Pariani, tepatnya di Dusun V Desa Mekar Sari, Amran Sinaga (50) tengah duduk dii beranda depan rumahnya, di Dusun V Desa Mekar Sari.
Senasib dengan mendiang istri Jamari itu, ia juga sedang membayangkan bayang-bayang suram diusianya yang tak lagi muda. Apalagi di tengah-tengah masa pandemi Covid-19 yang belum tahu hingga kapan berakhir.
Selain tak lagi menerima gaji, ia juga merasa haknya atas PHK selama 17 tahun bekerja terancam. Yang harusnya uang tersebut bisa ia jadikan modal untuk menyambung hidupnya "Saya adalah satu pelopor Tim 8. Tim, yang kami bentuk untuk memperjuangkan hak-hak karyawan," kata Amran yang terakhir bekerja sebagai Asisten IPAL.
Pariani dan Amran merupakan dari 126 eks karyawan yang menggugat perusahaan dengan nilai total sebesar Rp13 miliar. Lewat kuasa hukum, mereka dan rekan-rekannya sedang berjuang menuntut hak-haknya lewat persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), di Medan. (Baca juga : Tutup Usaha, Perusahaan Crumb Rubber di Asahan Tolak Bayar Pesangon )
Namun bagi Pariani, selain membantah dalih perusahaan yang menolak membayarkan kewajibannya, ia juga kini tengah berupaya menagih Jaminan Kematian atas suaminya yang ditolak Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kisaran.
Saat ini, suara bising mesin-mesin penggilingan karet memang telah berhenti. Ketel Uap-nya pun tak lagi menyemburkan polusi. Tapi perjuangan mereka yang menjadi korban PHK, akan mengalir deras dari gorong-gorong gelap limbah pabrik--sampai keadilan itu singgah menghampiri!!
Kini, ia menjadi orangtua tunggal dari ketiga anaknya: Indra Pratama (20), Dwi Cahaya Pranesti (14) dan Adinda Cici Pramulia (7). Berempat, mereka tinggal di rumah peninggalan orang tua almarhum, di Dusun IIA, Desa Silau Timur, Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten Asahan. (Baca juga : Eks Karyawan Gugat Perusahaan Crumb Rubber di Asahan Rp13 Miliar )
Ketika ditemui SINDOnews.com, Sabtu (6/6/2020), Pariani tengah melayani seorang gadis kecil yang ingin membeli jajanan. Setelah menyodorkan 2 biji permen, sekeping logam berpindah dalam sekejap dari tangan mungil anak tetangganya itu, ke saku rok celananya yang lusuh. Uang pecahan Rp500.
"Saya tak punya kepandaian apa-apa. Cuma (jualan) ini yang bisa," katanya mengawali pembicaraan. Hampir 2 bulan Pariani telah melakoni pekerjaan itu sendiri. Sambil mengurus rumah dan merawat dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Sedangkan Indra telah bekerja.
Yang awalnya dulu dilakukan berdua. Disaat Jamari tak lagi bekerja di PT Fairco Bumi Lestari (FBL). Yang tanpa di beri pesangon, ketika manajemen perusaahaan crumb rubber industri di Asahan itu, menghentikan kegiatan operasional pabrik.
Sejak kejadian itu, ia memanfaatkan barang-barang rumah tangga yang ada. Meja makan dan steling kaca bekas dijadikan sebagai tempat pajangan menata barang-barang dagangan. Seperti mi instan, rokok, permen dan jajanan makanan anak-anak lainnya.
Disamping itu, juga menjual bahan bakar minyak (BBM) eceran. BBM Jenis Pertalite dan Solar. Yang dibeli dari SPBU terdekat. "Lumayan, buat tambah-tambah penhasilan, selain dari jualan jajanan anak-anak," katanya menambahkan.
Dari hasil berdagang kecil-kecilan itu, dia bisa meraih keuntungan Rp30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. Jika beruntung, bisa dapat lebih. Dapat Rp60 ribu. Tapi jarang. "Seratus ribu, hampir tidak pernah. Paling sering di bawah lima puluh ribu. Jauh berkurang, waktu suami masih ada dan bekerja. Bisa dapat Rp600 ribu per minggu," ujarnya lirih.
Mengingat itu, hati Pariani seolah tercabik. Tapi bukan karena pendapatan yang jauh berkurang dan tak pernah cukup memenuhi kehidupannya sehari-hari. Dan bukan pula semata karena kepergian yang menafkahinya dari 20 tahun yang lalu.
Melainkan, karena merasa kehilangan hak-hak suaminya yang sudah bekerja selama 16 tahun dan hanya ditawari uang kompensasi senilai 1 bulan gaji. Selain khawatir, untuk membiayai kebutuhan sekolah kedua anaknya yang masih kecil-kecil. "Ya, sedih, kecewa, kesal, marah. Semuanya jadi satu. Entahlah...," katanya
Tak jauh, sekitar 500 meter dari rumah Pariani, tepatnya di Dusun V Desa Mekar Sari, Amran Sinaga (50) tengah duduk dii beranda depan rumahnya, di Dusun V Desa Mekar Sari.
Senasib dengan mendiang istri Jamari itu, ia juga sedang membayangkan bayang-bayang suram diusianya yang tak lagi muda. Apalagi di tengah-tengah masa pandemi Covid-19 yang belum tahu hingga kapan berakhir.
Selain tak lagi menerima gaji, ia juga merasa haknya atas PHK selama 17 tahun bekerja terancam. Yang harusnya uang tersebut bisa ia jadikan modal untuk menyambung hidupnya "Saya adalah satu pelopor Tim 8. Tim, yang kami bentuk untuk memperjuangkan hak-hak karyawan," kata Amran yang terakhir bekerja sebagai Asisten IPAL.
Pariani dan Amran merupakan dari 126 eks karyawan yang menggugat perusahaan dengan nilai total sebesar Rp13 miliar. Lewat kuasa hukum, mereka dan rekan-rekannya sedang berjuang menuntut hak-haknya lewat persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), di Medan. (Baca juga : Tutup Usaha, Perusahaan Crumb Rubber di Asahan Tolak Bayar Pesangon )
Namun bagi Pariani, selain membantah dalih perusahaan yang menolak membayarkan kewajibannya, ia juga kini tengah berupaya menagih Jaminan Kematian atas suaminya yang ditolak Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kisaran.
Saat ini, suara bising mesin-mesin penggilingan karet memang telah berhenti. Ketel Uap-nya pun tak lagi menyemburkan polusi. Tapi perjuangan mereka yang menjadi korban PHK, akan mengalir deras dari gorong-gorong gelap limbah pabrik--sampai keadilan itu singgah menghampiri!!
(nfl)