LBH-Kontras Minta Kapolda Tuntaskan Empat Kasus Extra Judicial Killing
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi mendesak untuk menuntaskan beberapa kasus dugaan Extra Judicial Killing atau pembunuhan di luar proses hukum yang diduga melibatkan anggota Polri.
Tuntutan itu ditujukan kepada Irjen Pol Nana Sudjana, selaku Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan yang baru.
LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mencatat selama lima tahun terakhir ada empat kasus Extra Judicial Killing terhadap warga sipil yang dinilai melanggar Pasal 28 A dan Pasal 9 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sayangnya, proses hukum kasus-kasus itu dinilai penanganannya belum maksimal dan seakan senyap di tangan kepolisian.
Kasus-kasus dugaan Extra Judicial Killing, yakni kematian Agung Pranata di Makassar pada 2016, kematian Sugianto di Bantaeng pada 2019, kematian Kaharuddin di Makassar pada tahun 2019 dan penembakan Amar, Ikbar dan Anjas warga Jalan Barukang, Makassar pada 2020, di mana Anjas tewas akibat luka tembak di kepala. Sisanya luka-luka di kaki.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Andi Haerul Karim menjelaskan, empat kasus tersebut telah dilaporkan ke Polda Sulsel, di mana terlapor adalah oknum polisi yang diduga melanggar pasal 351 ayat 3, 170 hingga 340 KUHPidana terkait tindakan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Haerul menerangkan, kasus Agung Pranata telah ada lima orang tersangka yang berstatus anggota Polri dari Polsek Ujung Pandang. Agung, tewas setelah diduga disiksa oleh para tersangka dalam proses penangkapan dan penyelidikan. Agung dituduh mencuri. Belakangan kematian Agung dianggap janggal karena ditemukan bekas pukulan, tulang kepala dan belakang retak.
Polisi yang jadi tersangka, dirincikan Haerul yakni Aiptu Justan, Aiptu Syawaluddin Asryad, Bripka Astriadi, Bripka Ardin, dan Bripka Cakra Nuryadin. Namun kelima tersangka menang dalam gugatan praperadilan pada Juni 2021 sehingga para tersangka lolos dari hukuman.
Haerul menilai pada proses peradilan banyak hal yang janggal, di antaranya pembatalan penetapan tersangka, karena tidak ada saksi yang bisa dimintai konfirmasi dari termohon Polda. Tidak ada bukti petunjuk yang bisa dibaca hakim dan tidak ada juga keterangan ahli yang bisa jadi keterangan pembanding. "Kami anggap Polda tidak profesional," ucap dia di Kantornya, Rabu (17/11/2021).
Sedangkan kasus Sugianto, Haerul mengaku belum mendapat perkembangan dari Polres Bantaeng dan Polda Sulsel. Hal serupa juga terjadi di kasus Kaharuddin. Begitu juga di kasus tiga warga Barukang, proses pidananya belum ada tersangka, bahkan penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban.
Menurut Haerul, rencana penghentian penyelidikan oleh Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan atau yang diklaim sebagai pendekatan restorative justice adalah tindakan melawan hukum. "Perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinkan penghentian proses hukum dengan adanya pencabutan aduan oleh korban," tegasnya
Mengingat, keluarga Anjasmara dan dua korban lain bersama LBH melaporkan terlapor atas dugaan pelanggaran Pasal 338 KUHPidana subsidiair 170 KUHPidana juncto Pasal 351 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHPidana. LBH Makassar berharap, dengan struktur pejabat baru kepolisian di Sulsel, kasus ini bisa segera menemukan kejelasan.
Dari rentetan kasus dugaan Extra Judicial Killing tersebut, kata Haerul, Polda Sulsel terkesan melindungi citra institusinya dengan berupaya untuk melakukan penghentian proses hukum terhadap pelaku dengan berbagai modus.
"Mulai dari upaya mendamaikan pelaku dan korban dengan memberikan uang, mengulur-ngulur waktu dan mendiamkan laporan korban sampai dugaan pemalsuan keterangan," tuturnya.
Oleh karena itu, LBH Makassar dan KontraS Sulawesi meminta Irjen Pol Nana Sudjana untuk menyelesaikan perkara hukum tersebut secara transparan dan profesional. Mereka menganggap jika tidak dilakukan, itu berarti ada upaya untuk melanggengkan impunitas dalam kekerasan yang melibatkan anggota polisi .
"Kami meminta Kapolda Sulsel yang baru untuk memastikan anggotanya mengimplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia," tegas Haerul.
"Dan menghentikan segala bentuk impunitas dengan melaksanakan reformasi kultural internal kepolisian pada lingkup Polda Sulsel," tutupnya.
Sementara itu, Koordinator Kontras Sulawesi, Asyari Mukrim meminta Kapolda untuk mencabut surat penetapan penghentian penyelidikan penyidikan dugaan kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang menyebabkan kematian terhadap Agung Pranata, Anjasmara, dan Kaharuddin dan Sugianto.
"Dan melanjutkan sampai tuntas proses penyelidikan dan penyidikan kasus Agung Pranata, Anjas , Kaharuddin dan Sugianto. Kemudian memberikan atensi khusus dalam proses penegakan hukum untuk kasus aparat kepolisian sebagai terduga pelaku kejahatan," tandas Asyari.
Tuntutan itu ditujukan kepada Irjen Pol Nana Sudjana, selaku Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan yang baru.
LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mencatat selama lima tahun terakhir ada empat kasus Extra Judicial Killing terhadap warga sipil yang dinilai melanggar Pasal 28 A dan Pasal 9 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sayangnya, proses hukum kasus-kasus itu dinilai penanganannya belum maksimal dan seakan senyap di tangan kepolisian.
Kasus-kasus dugaan Extra Judicial Killing, yakni kematian Agung Pranata di Makassar pada 2016, kematian Sugianto di Bantaeng pada 2019, kematian Kaharuddin di Makassar pada tahun 2019 dan penembakan Amar, Ikbar dan Anjas warga Jalan Barukang, Makassar pada 2020, di mana Anjas tewas akibat luka tembak di kepala. Sisanya luka-luka di kaki.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Andi Haerul Karim menjelaskan, empat kasus tersebut telah dilaporkan ke Polda Sulsel, di mana terlapor adalah oknum polisi yang diduga melanggar pasal 351 ayat 3, 170 hingga 340 KUHPidana terkait tindakan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Haerul menerangkan, kasus Agung Pranata telah ada lima orang tersangka yang berstatus anggota Polri dari Polsek Ujung Pandang. Agung, tewas setelah diduga disiksa oleh para tersangka dalam proses penangkapan dan penyelidikan. Agung dituduh mencuri. Belakangan kematian Agung dianggap janggal karena ditemukan bekas pukulan, tulang kepala dan belakang retak.
Polisi yang jadi tersangka, dirincikan Haerul yakni Aiptu Justan, Aiptu Syawaluddin Asryad, Bripka Astriadi, Bripka Ardin, dan Bripka Cakra Nuryadin. Namun kelima tersangka menang dalam gugatan praperadilan pada Juni 2021 sehingga para tersangka lolos dari hukuman.
Haerul menilai pada proses peradilan banyak hal yang janggal, di antaranya pembatalan penetapan tersangka, karena tidak ada saksi yang bisa dimintai konfirmasi dari termohon Polda. Tidak ada bukti petunjuk yang bisa dibaca hakim dan tidak ada juga keterangan ahli yang bisa jadi keterangan pembanding. "Kami anggap Polda tidak profesional," ucap dia di Kantornya, Rabu (17/11/2021).
Sedangkan kasus Sugianto, Haerul mengaku belum mendapat perkembangan dari Polres Bantaeng dan Polda Sulsel. Hal serupa juga terjadi di kasus Kaharuddin. Begitu juga di kasus tiga warga Barukang, proses pidananya belum ada tersangka, bahkan penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban.
Menurut Haerul, rencana penghentian penyelidikan oleh Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan atau yang diklaim sebagai pendekatan restorative justice adalah tindakan melawan hukum. "Perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinkan penghentian proses hukum dengan adanya pencabutan aduan oleh korban," tegasnya
Mengingat, keluarga Anjasmara dan dua korban lain bersama LBH melaporkan terlapor atas dugaan pelanggaran Pasal 338 KUHPidana subsidiair 170 KUHPidana juncto Pasal 351 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 KUHPidana. LBH Makassar berharap, dengan struktur pejabat baru kepolisian di Sulsel, kasus ini bisa segera menemukan kejelasan.
Dari rentetan kasus dugaan Extra Judicial Killing tersebut, kata Haerul, Polda Sulsel terkesan melindungi citra institusinya dengan berupaya untuk melakukan penghentian proses hukum terhadap pelaku dengan berbagai modus.
"Mulai dari upaya mendamaikan pelaku dan korban dengan memberikan uang, mengulur-ngulur waktu dan mendiamkan laporan korban sampai dugaan pemalsuan keterangan," tuturnya.
Oleh karena itu, LBH Makassar dan KontraS Sulawesi meminta Irjen Pol Nana Sudjana untuk menyelesaikan perkara hukum tersebut secara transparan dan profesional. Mereka menganggap jika tidak dilakukan, itu berarti ada upaya untuk melanggengkan impunitas dalam kekerasan yang melibatkan anggota polisi .
"Kami meminta Kapolda Sulsel yang baru untuk memastikan anggotanya mengimplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia," tegas Haerul.
"Dan menghentikan segala bentuk impunitas dengan melaksanakan reformasi kultural internal kepolisian pada lingkup Polda Sulsel," tutupnya.
Sementara itu, Koordinator Kontras Sulawesi, Asyari Mukrim meminta Kapolda untuk mencabut surat penetapan penghentian penyelidikan penyidikan dugaan kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang menyebabkan kematian terhadap Agung Pranata, Anjasmara, dan Kaharuddin dan Sugianto.
"Dan melanjutkan sampai tuntas proses penyelidikan dan penyidikan kasus Agung Pranata, Anjas , Kaharuddin dan Sugianto. Kemudian memberikan atensi khusus dalam proses penegakan hukum untuk kasus aparat kepolisian sebagai terduga pelaku kejahatan," tandas Asyari.
(agn)