Permenhub Larangan Mudik Disiapkan, Pelanggar Akan Disanksi

Rabu, 22 April 2020 - 14:37 WIB
loading...
Permenhub Larangan Mudik...
Pemudik. Foto/Dok SINDO
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melarang masyarakat mudik pada tahun 2020 ini dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19, Selasa (21/4/2020).

Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Perhubungan segera menyiapkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub).

"Kemarin, Presiden sudah memutuskan bahwa pemerintah tidak lagi mengimbau tapi dengan tegas melarang masyarakat untuk mudik. Arahan Beliau, transportasi diharapkan dapat berperan aktif dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyebaran Covid-19. Untuk itu, Kementerian Perhubungan akan segera menyiapkan Permenhub yang mengatur pelarangan mudik termasuk sanksinya apabila melanggar aturan," demikian disampaikan Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati, di Jakarta, Rabu (22/4/2020).

Penyusunan regulasi Permenhub ini akan melibatkan stakeholder terkait seperti Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kepolisian dan sebagainya. Adita menjelaskan, regulasi transportasi terkait pelarangan mudik, berlaku untuk angkutan umum penumpang dan kendaraan pribadi.

"Pelarangan dimulai pada 24 April 2020 secara bertahap, bertingkat dan berkelanjutan, dan mulai diberlakukan sanksi secara penuh pada 7 Mei 2020. Pelarangan mudik akan diberlakukan sampai dengan tanggal 2 Syawal 1441 H, dan dapat menyesuaikan dengan memerhatikan dinamika perkembangan pandemi Covid-19," jelas Adita.

Adita menjelaskan, skenario yang akan disiapkan adalah pembatasan lalu lintas pada jalan akses keluar masuk wilayah, bukan penutupan jalan. Hal tersebut dilakukan karena yang dilarang untuk melintas adalah angkutan yang membawa penumpang saja, sementara angkutan barang atau logistik masih dapat beroperasi.

Pelarangan mudik berlaku untuk wilayah Jabodetabek dan wilayah-wilayah yang sudah ditetapkan untuk diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga wilayah yang masuk zona merah virus corona.

Larangan mudik ini nantinya tidak memperbolehkan lalu lintas orang untuk keluar dan masuk dari dan ke wilayah khususnya Jabodetabek. Namun masih memperbolehkan arus lalu lintas orang di dalam Jabodetabek (aglomerasi).

Transportasi massal di dalam Jabodetabek seperti KRL juga tidak akan ditutup atau dihentikan operasionalnya. Hal ini untuk mempermudah masyarakat yang tetap bekerja khususnya tenaga kesehatan, dan cleaning service rumah sakit.

Sebagai informasi, dalam Pidatonya, Selasa (21/4/2020), Presiden RI Joko Widodo memutuskan untuk melarang mudik. Beberapa yang menjadi pertimbangannya yaitu berdasarkan hasil Survei yang dilakukan Kemenhub melalui Badan Litbang Perhubungan (Balitbanghub) pada yang menyebutkan bahwa masih ada sebanyak 24% masyarakat yang menyatakan tetap ingin mudik.

Selain itu, pemerintah juga baru saja menyalurkan bantuan sosial untuk masyarakat, khususnya untuk wilayah Jabodetabek, dan sesuai arahan dari Presiden Joko Widodo, seluruh hal yang berkaitan dengan jaring pengaman sosial juga harus segera berjalan.

Waspadai Mudik Lebih Awal

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengingatkan pemerintah agar mewaspadai mudik awal atau eksodus besar-besaran dalam tiga hari menjelang larangan mudik resmi berlaku.

Menurut Djoko, masyarakat masih bisa menggunakan angkutan umum atau angkutan sewa berpelat hitam untuk mudik. Sementara itu, batasan jumlah penumpang bagi kendaraan keluar wilayah Jabodetabek juga belum diterapkan, seperti halnya penerapan PSBB di wilayah Jabodebatek. "Larangan itu dapat diterapkan mulai sekarang pada semua kendaraan keluar Jabodetabek, kecuali kendaraan logistik dan kendaraan tertentu yang diijinkan," kata Djoko kepada SINDOnews, Rabu (22/4/2020).

Pembatasan larangan mudik tidak hanya dilakukan dari Jakarta ke daerah lain. Ini berlaku di seluruh Indonesia. Namun, asal pemudik terbesar yang termasuk zona merah adalah Jakarta. Larangan itu dapat diterapkan berdasarkan batasan wilayah aglomerasi, seperti Jabodetebek, Malang Raya, Bandung Raya, Kedungsepur, Gerbangkertasusila, Banjarbakula, Mebidang, Barlingmascakeb. Sekarang ini, mobilitas penduduk sudah menyebar dalam kawasan aglomerasi.

Demi keselamatan bersama, pemerintah harus bertindak tegas. Harus diberikan sanksi hukum bagi yang melanggar mudik tahun ini. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana paling banyak Rp100 juta

"Jika aturan ketat itu bisa menahan laju pemudik yang belum mudik, pemerintah harus menyiapkan kompensasi. Apabila selama ini ada anggaran mudik gratis untuk pekerja sektor informal, anggaran itu kali ini bisa dialokasikan untuk pengadaan sembako guna membantu masyarakat peserta mudik gratis yang tidak bisa pulang," kata dia.

Di sisi lain, Dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menilai, kebijakan larangan mudik itu sangat memberatkan bagi pengusaha angkutan umum darat seperti bus antarkota antarprovinsi (AKAP), antarjemput antarprovinsi (AJAP) atau travel, bus pariwisata, taksi reguler konvensional, dan sebagian angkutan perairan.

"Berikanlah bantuan insentif dan kompensasi bagi pengusaha dan pekerja transportasinya. Tujuannya, agar tidak ada satu pun perusahaan angkutan umum yang gulung tikar nantinya. Yang rugi juga kelak pemerintah jika banyak perusahaan angkutan umum yang gulung tikar," kata dia.

Ia juga berharap ada revisi terkait Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang memberikan debitur untuk keringanan membayar angsuran dengan plafon hingga Rp10 miliar.

"Jangan dibatasi nilai hingga Rp10 miliar, dihilangkan saja batasan itu, supaya pengusaha angkutan umum mendapat insentif penundaan pembayaran pinjaman. Juga penundaan membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," kata dia.

Bagi pekerja transportasi seperti pengemudi dan kernet, kata Djoko, perlu mendapatkan kompensasi dari pemerintah sebagai bentuk kehadiran negara melindungi pekerja transportasi. Sudah dialokasi mendapat Rp600.000 per bulan selama tiga bulan melalui Polri.

"Agar data penerima tepat sasaran, para Kasatlantas di Polres sebagai pelaksana terendah dapat bekerja sama dengan Organda Kabupaten/Kota untuk mendapatkan data pengemudi angkutan umum di daerahnya," kata dia.

Di samping itu, untuk mengantar bantuan sembako bagi warga kurang mampu, pemerintah tidak hanya menggandeng perusahaan transportasi daring, dapat pula melibatkan Organda, supaya pengusaha angkutan darat juga memperoleh penghasilan untuk keberlangsungan hidupnya.
(nth)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3114 seconds (0.1#10.140)