Polisi Diminta Usut Ormas Penganiaya Mahasiswa Papua saat Demo di Makassar
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mendorong kepolisian untuk mengusut dugaan penganiayaan dan kekerasan oleh salah satu organisasi masyarakat (Ormas) terhadap kelompok mahasiswa Papua ketika melakukan aksi demonstrasi di Fly Over, Kota Makassar, belum lama ini.
Advokat Publik LBH Makassar, Andi Haerul Karim mengatakan pihaknya sudah mendapat aduan dari kelompok mahasiswa Papua tersebut. Insiden pengeroyokan itu terjadi pada Selasa (26/10/2021), sekira pukul 14.30 Wita. Enam mahasiswa mengalami luka di beberapa bagian tubuh.
Haerul menjelaskan beberapa oknum ormas tersebut berupaya membubarkan aksi demonstrasi kala itu. Mereka diduga menganiaya demonstran yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mahasiswa Papua dengan cara mencekik, memukul dan menendang.
"Waktu itu, massa aksi hendak menuju ke titik aksi di depan Kantor DPRD Sulsel . Setelah tiba, massa aksi membentangkan spanduk dan mulai menertibkan massa aksi dengan menggunakan tali komando. Pada saat tiba di titik aksi, ormas juga sudah ada di titik aksi," katanya, Senin (1/11/2021).
Di lokasi, lanjut Haerul, ormas langsung merepresi para mahasiswa. Salah satu yang mendapat kekerasan adalah koordinator lapangan aksi. "Dicekik leher dan dipukul di bibir atas hingga pecah. Setelah itu ormas menarik spanduk lalu mengelilingi massa aksi dan menarik pataka-pataka," jelasnya.
Sembari menganiaya, ormas itu juga menyuruh agar para mahasiswa membubarkan diri. Namun, masa aksi saat itu masih bertahan. Penganiayaan disaksikan dua oknum aparat penegak hukum yang saat itu bertugas di lokasi kejadian.
"Saat terjadi aksi dorong-dorongan, salah satu ormas menendang salah satu massa aksi perempuan hingga terjatuh, hingga memicu kemarahan dari massa aksi dan berusaha untuk saling melindungi. Total ada enam orang yang menjadi korban penganiayaan," ujar Haerul.
Dia melanjutkan, meski direpresi ormas, massa tetap bertahan dan menyampaikan aspirasi dengan megaphone. "Di situ ormas memukul lagi pakai payung dan mulai melemparkan batu dan kayu. Beberapa massa aksi ditarik hingga bajunya robek, jaket juga diambil," ungkap Haerul.
Karena terus disudutkan, massa aksi mulai berusaha mengamankan diri dan melindungi diri dengan melempar balik ormas. "Massa aksi mundur jalan balik hingga kembali ke titik kumpul dengan menyanyi. Setelah tiba di titik kumpul awal massa aksi membacakan pernyataan sikap," tegasnya.
Beberapa poin pernyataan sikap di antaranya, hentikan pembangunan pangkalan Militer, Mako Brimob dan Pos-pos militer di atas Tanah Papua, menolak pembangunan Smelter di Gresik Jawa Timur, cabut Omnibus Law dan Otsus Jilid II yang menjadi dalang penjajahan di atas Tanah Papua.
Akibat kejadian itu, mahasiswa mengalami sejumlah luka-luka. LBH Makassar mendesak agar aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dan menangkap ormas pembuat onar. Tindakan ormas itu dianggap melanggar Pasal 18 Ayat 2 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang penghalang-halangan berpendapat di muka umum.
LBH juga meminta agar pimpinan Polisi Daerah Sulsel, untuk mengevaluasi tindakan dugaan pengabaian melindungi peserta aksi oleh ormas yang berbuat seenaknya. "Ketentuan umum dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun," tegas Haerul.
Terpisah, Kasubag Humas Polrestabes Makassar , AKP Lando menegaskan, tidak ada upaya pembiaran, saat ormas membubarkan mahasiswa yang saat itu berdemo. "Kami justru berupaya melerai agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan untuk masyarakat," ujarnya.
Dia mengatakan aksi mahasiswa Papua itu memang telah mendapat izin melalui Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) kepolisian. Lando menegaskan tetap mengusut kasus tersebut, namun lebih dulu harus mendapat laporan polisi dari yang dirugikan.
Lando bilang pihaknya tidak mentolerir pihak-pihak yang berlagak seperti polisi. "Tidak dibenarkan ada pihak lain yang membubarkan kegiatan, selain petugas kepolisian. Dengan demikian setiap ada pelanggaran hukum, maka akan dilakukan tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujarnya.
Advokat Publik LBH Makassar, Andi Haerul Karim mengatakan pihaknya sudah mendapat aduan dari kelompok mahasiswa Papua tersebut. Insiden pengeroyokan itu terjadi pada Selasa (26/10/2021), sekira pukul 14.30 Wita. Enam mahasiswa mengalami luka di beberapa bagian tubuh.
Haerul menjelaskan beberapa oknum ormas tersebut berupaya membubarkan aksi demonstrasi kala itu. Mereka diduga menganiaya demonstran yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mahasiswa Papua dengan cara mencekik, memukul dan menendang.
"Waktu itu, massa aksi hendak menuju ke titik aksi di depan Kantor DPRD Sulsel . Setelah tiba, massa aksi membentangkan spanduk dan mulai menertibkan massa aksi dengan menggunakan tali komando. Pada saat tiba di titik aksi, ormas juga sudah ada di titik aksi," katanya, Senin (1/11/2021).
Di lokasi, lanjut Haerul, ormas langsung merepresi para mahasiswa. Salah satu yang mendapat kekerasan adalah koordinator lapangan aksi. "Dicekik leher dan dipukul di bibir atas hingga pecah. Setelah itu ormas menarik spanduk lalu mengelilingi massa aksi dan menarik pataka-pataka," jelasnya.
Sembari menganiaya, ormas itu juga menyuruh agar para mahasiswa membubarkan diri. Namun, masa aksi saat itu masih bertahan. Penganiayaan disaksikan dua oknum aparat penegak hukum yang saat itu bertugas di lokasi kejadian.
"Saat terjadi aksi dorong-dorongan, salah satu ormas menendang salah satu massa aksi perempuan hingga terjatuh, hingga memicu kemarahan dari massa aksi dan berusaha untuk saling melindungi. Total ada enam orang yang menjadi korban penganiayaan," ujar Haerul.
Dia melanjutkan, meski direpresi ormas, massa tetap bertahan dan menyampaikan aspirasi dengan megaphone. "Di situ ormas memukul lagi pakai payung dan mulai melemparkan batu dan kayu. Beberapa massa aksi ditarik hingga bajunya robek, jaket juga diambil," ungkap Haerul.
Karena terus disudutkan, massa aksi mulai berusaha mengamankan diri dan melindungi diri dengan melempar balik ormas. "Massa aksi mundur jalan balik hingga kembali ke titik kumpul dengan menyanyi. Setelah tiba di titik kumpul awal massa aksi membacakan pernyataan sikap," tegasnya.
Beberapa poin pernyataan sikap di antaranya, hentikan pembangunan pangkalan Militer, Mako Brimob dan Pos-pos militer di atas Tanah Papua, menolak pembangunan Smelter di Gresik Jawa Timur, cabut Omnibus Law dan Otsus Jilid II yang menjadi dalang penjajahan di atas Tanah Papua.
Akibat kejadian itu, mahasiswa mengalami sejumlah luka-luka. LBH Makassar mendesak agar aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dan menangkap ormas pembuat onar. Tindakan ormas itu dianggap melanggar Pasal 18 Ayat 2 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang penghalang-halangan berpendapat di muka umum.
LBH juga meminta agar pimpinan Polisi Daerah Sulsel, untuk mengevaluasi tindakan dugaan pengabaian melindungi peserta aksi oleh ormas yang berbuat seenaknya. "Ketentuan umum dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun," tegas Haerul.
Terpisah, Kasubag Humas Polrestabes Makassar , AKP Lando menegaskan, tidak ada upaya pembiaran, saat ormas membubarkan mahasiswa yang saat itu berdemo. "Kami justru berupaya melerai agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan untuk masyarakat," ujarnya.
Dia mengatakan aksi mahasiswa Papua itu memang telah mendapat izin melalui Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) kepolisian. Lando menegaskan tetap mengusut kasus tersebut, namun lebih dulu harus mendapat laporan polisi dari yang dirugikan.
Lando bilang pihaknya tidak mentolerir pihak-pihak yang berlagak seperti polisi. "Tidak dibenarkan ada pihak lain yang membubarkan kegiatan, selain petugas kepolisian. Dengan demikian setiap ada pelanggaran hukum, maka akan dilakukan tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujarnya.
(agn)