Taktik Ublek Telur Kodam Brawijaya Hancurkan PKI Blitar Selatan yang Hendak Bangkit
loading...
A
A
A
BLITAR - Pada 21 Juli 1968, Oloan Hutapea tewas. Mayat salah satu dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI) itu ditemukan di tebing bebatuan kawasan Gunung Asem, Panggungrejo, Blitar Selatan, Jawa Timur. Kondisinya mengenaskan. Kepalanya terluka parah akibat timpukan batu. Oloan Hutapea adalah salah satu pimpinan Comite Central (CC) PKI yang diburu.
Pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, ia berhasil lolos dari operasi pembersihan. Dari ibukota menyelinap ke wilayah Blitar Selatan. Bersama pimpinan partai yang selamat, Oloan berupaya merekatkan kembali kekuatan partai. Hasil rapat Politbiro CC PKI April 1967, Oloan Hutapea ditunjuk sebagai Ketua Departemen Organisasi.
Sementara Ketua Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan dipegang Ruslan Widjajasatra. Posisinya menggantikan DN Aidit. Sebelum G30S PKI meledak, Ruslan merupakan anggota CC PKI yang merangkap PB Ketua Daerah Jatim tahun 1951. Rewang yang juga berada di Blitar Selatan didapuk sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda sekaligus anggota Pleno CC PKI.
Sedangkan Munir memegang jabatan Ketua Departemen Perjuangan Bersenjata (Perjuta). Sebelum peristiwa G30SPKI, laki-laki kelahiran Sumenep Madura itu bertugas di Politbiro CC PKI Jakarta. Ia juga sebagai Ketua Dinas SOBSI. PKI Gaya Baru Blitar Selatan menebar teror dengan sandi gerakan Pembasmian Rumput Beracun.
Mereka menerapkan prinsip P3, yakni Perampokan, Penculikan dan Pembunuhan. Sasarannya para pelaku pembantaian orang-orang PKI pada peristiwa 30 September 1965. Seiring itu konsolidasi seluruh kekuatan terus mereka galang.
Di sejumlah daerah didirikan Comite Proyek (Compro) sebagai basis gerakan dengan Blitar Selatan sebagai pusat gerakan.
Kodam VIII Brawijaya mencium aroma kebangkitan itu. Operasi Trisula Blitar Selatan yang dipimpin Kolonel Infantri Witarmin, sontak digelar.
"Jalan apapun yang ditempuh oleh gerombolan PKI tidak akan menolong dari kehancurannya," kata Kolonel Infantri Witarmin dalam buku Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja.
Secara keseluruhan, kegiatan PKI di Blitar Selatan digerakkan tiga kelompok. Politbiro Central Comite PKI, Comite Daerah Besar (Provinsi Jatim) dan Comite Proyek (Compro).
Dipilihnya Blitar Selatan menurut Mayjen Soebijakto karena daerah tersebut tempat terisolasi. Sejak zaman Belanda, Blitar Selatan yang alamnya tandus, dikenal sebagai sarang bromocorah. Sudah lama komunisme tumbuh subur di sana.
"Dan merupakan basis massa PKI sejak 1948 dan sesudah Pemilu 1955," katanya dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI".
Di luar aksi teror penculikan, perampokan dan pembunuhan, Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan menyusun tesis Perjuangan Bersenjata (Perjuta). Mereka memadukan konsep Mao Tse Tung (Cina) dengan Vo Nguyen Giap, komunis Vietnam. Basis revolusi (Basrev) dibangun. Disiapkan Comite Proyek, Komando Proyek, Detasemen Gerilya (Detga) dan Gerilya Desa (Gerda) sebagai perangkat pertempuran.
PKI Gaya Baru Blitar Selatan tengah menyiapkan Perang Rakyat. Dalam buku Banser Berjihad Menumpas PKI, disebutkan," Pada November 1967, CC PKI Blitar Selatan mengadakan Kursus Kilat Perang Rakyat (KKPR)".
KKPR yang diikuti 30 siswa berlangsung 10 hari di Dusun Belik Bendo, Blitar Selatan. Rewang mengajar "Kritik Oto Kritik". Oloan Hutapea mengajar materi "Membangun Kembali PKI", Ruslan Widjajasastra mengisi "Materialisme Dialektika Historis" dan Munir mengajar "Thesis Perang Rakyat".
Dalam upaya bangkit kembali, Compro Blitar Selatan juga berhasil menyelenggarakan Sekolah Perang Rakyat (SPR) sampai lima angkatan. Secara organisasi PKI Gaya Baru membentuk struktur mulai tingkat pusat (Comite Central), Provinsi (Comite Daerah Besar), Kabupaten (Comite Seksi), Kecamatan (Comite Sub Seksi), Desa/Kelurahan (Comite Ressort Besar) dan Perdukuhan (Comite Ressort).
Mereka juga mengenalkan istilah Pembangunan Partai (PP), Gerakan Massa (Germas), Kerja di Kalangan Musuh (KKM) dan Sabotase Combat (Sabcom).
Atas perintah langsung dari Panglima Tertinggi TNI, Kodam Brawijaya langsung bergerak cepat. Perintah Operasi 02/05/1968 diluncurkan dengan diikuti pembentukan Komando Operasi Trisula. Batalyon Infantri 531/Para, Batalyon Infantri 511, Batlyon Infantri 513, Batalyon Infantri 521, dan Batalyon Infantri 527 dikerahkan.
Kodim 0808 Blitar, Kodim 0807 Tulungagung, Kodim 0818 Malang serta sejumlah Koramil, juga dilibatkan sebagai satuan teritorial. Komando Operasi Trisula juga menyiapkan (On call) Batalyon Zeni Tempur Amphibi di Pasuruan, Batalyon Artileri Medan di Ngawi, Batalyon Infantri 501/Para, serta Grup Resimen RPKAD. Kekuatan Angkatan Udara Taktis juga diterjunkan.
Operasi Trisula Blitar Selatan mendapat dukungan Ansor Banser NU. Lebih dari 10.000 banser yang berasal dari Blitar, Kediri, Malang, Jombang, Tulungagung dan Trenggalek, diterjunkan ke Blitar Selatan.
KH Maksum Djauhari Komandan Banser Pesantren Lirboyo Kediri, ikut terjun langsung dalam operasi penumpasan.
"Saya sendiri waktu itu ya pakai seragam Hansip, berkeliling sampai pedalaman Blitar dan Malang Selatan," kata Gus Maksum dalam Banser Berjihad Menumpas PKI.
Isi utama dari Perintah Operasi 02/5/1968 adalah menghancurkan proyek basis PKI Blitar Selatan. Di bawah Komandan Satgas Operasi Trisula Kolonel Infantri Witarmin, perang dimulai. Pos Komando Pertempuran diletakkan di wilayah Kademangan.
Pengepungan besar-besaran dilakukan di wilayah Suruhwadang, Maron dan Ngeni (SMN), yang merupakan desa-desa proyek mutlak PKI Blitar Selatan. Untuk meringkus kader dan simpatisan PKI yang bersembunyi di tengah warga, TNI menerapkan taktik pagar betis.
Di bulan Juni 1968. Banser yang berpakaian Hansip, personil TNI dan masyarakat berderet panjang hingga puluhan kilometer. Mulai dari Suruhwadang hingga Maron. Pengepungan tersebut diikuti dengan aksi penggeropyokan kilat.
Pasukan Operasi Trisula juga bergerak intensif di seluruh perbatasan Blitar Selatan di wilayah Tulungagung dan Malang. Wilayah perbatasan terbongkar sebagai jalur keluar masuk kurir PKI dari Surabaya dan Malang.
Dijelaskan secara rinci dalam buku Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja. Pada hari pertama Operasi Trisula dalam waktu singkat sebanyak 4.280 orang dikumpulkan. Sebanyak 8 orang teridentifikasi sebagai anggota Gerilya Desa dan 2 orang sebagai Detasemen Gerilya PKI Gaya Baru Blitar Selatan. Banyak kader PKI yang tertangkap hidup-hidup, dan menyerah.
Namun tidak sedikit yang mempraktikkan aksi Gerakan Tutup Mulut (GTM) dan 3 Tidak (Tidak Tahu, Tidak Dengar dan Tidak Mengerti). Saat diinterogasi mereka memilih mengunci mulut. Rata-rata aksi GTM dilakukan para kader PKI tingkat bawah.
Sementara kader tingkat menengah atas memilih berbicara, dan oleh TNI langsung dipakai sebagai petunjuk operasi. Meski terdesak, para kader PKI yang lolos dari penggeropyokan melawan.
Baku tembak terjadi di medan-medan sulit. Tebing perbukitan dan hutan. Dalam bertempur PKI menerapkan gaya perang gerilya. Menyerang tiba-tiba, menghindar bila lawan berkekuatan besar, menyerang bila lawan berkekuatan kecil, serta melakukan gerakan kucing-kucingan, yakni menyerang dan menghilang.
TNI meladeni dengan taktik perang anti gerilya. Dengan taktik spiral, satu sasaran diserang berulang-ulang.
Serangan berlangsung estafet tanpa henti, dengan tujuan tidak memberi kesempatan musuh istirahat dan berkonsolidasi. Sejumlah Ruba (Rumah bawah) yakni lubang-lubang di pinggir sungai yang menjadi tempat pesembunyian orang-orang PKI, dihancurkan. Dengan gerakan intelejen di kawasan yang dikuasai PKI, TNI melancarkan operasi Ayam Alas dengan taktik Ublek Telur (Aduk Telur).
Sesuai namanya Ublek Telur, penyisiran di dilakukan berulang dan terus menerus. Dalam waktu singkat, simpul-simpul PKI di masyarakat terbongkar. Mereka yang selama ini sebagai sumber logistik PKI dan termasuk jaringan pembinaan ideologi di tengah massa rakyat, terungkap. Seluruh rakyat mulai ragu dan tidak mempercayai lagi gerombolan PKI yang sudah lama menguasainya.
Semakin terlihat sekaligus bisa dibedakan mana sel musuh dan mana pasukan Perjuangan Bersenjatanya (Perjuta) yang merupakan tenaga inti Detasemen Gerilya. Dengan menamai Operasi Kolomonggo, pasukan TNI bersama Banser NU terus merangsek maju ke wilayah yang dikuasai PKI. Orang-orang PKI yang menolak menyerah, digilas. Dalam baku serang di kawasan Gunung Asem Panggungrejo, Oloan Hutapea terbunuh.
Dedengkot PKI itu ambruk dan tewas setelah lemparan batu besar mengenai kepalanya. Pada 15 Juni 1968, Ir Soerachman juga tewas tertembak di kawasan hutan Desa Maron. Surachman sudah diperingatkan untuk menyerah, namun nekat kabur.
Bedil Kopda Soepono mengakhiri hidupnya. Surachman merupakan pimpinan PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) yang berafiliasi dengan PKI.
Di dalam tas hitam yang bersama mayatnya, ditemukan radio transistor, kacamata kir, sikat gigi, cincin emas, garuk jenggot, bolpoin, tape recorder dan buku kaum buruh sedunia bersatulah dengan gambar Mao Tse Tung.
Pada 20 Juli 1968, Batalyon Infantri 511 berhasil menangkap Rewang hidup-hidup di Sumberjati, Kademangan. Ruslan Widjajasatra Ketua Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan tertangkap 13 Juli 1968 di Kaligrenjeng.
Hanya selisih sehari, yakni 14 Juli 1968, Ketua Departemen Perjuangan Bersenjata (Perjuta) Munir ditangkap di Dukuh Jembangan. Perang urat syaraf dengan seruan 3 M, yakni Membantu, Menyerah atau Mati terbukti ampuh.
Banyak kader PKI Blitar Selatan yang sudah terkepung akhirnya memutuskan menyerah. Operasi Trisula selama 90 hari di sepanjang tahun 1967-1968, berhasil menumpas PKI Gaya Baru Blitar Selatan.
Sebanyak 57 pimpinan PKI mulai tingkat CC (Pusat), CDB (Provinsi), CS (Kabupaten) hingga CSS (Kecamatan) ditangkap hidup dan mati. Operasi yang dipimpin Kolonel Witarmin berhasil menyita 43 pucuk senjata api dengan berbagai jenis, 20 peralatan senjata api, termasuk radio dan mesin ketik, serta 135 perkakas lainnya.
Untuk mencegah terulangnya peristiwa kebangkitan PKI di Blitar Selatan, TNI menempatkan anggotanya sebagai caretaker di pemerintahan mulai tingkat kecamatan hingga desa. "Jelas bahwa akibat kegiatan PKI telah banyak menimbulkan kerugian dan korban di kalangan rakyat, yang sebenarnya tidak mengerti dan hanya dipengaruhi untuk membantu gerombolan PKI," kata Kolonel Inf Witarmin dalam Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja.
Pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, ia berhasil lolos dari operasi pembersihan. Dari ibukota menyelinap ke wilayah Blitar Selatan. Bersama pimpinan partai yang selamat, Oloan berupaya merekatkan kembali kekuatan partai. Hasil rapat Politbiro CC PKI April 1967, Oloan Hutapea ditunjuk sebagai Ketua Departemen Organisasi.
Baca Juga
Sementara Ketua Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan dipegang Ruslan Widjajasatra. Posisinya menggantikan DN Aidit. Sebelum G30S PKI meledak, Ruslan merupakan anggota CC PKI yang merangkap PB Ketua Daerah Jatim tahun 1951. Rewang yang juga berada di Blitar Selatan didapuk sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda sekaligus anggota Pleno CC PKI.
Sedangkan Munir memegang jabatan Ketua Departemen Perjuangan Bersenjata (Perjuta). Sebelum peristiwa G30SPKI, laki-laki kelahiran Sumenep Madura itu bertugas di Politbiro CC PKI Jakarta. Ia juga sebagai Ketua Dinas SOBSI. PKI Gaya Baru Blitar Selatan menebar teror dengan sandi gerakan Pembasmian Rumput Beracun.
Mereka menerapkan prinsip P3, yakni Perampokan, Penculikan dan Pembunuhan. Sasarannya para pelaku pembantaian orang-orang PKI pada peristiwa 30 September 1965. Seiring itu konsolidasi seluruh kekuatan terus mereka galang.
Di sejumlah daerah didirikan Comite Proyek (Compro) sebagai basis gerakan dengan Blitar Selatan sebagai pusat gerakan.
Kodam VIII Brawijaya mencium aroma kebangkitan itu. Operasi Trisula Blitar Selatan yang dipimpin Kolonel Infantri Witarmin, sontak digelar.
"Jalan apapun yang ditempuh oleh gerombolan PKI tidak akan menolong dari kehancurannya," kata Kolonel Infantri Witarmin dalam buku Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja.
Secara keseluruhan, kegiatan PKI di Blitar Selatan digerakkan tiga kelompok. Politbiro Central Comite PKI, Comite Daerah Besar (Provinsi Jatim) dan Comite Proyek (Compro).
Dipilihnya Blitar Selatan menurut Mayjen Soebijakto karena daerah tersebut tempat terisolasi. Sejak zaman Belanda, Blitar Selatan yang alamnya tandus, dikenal sebagai sarang bromocorah. Sudah lama komunisme tumbuh subur di sana.
"Dan merupakan basis massa PKI sejak 1948 dan sesudah Pemilu 1955," katanya dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI".
Di luar aksi teror penculikan, perampokan dan pembunuhan, Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan menyusun tesis Perjuangan Bersenjata (Perjuta). Mereka memadukan konsep Mao Tse Tung (Cina) dengan Vo Nguyen Giap, komunis Vietnam. Basis revolusi (Basrev) dibangun. Disiapkan Comite Proyek, Komando Proyek, Detasemen Gerilya (Detga) dan Gerilya Desa (Gerda) sebagai perangkat pertempuran.
PKI Gaya Baru Blitar Selatan tengah menyiapkan Perang Rakyat. Dalam buku Banser Berjihad Menumpas PKI, disebutkan," Pada November 1967, CC PKI Blitar Selatan mengadakan Kursus Kilat Perang Rakyat (KKPR)".
KKPR yang diikuti 30 siswa berlangsung 10 hari di Dusun Belik Bendo, Blitar Selatan. Rewang mengajar "Kritik Oto Kritik". Oloan Hutapea mengajar materi "Membangun Kembali PKI", Ruslan Widjajasastra mengisi "Materialisme Dialektika Historis" dan Munir mengajar "Thesis Perang Rakyat".
Dalam upaya bangkit kembali, Compro Blitar Selatan juga berhasil menyelenggarakan Sekolah Perang Rakyat (SPR) sampai lima angkatan. Secara organisasi PKI Gaya Baru membentuk struktur mulai tingkat pusat (Comite Central), Provinsi (Comite Daerah Besar), Kabupaten (Comite Seksi), Kecamatan (Comite Sub Seksi), Desa/Kelurahan (Comite Ressort Besar) dan Perdukuhan (Comite Ressort).
Mereka juga mengenalkan istilah Pembangunan Partai (PP), Gerakan Massa (Germas), Kerja di Kalangan Musuh (KKM) dan Sabotase Combat (Sabcom).
Atas perintah langsung dari Panglima Tertinggi TNI, Kodam Brawijaya langsung bergerak cepat. Perintah Operasi 02/05/1968 diluncurkan dengan diikuti pembentukan Komando Operasi Trisula. Batalyon Infantri 531/Para, Batalyon Infantri 511, Batlyon Infantri 513, Batalyon Infantri 521, dan Batalyon Infantri 527 dikerahkan.
Kodim 0808 Blitar, Kodim 0807 Tulungagung, Kodim 0818 Malang serta sejumlah Koramil, juga dilibatkan sebagai satuan teritorial. Komando Operasi Trisula juga menyiapkan (On call) Batalyon Zeni Tempur Amphibi di Pasuruan, Batalyon Artileri Medan di Ngawi, Batalyon Infantri 501/Para, serta Grup Resimen RPKAD. Kekuatan Angkatan Udara Taktis juga diterjunkan.
Operasi Trisula Blitar Selatan mendapat dukungan Ansor Banser NU. Lebih dari 10.000 banser yang berasal dari Blitar, Kediri, Malang, Jombang, Tulungagung dan Trenggalek, diterjunkan ke Blitar Selatan.
KH Maksum Djauhari Komandan Banser Pesantren Lirboyo Kediri, ikut terjun langsung dalam operasi penumpasan.
"Saya sendiri waktu itu ya pakai seragam Hansip, berkeliling sampai pedalaman Blitar dan Malang Selatan," kata Gus Maksum dalam Banser Berjihad Menumpas PKI.
Isi utama dari Perintah Operasi 02/5/1968 adalah menghancurkan proyek basis PKI Blitar Selatan. Di bawah Komandan Satgas Operasi Trisula Kolonel Infantri Witarmin, perang dimulai. Pos Komando Pertempuran diletakkan di wilayah Kademangan.
Pengepungan besar-besaran dilakukan di wilayah Suruhwadang, Maron dan Ngeni (SMN), yang merupakan desa-desa proyek mutlak PKI Blitar Selatan. Untuk meringkus kader dan simpatisan PKI yang bersembunyi di tengah warga, TNI menerapkan taktik pagar betis.
Di bulan Juni 1968. Banser yang berpakaian Hansip, personil TNI dan masyarakat berderet panjang hingga puluhan kilometer. Mulai dari Suruhwadang hingga Maron. Pengepungan tersebut diikuti dengan aksi penggeropyokan kilat.
Pasukan Operasi Trisula juga bergerak intensif di seluruh perbatasan Blitar Selatan di wilayah Tulungagung dan Malang. Wilayah perbatasan terbongkar sebagai jalur keluar masuk kurir PKI dari Surabaya dan Malang.
Dijelaskan secara rinci dalam buku Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja. Pada hari pertama Operasi Trisula dalam waktu singkat sebanyak 4.280 orang dikumpulkan. Sebanyak 8 orang teridentifikasi sebagai anggota Gerilya Desa dan 2 orang sebagai Detasemen Gerilya PKI Gaya Baru Blitar Selatan. Banyak kader PKI yang tertangkap hidup-hidup, dan menyerah.
Namun tidak sedikit yang mempraktikkan aksi Gerakan Tutup Mulut (GTM) dan 3 Tidak (Tidak Tahu, Tidak Dengar dan Tidak Mengerti). Saat diinterogasi mereka memilih mengunci mulut. Rata-rata aksi GTM dilakukan para kader PKI tingkat bawah.
Sementara kader tingkat menengah atas memilih berbicara, dan oleh TNI langsung dipakai sebagai petunjuk operasi. Meski terdesak, para kader PKI yang lolos dari penggeropyokan melawan.
Baku tembak terjadi di medan-medan sulit. Tebing perbukitan dan hutan. Dalam bertempur PKI menerapkan gaya perang gerilya. Menyerang tiba-tiba, menghindar bila lawan berkekuatan besar, menyerang bila lawan berkekuatan kecil, serta melakukan gerakan kucing-kucingan, yakni menyerang dan menghilang.
TNI meladeni dengan taktik perang anti gerilya. Dengan taktik spiral, satu sasaran diserang berulang-ulang.
Serangan berlangsung estafet tanpa henti, dengan tujuan tidak memberi kesempatan musuh istirahat dan berkonsolidasi. Sejumlah Ruba (Rumah bawah) yakni lubang-lubang di pinggir sungai yang menjadi tempat pesembunyian orang-orang PKI, dihancurkan. Dengan gerakan intelejen di kawasan yang dikuasai PKI, TNI melancarkan operasi Ayam Alas dengan taktik Ublek Telur (Aduk Telur).
Sesuai namanya Ublek Telur, penyisiran di dilakukan berulang dan terus menerus. Dalam waktu singkat, simpul-simpul PKI di masyarakat terbongkar. Mereka yang selama ini sebagai sumber logistik PKI dan termasuk jaringan pembinaan ideologi di tengah massa rakyat, terungkap. Seluruh rakyat mulai ragu dan tidak mempercayai lagi gerombolan PKI yang sudah lama menguasainya.
Semakin terlihat sekaligus bisa dibedakan mana sel musuh dan mana pasukan Perjuangan Bersenjatanya (Perjuta) yang merupakan tenaga inti Detasemen Gerilya. Dengan menamai Operasi Kolomonggo, pasukan TNI bersama Banser NU terus merangsek maju ke wilayah yang dikuasai PKI. Orang-orang PKI yang menolak menyerah, digilas. Dalam baku serang di kawasan Gunung Asem Panggungrejo, Oloan Hutapea terbunuh.
Dedengkot PKI itu ambruk dan tewas setelah lemparan batu besar mengenai kepalanya. Pada 15 Juni 1968, Ir Soerachman juga tewas tertembak di kawasan hutan Desa Maron. Surachman sudah diperingatkan untuk menyerah, namun nekat kabur.
Bedil Kopda Soepono mengakhiri hidupnya. Surachman merupakan pimpinan PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) yang berafiliasi dengan PKI.
Di dalam tas hitam yang bersama mayatnya, ditemukan radio transistor, kacamata kir, sikat gigi, cincin emas, garuk jenggot, bolpoin, tape recorder dan buku kaum buruh sedunia bersatulah dengan gambar Mao Tse Tung.
Pada 20 Juli 1968, Batalyon Infantri 511 berhasil menangkap Rewang hidup-hidup di Sumberjati, Kademangan. Ruslan Widjajasatra Ketua Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan tertangkap 13 Juli 1968 di Kaligrenjeng.
Hanya selisih sehari, yakni 14 Juli 1968, Ketua Departemen Perjuangan Bersenjata (Perjuta) Munir ditangkap di Dukuh Jembangan. Perang urat syaraf dengan seruan 3 M, yakni Membantu, Menyerah atau Mati terbukti ampuh.
Banyak kader PKI Blitar Selatan yang sudah terkepung akhirnya memutuskan menyerah. Operasi Trisula selama 90 hari di sepanjang tahun 1967-1968, berhasil menumpas PKI Gaya Baru Blitar Selatan.
Sebanyak 57 pimpinan PKI mulai tingkat CC (Pusat), CDB (Provinsi), CS (Kabupaten) hingga CSS (Kecamatan) ditangkap hidup dan mati. Operasi yang dipimpin Kolonel Witarmin berhasil menyita 43 pucuk senjata api dengan berbagai jenis, 20 peralatan senjata api, termasuk radio dan mesin ketik, serta 135 perkakas lainnya.
Untuk mencegah terulangnya peristiwa kebangkitan PKI di Blitar Selatan, TNI menempatkan anggotanya sebagai caretaker di pemerintahan mulai tingkat kecamatan hingga desa. "Jelas bahwa akibat kegiatan PKI telah banyak menimbulkan kerugian dan korban di kalangan rakyat, yang sebenarnya tidak mengerti dan hanya dipengaruhi untuk membantu gerombolan PKI," kata Kolonel Inf Witarmin dalam Operasi Trisula Kodam VIII/Brawidjaja.
(shf)