Anak-anak Papua Butuh Perhatian Lebih Besar
loading...
A
A
A
JAYAPURA - Anak-anak di Papua membutuhkan perhatian lebih besar untuk dapat keluar dari masalah kekerasan pada anak, rendahnya kepemilikan akta kelahiran, perkawinan anak dan rendahnya mutu pendidikan dasar. Data BPS pada 2020, tercatat baru 56,6% anak-anak (usia 0-4 tahun) di Papua yang memiliki akte kelahiran, dan angka pernikahan anak di bawah usia 19 tahun mencapai 24,71%.
Hal itu terungkap dalam Hasil Penelitian Hak Anak dalam Kebijakan Pemerintah Daerah: Analisis Situasi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak di Papua yang disusun oleh Wahana Visi Indonesia bersama Deputi V Kantor Staf Presiden RI.
Penelitian dilakukan di 4 Kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor dan Asmat dengan metode mempelajari kebijakan, mempelajari data melalui diskusi terfokus bersama anak dan wawancara para pemangku kepentingan dan kemudian dianalisis secara kualitatif.
CEO dan Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Angelina Theodora menyebutkan, Papua merupakan salah satu wilayah paling rentan di Indonesia. Kajian ini mengulas bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak dimandatkan dan bagaimana implementasinya.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa, penerapan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, berdampak langsung pada pemenuhan hak dan perlindungan anak.
"Kami berharap hasil kajian ini dapat mempermudah peran pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil, forum anak serta pemerintah kampung untuk mendorong kebijakan pro-anak dengan terus memastikan anak-anak paling rentan terlayani dalam perencanaan pembangunan, menggunakan pendekatan akuntabilitas sosial, memperluas kemitraan, dan mendorong lebih banyak perubahan kebijakan baik di level lokal maupun nasional," kata Angel.
Dari sisi regulasi, diketahui bahwa dari 4 kabupaten yang diteliti, hanya Kabupaten Jayapura yang sudah memiliki Perda No 6 Tahun 2019 tentang Perlindungan Anak. Di tingkat provinsi, yaitu Provinsi Papua, meskipun sudah memiliki Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Rumah Tangga, tetapi belum mengatur secara khusus mengenai pemenuhan hak anak.
Minimnya kebijakan khusus untuk pemenuhan hak anak atau perlindungan anak ini berdampak pada masih banyaknya anak-anak yang mengalami kekerasan fisik dan verbal, anak-anak terjerumus dalam pergaulan bebas dan pernikahan anak, masih banyak anak yang tidak memiliki akte kelahiran, dan masih banyak anak tidak bersekolah atau putus sekolah.
Dari hasil kajian ini, rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti adalah perlu ada kebijakan-kebijakan khusus terkait pemenuhan hak anak dan perlindungan anak, melibatkan anak dalam pengembangan desain program, dan perencanaan program untuk penguatan ekonomi dan kampung layak anak.
Jesika dan Michele yang hadir mewakili anak Papua, menyampaikan anak-anak Papua meminta penghentian segala bentuk kekerasan pada anak, pemerintah juga diminta mengawasi peredaran minuman keras juga fenomena lem aibon, tidak ada lagi segala bentuk perundungan di sekolah, masyarakat dan media sosial, memudahkan kepemililkan akta kelahiran, dan memudahkan anak-anak untuk bersekolah.
Dalam talkshow, Dorince Mehue, Majelis Rakyat Papua dan Persatuan Wanita Kristen Indonesia Papua mengatakan upaya perlindungan anak di Papua masih belum maksimal.
"Persoalan mendasar seperti hak-hak dasar perempuan dan anak saja di Papua belum terpenuhi dengan baik. Apalagi untuk warga yang tinggal di daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau. 20 tahun otonomi khusus, tetapi anak dan perempuan belum mendapat hak-hak mereka."
"Karena itu, hasil kajian ini diharapkan bisa benar-benar menjadi masukan dan diimplementasikan oleh semua pihak. Dalam pelaksanaannya pun perlu pendampungan dan pengawasan yang terus menerus," ujarnya.
Deputi V Bidang Polhukhankamham Kantor Staf Presiden RI, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 serta Keputusan Presiden 20 Tahun 2020 sebagai ujung tombak kerja pemerintah pusat dalam membangun Tanah Papua. Kebijakan ini juga mengamanatkan pemenuhan hak-hak anak, salah satunya yaitu cita-cita mewujudkan “Papua Layak Anak”.
"Ini merupakan momentum strategis. Hasil kajian ini nantinya akan kami manfaatkan sebagai referensi yang bersifat ilmiah untuk mendukung kerja-kerja pemerintah. Kajian ini sudah merupakan bentuk nyata partisipasi serta kolaborasi masyarakat."
"Mari kita semua bekerja sama, bekerja bersama untuk menciptakan Indonesia, tanah Papua yang penuh harapan, yang melindungi anak-anak kita serta menyiapkan generasi muda Papua yang maju, sehat, sejahtera, damai, dan tangguh. Ini adalah tugas peradaban yang harus kita lakukan bersama-sama tanpa kenal lelah," tutur Pramodhawardani.
Sementara, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan, rekomendasi dari hasil kajian tersebut menjadi catatan untuk membangun sistem perlindungan anak yang lebih baik lagi terutama di Papua. "Semua ruang sudah dibuka untuk partisipasi anak dalam perencanaan kebijakan, tinggal bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pemerintah daerah bisa membuka ruang partisipasi itu," ungkapnya.
Sedangkan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Agustina Erni menyampaikan, pemenuhan dan perlindungan anak mencakup upaya pencegahan, dan juga penanganan yang menjangkau semua pihak, tidak hanya anak, tetapi juga keluarga, sekolah dan lingkungan dan wilayah di mana anak tinggal.
Hal yang masih terus diupayakan hingga kini, yang juga menjadi persoalan anak di berbagai wilayah, adalah bagaimana mengurangi kekerasan pada perempuan dan anak, pekerja anak, mencegah perkawinan anak dan masalah pengasuhan anak.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay menuturkan, salah satu tantangan yang harus diselesaikan adalah penguatan kebijakan di tingkat kabupaten dan di tingkat kampung, bagaimana konsep Papua Layak Anak bisa diterjemahkan dalam kebijakan pelaksanaan kabupaten layak anak hingga kampung layak anak.
Lihat Juga: Soroti Program Transmigrasi ke Papua, Tokoh Masyarakat: Pemberdayaan Masyarakat yang Harus Dilakukan
Hal itu terungkap dalam Hasil Penelitian Hak Anak dalam Kebijakan Pemerintah Daerah: Analisis Situasi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak di Papua yang disusun oleh Wahana Visi Indonesia bersama Deputi V Kantor Staf Presiden RI.
Penelitian dilakukan di 4 Kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor dan Asmat dengan metode mempelajari kebijakan, mempelajari data melalui diskusi terfokus bersama anak dan wawancara para pemangku kepentingan dan kemudian dianalisis secara kualitatif.
CEO dan Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Angelina Theodora menyebutkan, Papua merupakan salah satu wilayah paling rentan di Indonesia. Kajian ini mengulas bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak dimandatkan dan bagaimana implementasinya.
Hasil penelitian juga menemukan bahwa, penerapan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, berdampak langsung pada pemenuhan hak dan perlindungan anak.
"Kami berharap hasil kajian ini dapat mempermudah peran pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil, forum anak serta pemerintah kampung untuk mendorong kebijakan pro-anak dengan terus memastikan anak-anak paling rentan terlayani dalam perencanaan pembangunan, menggunakan pendekatan akuntabilitas sosial, memperluas kemitraan, dan mendorong lebih banyak perubahan kebijakan baik di level lokal maupun nasional," kata Angel.
Dari sisi regulasi, diketahui bahwa dari 4 kabupaten yang diteliti, hanya Kabupaten Jayapura yang sudah memiliki Perda No 6 Tahun 2019 tentang Perlindungan Anak. Di tingkat provinsi, yaitu Provinsi Papua, meskipun sudah memiliki Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Rumah Tangga, tetapi belum mengatur secara khusus mengenai pemenuhan hak anak.
Minimnya kebijakan khusus untuk pemenuhan hak anak atau perlindungan anak ini berdampak pada masih banyaknya anak-anak yang mengalami kekerasan fisik dan verbal, anak-anak terjerumus dalam pergaulan bebas dan pernikahan anak, masih banyak anak yang tidak memiliki akte kelahiran, dan masih banyak anak tidak bersekolah atau putus sekolah.
Dari hasil kajian ini, rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti adalah perlu ada kebijakan-kebijakan khusus terkait pemenuhan hak anak dan perlindungan anak, melibatkan anak dalam pengembangan desain program, dan perencanaan program untuk penguatan ekonomi dan kampung layak anak.
Jesika dan Michele yang hadir mewakili anak Papua, menyampaikan anak-anak Papua meminta penghentian segala bentuk kekerasan pada anak, pemerintah juga diminta mengawasi peredaran minuman keras juga fenomena lem aibon, tidak ada lagi segala bentuk perundungan di sekolah, masyarakat dan media sosial, memudahkan kepemililkan akta kelahiran, dan memudahkan anak-anak untuk bersekolah.
Dalam talkshow, Dorince Mehue, Majelis Rakyat Papua dan Persatuan Wanita Kristen Indonesia Papua mengatakan upaya perlindungan anak di Papua masih belum maksimal.
"Persoalan mendasar seperti hak-hak dasar perempuan dan anak saja di Papua belum terpenuhi dengan baik. Apalagi untuk warga yang tinggal di daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau. 20 tahun otonomi khusus, tetapi anak dan perempuan belum mendapat hak-hak mereka."
"Karena itu, hasil kajian ini diharapkan bisa benar-benar menjadi masukan dan diimplementasikan oleh semua pihak. Dalam pelaksanaannya pun perlu pendampungan dan pengawasan yang terus menerus," ujarnya.
Deputi V Bidang Polhukhankamham Kantor Staf Presiden RI, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 serta Keputusan Presiden 20 Tahun 2020 sebagai ujung tombak kerja pemerintah pusat dalam membangun Tanah Papua. Kebijakan ini juga mengamanatkan pemenuhan hak-hak anak, salah satunya yaitu cita-cita mewujudkan “Papua Layak Anak”.
"Ini merupakan momentum strategis. Hasil kajian ini nantinya akan kami manfaatkan sebagai referensi yang bersifat ilmiah untuk mendukung kerja-kerja pemerintah. Kajian ini sudah merupakan bentuk nyata partisipasi serta kolaborasi masyarakat."
"Mari kita semua bekerja sama, bekerja bersama untuk menciptakan Indonesia, tanah Papua yang penuh harapan, yang melindungi anak-anak kita serta menyiapkan generasi muda Papua yang maju, sehat, sejahtera, damai, dan tangguh. Ini adalah tugas peradaban yang harus kita lakukan bersama-sama tanpa kenal lelah," tutur Pramodhawardani.
Sementara, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan, rekomendasi dari hasil kajian tersebut menjadi catatan untuk membangun sistem perlindungan anak yang lebih baik lagi terutama di Papua. "Semua ruang sudah dibuka untuk partisipasi anak dalam perencanaan kebijakan, tinggal bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pemerintah daerah bisa membuka ruang partisipasi itu," ungkapnya.
Sedangkan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Agustina Erni menyampaikan, pemenuhan dan perlindungan anak mencakup upaya pencegahan, dan juga penanganan yang menjangkau semua pihak, tidak hanya anak, tetapi juga keluarga, sekolah dan lingkungan dan wilayah di mana anak tinggal.
Hal yang masih terus diupayakan hingga kini, yang juga menjadi persoalan anak di berbagai wilayah, adalah bagaimana mengurangi kekerasan pada perempuan dan anak, pekerja anak, mencegah perkawinan anak dan masalah pengasuhan anak.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay menuturkan, salah satu tantangan yang harus diselesaikan adalah penguatan kebijakan di tingkat kabupaten dan di tingkat kampung, bagaimana konsep Papua Layak Anak bisa diterjemahkan dalam kebijakan pelaksanaan kabupaten layak anak hingga kampung layak anak.
Lihat Juga: Soroti Program Transmigrasi ke Papua, Tokoh Masyarakat: Pemberdayaan Masyarakat yang Harus Dilakukan
(shf)