Kearifan Lokal dan Keberagaman Perkuat Toleransi Masyarakat Papua
loading...
A
A
A
JAYAPURA - Tokoh agamawan Papua, Prof H Idrus Al Hamid menyebut bahwa perjumpaan agama-agama di Papua selama ini telah melahirkan harmoni, kebersamaan dan toleransi yang baik.
Baca juga: Gubernur Papua: Masyarakat Tenang, Ini Pembelajaran untuk Aparat Penegak Hukum
Dengan memahami masyarakat Papua yang memiliki topografi yang berbeda-beda, yaitu pesisir, rawa, lereng gunung dan pegunungan, maka dia optimistis kearifan lokal masing-masing dan masyarakat Papua mampu membangun kehidupan yang penuh toleransi.
Baca juga: Masyarakat Jangan Mau Diprovokasi, Situasi Kondusif Papua Harus Dijaga
"Keberadaan agama justru menjadi bagian yang tidak menjadi pembeda. Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan keagamaan dijadikan sebagai kegiatan bersama walaupun berbeda-beda agama," ujar salah satu penggagas zona integritas kerukunan umat beragama dan budaya Papua tersebut saat saat Webinar Internasional bertajuk Tolerance in Indonesia (Papua) and Morocca: Experience perspective, dikutip Jumat (30/7/2021).
Webinar ini digelar dengan tujuan dunia internasional tidak melihat Indonesia, khususnya Papua dengan stigma kekerasan, mencekam dan penuh konflik. Namun, justru yang terjadi telah menumbuhkan semangat persatuan dan kerukunan masyarakat, terutama generasi muda serta menanamkan nilai dan arti dari universalisme agama dalam kemanusiaan.
Idrus Al Hamid menambahkan, meskipun terkadang terjadi gesekan antara masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi dengan perantau, dan politisasi identitas, namun telah dirintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun interreligius diaof dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.
"Yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban," ujarnya.
Sementara, Dr Muhammad Sofin menyatakan bahwa masyarakat Papua sejak dahulu terbuka dalam menerima orang yang datang ke tanahnya. Perbedaan agama dan suku tidak menghalangi mereka untuk menebar perdamaian dengan wajah ceria dan mengulurkan tangan. Kerjasama untuk hidup berdampingan secara damai.
"Masyarakat Papua tidak menyembunyikan fakta bahwa toleransi dan kerja sama antarumat beragama itu nyata," ujarnya.
Dia mencontohkan warga beragama Kristen membantu warga lain yang beragama Islam ketika mempersiapkan Idul Fitri. Sebaliknya ketika datangnya Hari Kristus, dan begitu juga semua pemeluk agama, mengkoordinir perlakuan yang baik dari hati yang murni.
"Semua ini merupakan dasar dan kunci untuk menciptakan perdamaian dan keserasian lingkungan guna mencapai keberhasilan pembangunan negara dan pembangunan sumber daya manusia di Papua," kata akademisi UIN Maulana Hasanuddin Banten yang pernah berdakwah di pedalaman Papua.
Sementara, aktivis Pendidikan dari Kaimana, Safar Furuada mengungkapkan bahwa jiwa NKRI sudah mandarah daging dalam sanubari masyarakat Papua. "Rasa kebangsaan, jiwa memiliki negara ini telah terpatri sejak awal. Karena kami bagian dari negara ini yang secara adat kami telah mengalami kebersamaan yang kuat," ujarnya.
Dia berharap adanya Otsus jilid II menambah semangat membangun di Kawasan timur Indonesia, terutama pembangunan dalam bidang keagamaan. "Kita berharap Papua menjadi barometer toleransi dan Indonesia menjadi negeri yang makmur dan sejahtera,” ujarnya sambil berharap dibangunnya kampus perguruan tinggi di Kaimana.
Ia juga menceritakan bahwa secara umum hubungan toleransi di Papua sudah cukup baik. Jika membangun masjid, maka selalu ada uluran tangan dari masyarakat yang beragama lain terutama Kristiani.
Hal itu karena ada ikatan persaudaraan seperti tercermin dalam semboyan satu tungku tiga batu yang sudah mandarah daging dalam masyarakat Papua. "Ada ungkapan kalau belajar toleransi, belajarlah pada masyarakat Papua karena telah mempraktekkan toleransi yang riil yang tidak dimuat dalam buku-buku," ujarnya.
Pengalaman ini juga terjadi di Maroko, seperti diungkapkan Prof Khalid Touzani. "Antara Indonesia dan Maroko ada kesamaan masalah, sehingga harus ada hubungan yang kuat antar sesama. Saling membantu sesama muslim dan tetap menjaga toleransi yang menjadi dasar dalam hubungan sosial yang majemuk," kata cendekiawan modern Maroko ini.
Maroko dan Indonesia memiliki kesamaan, mempunyai perilaku masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi umat beragama serta menonjolkan sikap keramahtamahan pada antar agama.
Baca juga: Gubernur Papua: Masyarakat Tenang, Ini Pembelajaran untuk Aparat Penegak Hukum
Dengan memahami masyarakat Papua yang memiliki topografi yang berbeda-beda, yaitu pesisir, rawa, lereng gunung dan pegunungan, maka dia optimistis kearifan lokal masing-masing dan masyarakat Papua mampu membangun kehidupan yang penuh toleransi.
Baca juga: Masyarakat Jangan Mau Diprovokasi, Situasi Kondusif Papua Harus Dijaga
"Keberadaan agama justru menjadi bagian yang tidak menjadi pembeda. Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan keagamaan dijadikan sebagai kegiatan bersama walaupun berbeda-beda agama," ujar salah satu penggagas zona integritas kerukunan umat beragama dan budaya Papua tersebut saat saat Webinar Internasional bertajuk Tolerance in Indonesia (Papua) and Morocca: Experience perspective, dikutip Jumat (30/7/2021).
Webinar ini digelar dengan tujuan dunia internasional tidak melihat Indonesia, khususnya Papua dengan stigma kekerasan, mencekam dan penuh konflik. Namun, justru yang terjadi telah menumbuhkan semangat persatuan dan kerukunan masyarakat, terutama generasi muda serta menanamkan nilai dan arti dari universalisme agama dalam kemanusiaan.
Idrus Al Hamid menambahkan, meskipun terkadang terjadi gesekan antara masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi dengan perantau, dan politisasi identitas, namun telah dirintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun interreligius diaof dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.
"Yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban," ujarnya.
Sementara, Dr Muhammad Sofin menyatakan bahwa masyarakat Papua sejak dahulu terbuka dalam menerima orang yang datang ke tanahnya. Perbedaan agama dan suku tidak menghalangi mereka untuk menebar perdamaian dengan wajah ceria dan mengulurkan tangan. Kerjasama untuk hidup berdampingan secara damai.
"Masyarakat Papua tidak menyembunyikan fakta bahwa toleransi dan kerja sama antarumat beragama itu nyata," ujarnya.
Dia mencontohkan warga beragama Kristen membantu warga lain yang beragama Islam ketika mempersiapkan Idul Fitri. Sebaliknya ketika datangnya Hari Kristus, dan begitu juga semua pemeluk agama, mengkoordinir perlakuan yang baik dari hati yang murni.
"Semua ini merupakan dasar dan kunci untuk menciptakan perdamaian dan keserasian lingkungan guna mencapai keberhasilan pembangunan negara dan pembangunan sumber daya manusia di Papua," kata akademisi UIN Maulana Hasanuddin Banten yang pernah berdakwah di pedalaman Papua.
Sementara, aktivis Pendidikan dari Kaimana, Safar Furuada mengungkapkan bahwa jiwa NKRI sudah mandarah daging dalam sanubari masyarakat Papua. "Rasa kebangsaan, jiwa memiliki negara ini telah terpatri sejak awal. Karena kami bagian dari negara ini yang secara adat kami telah mengalami kebersamaan yang kuat," ujarnya.
Dia berharap adanya Otsus jilid II menambah semangat membangun di Kawasan timur Indonesia, terutama pembangunan dalam bidang keagamaan. "Kita berharap Papua menjadi barometer toleransi dan Indonesia menjadi negeri yang makmur dan sejahtera,” ujarnya sambil berharap dibangunnya kampus perguruan tinggi di Kaimana.
Ia juga menceritakan bahwa secara umum hubungan toleransi di Papua sudah cukup baik. Jika membangun masjid, maka selalu ada uluran tangan dari masyarakat yang beragama lain terutama Kristiani.
Hal itu karena ada ikatan persaudaraan seperti tercermin dalam semboyan satu tungku tiga batu yang sudah mandarah daging dalam masyarakat Papua. "Ada ungkapan kalau belajar toleransi, belajarlah pada masyarakat Papua karena telah mempraktekkan toleransi yang riil yang tidak dimuat dalam buku-buku," ujarnya.
Pengalaman ini juga terjadi di Maroko, seperti diungkapkan Prof Khalid Touzani. "Antara Indonesia dan Maroko ada kesamaan masalah, sehingga harus ada hubungan yang kuat antar sesama. Saling membantu sesama muslim dan tetap menjaga toleransi yang menjadi dasar dalam hubungan sosial yang majemuk," kata cendekiawan modern Maroko ini.
Maroko dan Indonesia memiliki kesamaan, mempunyai perilaku masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi umat beragama serta menonjolkan sikap keramahtamahan pada antar agama.
(shf)