Cabin Fever dan Risiko di Tengah Pandemi COVID-19, Apa Itu?
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pandemi COVID-19 serta kebijakan PSBB dari pemerintah membuat setiap orang membatasi kegiatan di luar ruangan. Untuk mencegah penyebaran virus, semua warga disarankan berada di dalam rumah.
(Baca juga: PSBB Malang Raya Cukup Sekali, Lanjut ke Masa Transisi )
Efek domino yang terjadi kini masyarakat juga turut dihadapkan pada ancaman kesehatan psikologis akibat isolasi diri, yang sering disebut dengan cabin fever.
Cabin fever atau demam kabin secara sederhana dijelaskan sebagai rasa kegelisahan akibat terjebak atau terisolasi dalam suatu tempat untuk waktu yang lama.
Psikiater dan Spesialis Kedokteran Jiwa Unair, Hafid Algristian menuturkan, cabin fever menjadi fenomena yang berpotensi besar muncul di masa-masa pandemi ini.
"Tidak semua orang mengetahui gejala ini. Tapi saat warga telah belajar, mungkin beberapa dari kita akan menyadari terdapat gejala cabin fever dalam diri kita," kata Hafid, Kamis (28/5/2020).
Ia melanjutkan, cabin fever sendiri bukan diagnosis maupun sindrom, penyembuhannya dapat dilakukan melalui manajemen stres. Makanya gejala cabin fever tidak perlu diberikan medikamentosa atau obat-obatan.
"Gejalanya secara umum muncul ketika individu mengalami deprivasi sensorik yang terjadi saat seorang individu secara tiba-tiba harus membatasi sosialisasinya," ungkapnya.
Hal tersebut membuat individu mendapat sensor cahaya dan suara yang terbatas sehingga kerap kali menimbulkan halusinasi. "Kita mungkin pernah saat sendirian tiba-tiba teringat memori masa lalu, hingga seakan memori itu berbicara pada kita," jelasnya.
Sebenarnya, katanya, itu bukan hal serius. Tapi kemudian dapat dikategorikan sindroma apabila seseorang menikmatinya. "Lalu memori menjadi personifikasi dari karakter yang kita ciptakan sendiri," sambungnya.
Bagi Hafid sendiri, terdapat lima gejala umum yang muncul pada penderita cabin fever. Pertama adalah gejala demotivasi. Orang yang menderita demotivasi biasanya akan merasa putus asa, kosong, dan kehilangan empati. Pada gejala ini ada baiknya kita tidak memberikan motivasi atau masukan positif karena itu akan sulit diterima oleh penderita.
Kedua adalah gejala kognitif, gangguan konsentrasi atau sulit fokus yang membuat seseorang tidak produktif. Ketiga, gejala insomnia-parasomnia yang merupakan gangguan tidur hingga sleep walking. Keempat, gejala psikomotorik atau gangguan energi.
Dapat berupa kelebihan energi yang membuat sensitif maupun kekurangan energi. Gejala kelima adalah gejala otonomik atau gangguan buang air besar atau buang air kecil.
"Karena cabin fever adalah sekumpulan gejala, makanya seseorang harus mengalami beberapa dari gejalanya untuk dapat disebut mengalami cabin fever. Itupun juga harus diikuti riwayat deprivasi sensorik dan pembatasan motorik," ungkapnya.
Lihat Juga: Di Hadapan Ribuan Babinsa, Menhan Prabowo Puji Cara Presiden Jokowi Tangani Pandemi Covid-19
(Baca juga: PSBB Malang Raya Cukup Sekali, Lanjut ke Masa Transisi )
Efek domino yang terjadi kini masyarakat juga turut dihadapkan pada ancaman kesehatan psikologis akibat isolasi diri, yang sering disebut dengan cabin fever.
Cabin fever atau demam kabin secara sederhana dijelaskan sebagai rasa kegelisahan akibat terjebak atau terisolasi dalam suatu tempat untuk waktu yang lama.
Psikiater dan Spesialis Kedokteran Jiwa Unair, Hafid Algristian menuturkan, cabin fever menjadi fenomena yang berpotensi besar muncul di masa-masa pandemi ini.
"Tidak semua orang mengetahui gejala ini. Tapi saat warga telah belajar, mungkin beberapa dari kita akan menyadari terdapat gejala cabin fever dalam diri kita," kata Hafid, Kamis (28/5/2020).
Ia melanjutkan, cabin fever sendiri bukan diagnosis maupun sindrom, penyembuhannya dapat dilakukan melalui manajemen stres. Makanya gejala cabin fever tidak perlu diberikan medikamentosa atau obat-obatan.
"Gejalanya secara umum muncul ketika individu mengalami deprivasi sensorik yang terjadi saat seorang individu secara tiba-tiba harus membatasi sosialisasinya," ungkapnya.
Hal tersebut membuat individu mendapat sensor cahaya dan suara yang terbatas sehingga kerap kali menimbulkan halusinasi. "Kita mungkin pernah saat sendirian tiba-tiba teringat memori masa lalu, hingga seakan memori itu berbicara pada kita," jelasnya.
Sebenarnya, katanya, itu bukan hal serius. Tapi kemudian dapat dikategorikan sindroma apabila seseorang menikmatinya. "Lalu memori menjadi personifikasi dari karakter yang kita ciptakan sendiri," sambungnya.
Bagi Hafid sendiri, terdapat lima gejala umum yang muncul pada penderita cabin fever. Pertama adalah gejala demotivasi. Orang yang menderita demotivasi biasanya akan merasa putus asa, kosong, dan kehilangan empati. Pada gejala ini ada baiknya kita tidak memberikan motivasi atau masukan positif karena itu akan sulit diterima oleh penderita.
Kedua adalah gejala kognitif, gangguan konsentrasi atau sulit fokus yang membuat seseorang tidak produktif. Ketiga, gejala insomnia-parasomnia yang merupakan gangguan tidur hingga sleep walking. Keempat, gejala psikomotorik atau gangguan energi.
Dapat berupa kelebihan energi yang membuat sensitif maupun kekurangan energi. Gejala kelima adalah gejala otonomik atau gangguan buang air besar atau buang air kecil.
"Karena cabin fever adalah sekumpulan gejala, makanya seseorang harus mengalami beberapa dari gejalanya untuk dapat disebut mengalami cabin fever. Itupun juga harus diikuti riwayat deprivasi sensorik dan pembatasan motorik," ungkapnya.
Lihat Juga: Di Hadapan Ribuan Babinsa, Menhan Prabowo Puji Cara Presiden Jokowi Tangani Pandemi Covid-19
(eyt)