Rampogan Macan-Sima Maesa, Cara Orang Jawa Membunuh Kolonial Belanda

Minggu, 27 Juni 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Sedangkan Belanda disimbolkan seekor harimau. Hewan galak, bengis, kejam namun bagi orang Jawa dipandang lemah dan pengecut. Karenanya dalam tradisi gladiator tersebut, harimau harus binasa. Macan yang menang dalam arena Sima Maesa akan dibawa ke gelanggang Rampogan Macan.

Matinya harimau dicincang tombak para gandek ditafsirkan tumpasnya keangkara murkaan kolonial Belanda. Menurut K.R.T Jatingrat atau Romo Tirun, sentimen anti etnis kulit putih dalam tradisi Sima Maesa terlihat jelas pada masa pemerintahan Mangkubumi dan Hamengkubuwono II.

"Hamengkubuwono II adalah sultan yang mencetuskan semangat perlawanan anti kolonialisme Eropa baik Inggris maupun Belanda melalui tradisi Sima Maesa. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pertunjukan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat kebangsaan," kata K.R.T Jatingrat dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".

Belanda tahu telah diolok-olok orang Jawa. Mengerti telah disimbolkan sebagai macan yang harus dilawan. Namun tidak ambil pusing. Belanda memilih menikmati tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan yang digelar rutin setiap tahun. Dalam ideologi kebudayaan masyarakat Belanda, mereka juga kurang menyukai harimau. Selain itu, harimau dipandang sebagai hama yang mengganggu proyek pembukaan perkebunan dan lahan baru. Karenannya tidak masalah jika dihabisi.

Selama berlangsung tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan, pemerintah Belanda tidak pernah melarang. Bahkan ikut menyebarluaskan tradisi yang sebelumnya hanya terpusat di Yogyakarta ke luar daerah. "Orang-orang Belanda ikut menyebarluaskan tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan ke daerah yang belum mengenal acara itu," tulis Peter Boomgaard dalam artikel "Death to The Tiger".

Mulai di atas tahun 1860, tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan tidak lagi terpusat di Yogyakarta. Tradisi Gladiator Jawa tersebut bergeser ke Jawa Timur. Setiap menjelang lebaran atau tahun baru Islam digelar di alun-alun Blitar dan Kediri. Tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan juga tidak lagi digelar dalam satu paket pagelaran.

Digesernya tradisi Rampogan Macan di wilayah Blitar dan Kediri diduga tidak terlepas dari masih tingginya populasi harimau di kedua wilayah tersebut. Sejarawan R Kartawibawa menyebut wilayah Kecamatan Lodoyo (Kabupaten Blitar) dan Gadungan, Pare (Kabupaten Kediri) sebagai kadaton sima atau kerajaan harimau.

"Sapamireng koela tanah ingkang ketjeloek kadaton sima poenika : ing Lodaja (Blitar kidoel), Gadoengan (Pare, Kediri), Kedoewang (Wanagiri), Tjilatjap (Sepengetahuan saya tanah yang dipanggil kraton harimau itu Lodaya (Blitar selatan), Gadungan (Pare Kabupaten Kediri), Keduwang (Wonogiri) dan Cilacap)," kata R Kartawibawa dalam buku "Bakda Mawi Rampog".

Kejayaan tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan berlangsung tahun 1830-1870. Antara 1830-1860, setiap tahun rata-rata 1.250 ekor harimau mati dibunuh. Pada tahun 1900, jumlah rata rata macan yang mati dibunuh setiap tahun 400 ekor. Peter Boomgard dalam "Death to The Tiger" menyebut : turunnya angka harimau yang mati akibat populasinya yang merosot drastis. Sebagian diantaranya disebabkan tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan.

Disisi lain jumlah manusia yang mati dibunuh harimau pada tahun 1860-an sebanyak 120 orang per tahun dan 30 orang sekitar tahun 1900. Mulai tahun 1923 tradisi Rampogan Macan menghilang dari wilayah Jawa Timur. Baik di alun-alun Blitar maupun Kediri, tidak ada lagi gelanggang pembantaian harimau. Tradisi gladiator Jawa tersebut punah. Sebelum lenyap, nilai perlawanan terhadap kolonial Belanda yang diusung tradisi Rampogan Macan, lebih dulu bergeser. Baca: Menelisik Bungker Misterius di Tepian Waduk Saguling Bandung Barat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1371 seconds (0.1#10.140)