Ki Wijil, Pengusir Kerajaan Jin dan Mengenalkan Logam untuk Bertani

Sabtu, 05 Juni 2021 - 05:04 WIB
loading...
Ki Wijil, Pengusir Kerajaan Jin dan Mengenalkan Logam untuk Bertani
Makam Mbah Wijil di Jalan Ketintang Barat II menempati satu area dengan Masjid Muttaqin. Ki Wijil merupakan pelopor pertanian dan pande besi di Surabaya.SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Kota Pahlawan dulu dikenal dengan Ujunggaluh. Sebuah muara yang penuh dengan rawa serta hutan belukar di tepi sungai. Pemukiman pertama selalu mengikuti arah aliran sungai sampai ke pusat Kerajaan Majapahit di Mojokerto.

Hutan-hutan yang ada di Ujunggaluh pernah menjadi saksi bisu bagaimana kekuatan Gajah Mada memukul mundur pasukan Tar-Tar. Penyergapan di sungai dan hutan yang angker menjadikan pasukan Genghis Khan memilih mundur dan mengakui kemenangan Majapahit.

Hutan di Ujunggaluh itu menjadi terkenal. Tak ada orang yang mau untuk tinggal di sana. Hingga satu ketika, datang seorang pria bernama Mbah Wijil. Seorang kyai yang merupakan putra Nyai Ayu dan Kyai Abdulah dari Kampung Sidosermo. Sebuah kawasan yang terkenal dengan pondok pesantren yang kuat.

Ki Wijil, demikian ia sering dipanggil, juga diceritakan memiliki keturunan dengan Empu Gandring, seorang pembuat keris legendaris di Indonesia. Ki Wijil ingin membabat habis hutan yang katanya angker di kawasan Ujunggaluh untuk dijadikan permukiman dan persawahan, tempatnya mencari rejeki.

“Cerita Ki Wijil ini dulu sering disampaikan pada semua warga di sini, pengantar untuk tidur dan sejarah masyarakat,” ujat Septo Hadi, salah satu warga Ketintang, Jumat (4/6/2021).

Ki Wijil, Pengusir Kerajaan Jin dan Mengenalkan Logam untuk Bertani


Dalam cerita yang disampaikan itu, setelah hutan rata dengan tanah, makhluk halus penunggu hutan marah besar dan ingin membunuh Ki Wijil. Terjadilah pertarungan hebat yang terjadi antara Ki Wijil dan Jin yang ada di kerajaan mereka di hutan Ujunggaluh. Dengan kesaktian Ki Wijil, makhluk halus itu bisa disingkirkan dan dilarang untuk kembali.

Hutan yang terbuka mulai terbentang. Satu persatu permukiman mulai didirikan. Bahkan, kawasan baru itu membuat mata orang yang melintas dari sepanjang Sungai Kalimas ke Sungai Brantas menjadi terpesona. Termasuk perhatian para pedagang yang kerap melintas di Sungai Brantas.

Mereka pun berduyung-duyung ingin bermukim di daerah baru tersebut. Dengan pesona yang sudah dibuat oleh Ki Wijil dengan keberaniannya dan hutan yang kini bisa ditanam beraneka ragam komoditi. Area persawahan Ki Wijil juga luas, dengan cara bertani sederhana, Ki Wijil mampu meraup banyak hasil pertanian yang melimpah. Hasil itu dibawah ke Ujunggaluh untuk ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari.

Keberhasilan Ki Wijil ini membuat penduduk di kawasan itu heran. Mereka yang juga bertani di lahan yang sama tidak bisa memperoleh hasil pertanian yang melimpah. Mereka pun penasaran dan bertanya pada Ki Wijil cara untuk memperoleh hasil pertanian yang meluber di lumbung-lumbung.

Ki Wijil pun menyampaikan, dirinya memakai alat bertani dari logam. Para warga heran dan begitu takjub ketika melihat logam itu dipakai untuk bertani. Kemudahan bertani dengan logam, membuat pertanian yang dihasilkan Ki Wijil begitu melimpah. Pekerjaan yang dilakukan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih banyak.

Warga kemudian saling bergantian meminjam alat dari logam yang dipakai Ki Wijil. Senyum mereka merekah. Hasil panen warga terus meningkat dan Ki Wijil senang dengan kondisi itu yang lebih mengutamakan gotong royong di tingkatan warga.

Semakin hari, Ki Wijil memahami betul kalau warganya butuh peralatan dari logam seperti miliknya. Sehingga hasil pertanian terus melimpah ruah. Seperti panggilan dari alam, Ki Wijil yang memiliki darah Empu Gandring mulai meninggalkan kegiatan di sawah dan menjadi pande besi untuk membantu masyarakat.

Setiap hari, ia menempa besi untuk dibuat cangkul, sabit, parang, mata bajak, keris, mata tombak, sampai kapak. Makin jauh, Ki Wijil begitu tersohor lewat keahlian mengolah besinya. Banyak orang yang memesan, termasuk mereka yang berasal dari daerah yang jauh.

Ki Wijil semakin dihormati dan orang-orang yang menjadi muridnya tersebar ke berbagai daerah. Setiap orang yang berguru padanya harus memiliki sebuah janji untuk terus menjual murah hasil olahan besi pada petani miskin.

Nama Ki Wijil semakin tersohor, seluruh area baru yang dulu hutan belantara kini menjadi perkampungan besar yang ditinggali para pande besi. Ahli logam yang menyuplai semua hasil ke berbagai daerah di Indonesia. Menambah hasil panen para warga di berbagai daerah dengan alat yang dibutuhkan untuk bertani.

Ki Wijil, Pengusir Kerajaan Jin dan Mengenalkan Logam untuk Bertani


Mulai saat itu, selepas Subuh selalu ada bunyi nyaring yang bersahutan di tiap perkampungan. Benturan besi yang memiliki irama, menembus angin dan memecah dinginnya pagi. Orang-orang pun akhirnya menyebut kawasan dulu yang dikenal dengan hutan dan Ujunggaluh dengan sebutan tang-tang-tang. Kini kawasan itu dikenal dengan nama Ketintang, sebuah lokasi bisnis dan permukiman yang begitu vital di Surabaya Selatan.

Sampai saat ini, makam Ki Wijil masih bisa dijumpai warga di Jalan Ketintang Barat II, lokasinya satu area dengan Masjid Muttaqin. Sebuah kawasan yang dulunya Ki Wijil pernah membangun surau. Para warga sampai saat ini memahami betul bagaimana gotong royong dan kesejahteraan bersama lebih penting serta bisa terus ditanam di kehidupan masyarakat.

Setelah Mbah Wijil, perkembangan Kampung Ketintang bertambah dengan kedatangan Syeh Sayid Ali Abidin, yang datang untuk menyebarkan agama Islam. Bersama makam Mbah Wijil, makam Syeh Sayid Ali Abidin juga ada di Ketintang. Selain dikenal sebagai sentra pande besi, Kampung Ketintang juga dikenal sebagai penghasil padi yang tak pernah berhenti.

Tercatat, pabrik pengolahan padi dibangun di daerah Ketintang ketika zaman Belanda. Pabrik yang berdiri kokoh di kawasan Ketintang Madya tersebut pada temboknya tertulis dibangun tahun 1900. Dari kualitas dan penampilan rumah-rumah yang tersisa tersebut, tampak saat Ketintang menjadi lumbung padi, perekonomian penduduknya cukup baik serta cerita tentang Ki Wijil tak pernah ikut surut.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.0120 seconds (0.1#10.140)