Politisi Gerindra: Beban Utang Besar Bisa Bahayakan Kedaulatan NKRI

Jum'at, 22 Mei 2020 - 07:49 WIB
loading...
Politisi Gerindra: Beban...
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad. (Foto/SINDOnews/Dok)
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengingatkan bahwa utang pemerintah yang bertambah Rp635 triliun hanya dalam periode 48 hari, sejak 1 April sampai 18 Mei 2020, dinilai sudah membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Utang ini diperkirakan masih akan terus membengkak mengingat krisis kesehatan belum sepenuhnya terkendali.

“Saya berharap penggunaan dana pinjaman tersebut tidak dikorupsi,” ujar politisi muda Partai Gerindra ini dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kamis (21/5/2020). (BACA JUGA: Wow! Hingga April 2020, Pemerintah Sudah Tarik Utang Rp223,8 Triliun)

Kamrussammad mempertanyakan penyerapan anggaran kesehatan senilai Rp70 triliun dan insentif untuk usaha kecil dan menengah (UMKM) serta pemulihan ekonomi senilai Rp270 triliun.

“Apakah (dana tersebut) sepenuhnya sudah terserap dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Apakah sudah efektif, tepat sasaran serta mampu menggerakkan sektor riil?,” tukasnya.

Politisi Gerindra itu menilai, perubahan postur APBN yang dilakukan dua kali dalam satu bulan menunjukkan menteri keuangan diragukan dalam memotret kondisi ekonomi dan menentukan indikator ekonomi dalam merumuskan kebijakan fiskal.

Padahal, DPR sudah ingatkan agar pemerintah memiliki data yang terintegrasi sebagai basis pengambilan keputusan supaya tidak prematur dalam menyusun postur APBN.

“Ini kenyataan yang harus diterima pelebaran defisit tanpa batas maksimal dalam Perppu 1/20 pada akhirnya berpotensi membahayakan kedaulatan negara karena beban utang pemerintah sangat besar bahkan melampaui rasio utang standar internasional yang ditetapkan sejumlah lembaga keuangan dunia seperti IMF,” ujar Kamrussamad. (Baca Juga : Hingga April, Pemerintah Sudah Tarik Utang Rp223,8 Triliun)

Legislator Dapil Jakarta ini menambahkan, indikator kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411.

Rasio-rasio yang melampaui batas aman antara lain rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan. (BACA JUGA: Hadapi Covid-19, Menteri BUMN Janji Bantu Garuda Indonesia)

Selain mengindikasikan nominal utang yang terus bertumbuh, rasio ini juga menunjukkan pertumbuhan penerimaan pemerintah tidak bertumbuh seiring dengan bertambahnya utang pemerintah.

“Meski PDB Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun, akan tetapi hal ini tidak diiringi pertumbuhan tax ratio atau rasio pajak. Namun, kondisi yang terjadi adalah tax ratio terus konsisten turun,” ucapnya.

Tax ratio yang pada 2015 mencapai 10,76% pada 2019 lalu justru turun ke angka 9,76%. Padahal RPJMN 2015-2019 menargetkan tax ratio pada tahun lalu bisa naik hingga 16%. Artinya ada angka PDB tertentu yang tidak diperoleh pajaknya oleh negara.

“Kita mendorong perubahan struktural atas pengelolaan fiskal pemerintah, terutama pentingnya fiscal sustainability analysis (FSA) untuk segera disusun,” kata dia.
(vit)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1289 seconds (0.1#10.140)