Mengingat Kembali Nganteuran, Budaya Sarat Makna yang Tertelan Zaman
loading...
A
A
A
PURWAKARTA - Waktu buka puasa yang tinggal beberapa menit lagi telah membuat seorang ibu muda berjalan tergesa-gesa. Sambil menenteng rantang plastik bersusun dua, dia mempercepat langkah menuju rumah yang dituju.
Perempuan itu tidak bermaksud ikut bersantap buka puasa di rumah yang ditujunya. Dia hanya ingin mengantarkan rantang yang berisi makanan itu tepat waktu, supaya si pemilik rumah bisa berbuka puasa begitu azan magrib berkumandang. ”Saya takut keburu azan,” ujar perempuan bernama Mulyati, warga RW13 Ciseureuh, Purwakarta, tersebut.
Ya, itulah nganteuran (mengantar makanan). Budaya turun temurun masyarakat Sunda, khususnya di Kabupaten Purwakarta yang menghilang, mendadak muncul kembali menjelang lebaran tahun ini.
Nganteuran memang sudah tidak tampak sejak 1990-an. Budaya yang sarat akan makna dan keluhuran nilai-nilai ini tergerus waktu dan nyaris sirna oleh zaman. Budaya seperti ini tidak lagi populer di tengah masyarakat yang sedang dininabobokan para milenial di era digital.
(Baca: Yummy, Cokelat-Cokelat Genting dari Jatiwangi Ini Bikin Lidah Lumer)
Sejarahwan Purwakarta, Ahmad Said Widodo, menyebutkan budaya nganteuran sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bahkan jauh sebelum masuknya Islam ke Nusantara. Dia menyebut budaya ini telah menjadi kearifan lokal sejak zaman Hindu dan Budha.
Biasanya, anak-anak yang sudah menikah memasak beragam makanan yang lezat. Makanan yang dibuat biasanya juga jarang dikonsumsi. Sebab makanan itu khusus disantap menjelang hari-hari besar umat Hindu dan Budha, maupun hari suci umat Islam, terutama menjelang Ramadhan atau Idul Fitri .
“Awalnya hanya sebatas mengirimkan bahan nyeupah (pinang sirih) atau dalam Bahasa Jawa disebut nyuruh. Kemudian hantaran berkembang menjadi makanan khas sesuai adat istiadat dan budaya setempat,” ungkap Widodo kepada SINDOnews, Selasa (19/5/2020) sore.
(Baca: Laris Manis, Lapak Takjil Iron Man di Jalur Pantura Cirebon)
Biasanya hantaran makanan menggunakan pipiti atau besek dan rantang bersusun antara tiga sampai lima susun, tergantung jumlah menu olahan masakannya. Biasanya yang diutamakan adalah hantaran kepada orang-orang tua atau yang sangat dihargai, dihormati dan dicintai, semisal kepada kakek nenek, ayah ibu, ayah ibu mertua, paman bibi, kakak adik, guru-guru, ustaz atau ustazah, kepala kampung atau dusun, sanak saudara, para tetangga, para sahabat dan lain-lain.
Perempuan itu tidak bermaksud ikut bersantap buka puasa di rumah yang ditujunya. Dia hanya ingin mengantarkan rantang yang berisi makanan itu tepat waktu, supaya si pemilik rumah bisa berbuka puasa begitu azan magrib berkumandang. ”Saya takut keburu azan,” ujar perempuan bernama Mulyati, warga RW13 Ciseureuh, Purwakarta, tersebut.
Ya, itulah nganteuran (mengantar makanan). Budaya turun temurun masyarakat Sunda, khususnya di Kabupaten Purwakarta yang menghilang, mendadak muncul kembali menjelang lebaran tahun ini.
Nganteuran memang sudah tidak tampak sejak 1990-an. Budaya yang sarat akan makna dan keluhuran nilai-nilai ini tergerus waktu dan nyaris sirna oleh zaman. Budaya seperti ini tidak lagi populer di tengah masyarakat yang sedang dininabobokan para milenial di era digital.
(Baca: Yummy, Cokelat-Cokelat Genting dari Jatiwangi Ini Bikin Lidah Lumer)
Sejarahwan Purwakarta, Ahmad Said Widodo, menyebutkan budaya nganteuran sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bahkan jauh sebelum masuknya Islam ke Nusantara. Dia menyebut budaya ini telah menjadi kearifan lokal sejak zaman Hindu dan Budha.
Biasanya, anak-anak yang sudah menikah memasak beragam makanan yang lezat. Makanan yang dibuat biasanya juga jarang dikonsumsi. Sebab makanan itu khusus disantap menjelang hari-hari besar umat Hindu dan Budha, maupun hari suci umat Islam, terutama menjelang Ramadhan atau Idul Fitri .
“Awalnya hanya sebatas mengirimkan bahan nyeupah (pinang sirih) atau dalam Bahasa Jawa disebut nyuruh. Kemudian hantaran berkembang menjadi makanan khas sesuai adat istiadat dan budaya setempat,” ungkap Widodo kepada SINDOnews, Selasa (19/5/2020) sore.
(Baca: Laris Manis, Lapak Takjil Iron Man di Jalur Pantura Cirebon)
Biasanya hantaran makanan menggunakan pipiti atau besek dan rantang bersusun antara tiga sampai lima susun, tergantung jumlah menu olahan masakannya. Biasanya yang diutamakan adalah hantaran kepada orang-orang tua atau yang sangat dihargai, dihormati dan dicintai, semisal kepada kakek nenek, ayah ibu, ayah ibu mertua, paman bibi, kakak adik, guru-guru, ustaz atau ustazah, kepala kampung atau dusun, sanak saudara, para tetangga, para sahabat dan lain-lain.