Prevalensi Stunting di Indonesia Masih Tinggi, Mencapai 30 Persen

Jum'at, 19 Maret 2021 - 12:24 WIB
loading...
Prevalensi Stunting di Indonesia Masih Tinggi, Mencapai 30 Persen
Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI Prof Dr dr Aman B Pulungan Sp A(K) FAAP, FRCPI (Hon) saat membacakan pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring, Jumat (19/3/2021). Foto/Ist
A A A
DEPOK - Stunting masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30%.

Stunting merupakan sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun. (Baca juga: Kepala BKKBN: Surabaya Jadi Pilot Project Zero Stunting di Indonesia )

Stunting memiliki dampak otak dan fisik anak sulit berkembang, kognitif, produktivitas dan kesehatan lebih rendah. Tetapi tidak semua anak yang berperawakan lebih pendek mengalami stunting. (Baca juga: Satu dari 4 anak Stunting, BPOM Diminta Perketat Regulasi Kental Manis )

Penuntasan stunting pada anak sebagai suatu permasalahan multi-factorial, medis, sosial ekonomi, politik dan emosional. Stunting di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah.

Stunting didefinisikan oleh WHO sebagai tinggi badan di bawah 2 standar deviasi di bawah median tinggi badan menurut usia. Pada tahun 2013, UNICEF menerbitkan laporan “Improving Child Nutrition”, yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting.

Hasil data tersebut dihitung berdasarkan kurva standar WHO sehingga mungkin menyebabkan overestimation angka stunting karena rerata tinggi badan yang tidak representatif terhadap suatu populasi.

“Ketika pengukuran ulang data Riskesdas menggunakan kurva nasional, angka stunting jauh berkurang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilihan kurva referensi untuk memantau pertumbuhan anak-anak di populasi juga faktor yang penting,” kata Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI Prof Dr dr Aman B Pulungan Sp A(K) FAAP, FRCPI (Hon) saat membacakan pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring, Jumat (19/3/2021).

Pidato tersebut berjudul ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’.

Aman mengatakan, masalah stunting harus dilihat secara komprehensif, menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan.

“Stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna,” kata dia.

Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan. Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan.

Oleh karena itu, kata dia, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain. Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi.

“Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional,” ujar Aman.

Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara. Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan.

Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan, melalui Penelitian disertasi yang dilakukan Aman B Pulungan, di Rampasasa, Flores menjelaskan, populasi yang lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting,” kata dia.

Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak tepat dapat menyebabkan over-diagnosis stunting dan underweight, terutama pada populasi Asia, yang secara umum dianggap lebih pendek dan lebih rendah berat badannya dibandingkan populasi di Eropa dan Amerika. “Tingginya angka stunting di Indonesia dan perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi menunjukkan pentingnya akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak,” kata Aman B Pulungan.

Berdasarkan berbagai penelitian, kata dia, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional.

Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting,sehingga sistem yang sudah berjalan di Indonesia berpotensi untuk ditingkatkan, misalnya penggunaan buku KIA dan pemanfaatan Posyandu. Dalam mendukung perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu.

“Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan,” pungkas Aman B Pulungan.
(nth)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9288 seconds (0.1#10.140)