Monumen Perang Dunia II, Memorial Korban Perang Pasifik di Manado
loading...
A
A
A
MANADO - Di seluruh Indonesia, mungkin hanya ada satu monumen yang didirikan oleh kekuasaan sekutu untuk mengenang para korban Perang Dunia (PD) II semasa 1941-1945.
Tugu peringatan yang dimaksud bukanlah untuk serdadu-serdadu yang gugur, melainkan untuk menghormati dan mengenang pengorbanan penduduk setempat yang telah dilibatkan dalam perang itu.
Monumen Korban Perang itu sampai kini berdiri dengan tegak di samping Gereja GMIM Sentrum, Manado, Sulawesi Utara. Walaupun strukturnya sudah lengkap namun monumen ini belum sempurna, prasastinya saja belum dipasang dan belum diresmikan oleh Sekutu sejak bangunan itu mulai didirikan pada tahun 1946.(Baca juga: Gunakan LPG 3 Kg, Sejumlah Rumah Makan di Kota Bitung Dirazia )
Monumen PD II itu menyimpan kenangan pahit bagi Kota Manado, dimana dua kali kota ini mengalami bombardemen besar-besaran baik oleh Jepang di awal perang maupun oleh pasukan sekutu menjelang bertekuk-lututnya bala tentara Kaisar Tenno Heika atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Hirohito.
Menurut Ben Wowor (98) pelaku sejarah peristiwa heroik merah putih 14 Februari 1946, cukup banyak tokoh-tokoh pemerintahan dan militer Hindia Belanda serta penduduk kota ini yang jiwanya melayang, menyusul pendudukan Jepang 11 Januari 1942 yang diawali dengan bombardemen berhari-hari sebelumnya.
Menjelang berakhirnya PD II, kembali kota ini mengalami penderitaan berat, karena kota ini dinilai sebagai kota terpenting di Sulawesi Utara dan Tengah oleh pasukan sekutu pimpinan Jenderal Mac Arthur.(Baca juga: Kerap Minum Miras, Bujang Tua Ditemukan Gantung Diri di Pohon Jeruk )
Jenderal Mac Arthur menganggap kota ini sangat strategis dalam rangka memukul balik Jepang. Tidak mengherankan bila Manado telah dibom secara besar-besaran sehingga praktis seluruh bangunan menjadi rata dengan tanah.
Usai PD II, bangsa-bangsa yang terlibat peperangan tersebut memberikan ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban. Demikian juga berlaku bagi rakyat Sulawesi Utara yang daerahnya dimusnahkan oleh Perang Dunia II 1941 1945.
Khususnya kota Manado yang adalah pusat kekuatan militer dan pemerintahan sipil di masa penjajahan Belanda dan di masa pendudukan Jepang telah menjadi sasaran pemusnahan oleh kedua belah pihak yang berperang (Jepang vs Sekutu).
Setelah Jepang bertekuk lutut dan Kota Manado dihancurkan secara total, Sekutu tidak serta merta meninggalkan Manado/ Minahasa tanpa meninggalkan suatu tanda kenangan tentang penyesalannya atas pengorbanan rakyat Sulawesi Utara yang telah berjasa pada sekutu dalam perang melawan Jepang.
Itulah sebabnya maka Belanda/ NICA sebagai anggota Sekutu melakukan langkah rehabilitasi dengan memasok bahan-bahan berupa pakaian dan obat-obatan serta 3000 zak semen untuk membangun sebuah memorial bagi para korban perang.(Baca juga: Pjs Gubernur Sulut Lepas 28 Kafilah ke MTQ Nasional di Padang )
"Tempat yang dipilih ialah halaman Gereja GMIM Sentrum sekarang yang menurut kadaster adalah milik Negara. Konon kepada Jemaat GMIM akan disediakan suatu areal di bagian tinggi kota Manado," tutur Ben Wowor, Jumat (13/11/2020).
Karena berada di daerah pelabuhan, selain membangun tugu memorial, Belanda berencana menggali areal di depan tugu itu untuk dijadikan pelabuhan dengan dermaganya.
"Tugu ini mulai dibangun tahun 1946 oleh kepala PU NICA, instansi yang dinamakan P.O.D. (Plaatselijke Opbouwdienst), yakni Ir. C. J. Uit den Bosch, tetapi tidak sampai diselesaikan karena waktu itu kita sedang berperang dengan Belanda (Perang Kemerdekaan)," ujar Ben Wowor.
Monumen yang dibangun sebagai kenangan terhadap korban perang pasifik baik dari sekutu, Jepang, dan rakyat itu memiliki ketinggian sekira 40 meter, memiliki empat tiang penyangga dengan sebuah kubus di atasnya.
"Inti dari simbol kubus ini mengandung arti persembahan yang termulia, yaitu tempat persemayaman korban perang yang kita cintai," kata Ben Wowor
Secara kultural tradisional desain ini mengacu kepada adat istiadat tentang bentuk makam bagi rakyat Minahasa yang berbentuk kubus melambangkan sebuah waruga, peti jenazah yang terletak di atas tanah.
Bagi korban perang dari bangsa-bangsa sekutu, kubus di atas puncak tugu melambangkan sebuah sarkofagus yang merupakan suatu warisan suci dan keramat. "Kubus itu dipisahkan dari bagian bawah oleh empat bola penyangga, sebagaimana kita mengusung suatu peti jenazah secara simbolis," jelas Ben.
Lihat Juga: Kisah Purnawarman, Raja Tarumanegara Penunggang Gajah yang Miliki Kekuatan Bak Dewa Wisnu
Tugu peringatan yang dimaksud bukanlah untuk serdadu-serdadu yang gugur, melainkan untuk menghormati dan mengenang pengorbanan penduduk setempat yang telah dilibatkan dalam perang itu.
Monumen Korban Perang itu sampai kini berdiri dengan tegak di samping Gereja GMIM Sentrum, Manado, Sulawesi Utara. Walaupun strukturnya sudah lengkap namun monumen ini belum sempurna, prasastinya saja belum dipasang dan belum diresmikan oleh Sekutu sejak bangunan itu mulai didirikan pada tahun 1946.(Baca juga: Gunakan LPG 3 Kg, Sejumlah Rumah Makan di Kota Bitung Dirazia )
Monumen PD II itu menyimpan kenangan pahit bagi Kota Manado, dimana dua kali kota ini mengalami bombardemen besar-besaran baik oleh Jepang di awal perang maupun oleh pasukan sekutu menjelang bertekuk-lututnya bala tentara Kaisar Tenno Heika atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Hirohito.
Menurut Ben Wowor (98) pelaku sejarah peristiwa heroik merah putih 14 Februari 1946, cukup banyak tokoh-tokoh pemerintahan dan militer Hindia Belanda serta penduduk kota ini yang jiwanya melayang, menyusul pendudukan Jepang 11 Januari 1942 yang diawali dengan bombardemen berhari-hari sebelumnya.
Menjelang berakhirnya PD II, kembali kota ini mengalami penderitaan berat, karena kota ini dinilai sebagai kota terpenting di Sulawesi Utara dan Tengah oleh pasukan sekutu pimpinan Jenderal Mac Arthur.(Baca juga: Kerap Minum Miras, Bujang Tua Ditemukan Gantung Diri di Pohon Jeruk )
Jenderal Mac Arthur menganggap kota ini sangat strategis dalam rangka memukul balik Jepang. Tidak mengherankan bila Manado telah dibom secara besar-besaran sehingga praktis seluruh bangunan menjadi rata dengan tanah.
Usai PD II, bangsa-bangsa yang terlibat peperangan tersebut memberikan ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban. Demikian juga berlaku bagi rakyat Sulawesi Utara yang daerahnya dimusnahkan oleh Perang Dunia II 1941 1945.
Khususnya kota Manado yang adalah pusat kekuatan militer dan pemerintahan sipil di masa penjajahan Belanda dan di masa pendudukan Jepang telah menjadi sasaran pemusnahan oleh kedua belah pihak yang berperang (Jepang vs Sekutu).
Setelah Jepang bertekuk lutut dan Kota Manado dihancurkan secara total, Sekutu tidak serta merta meninggalkan Manado/ Minahasa tanpa meninggalkan suatu tanda kenangan tentang penyesalannya atas pengorbanan rakyat Sulawesi Utara yang telah berjasa pada sekutu dalam perang melawan Jepang.
Itulah sebabnya maka Belanda/ NICA sebagai anggota Sekutu melakukan langkah rehabilitasi dengan memasok bahan-bahan berupa pakaian dan obat-obatan serta 3000 zak semen untuk membangun sebuah memorial bagi para korban perang.(Baca juga: Pjs Gubernur Sulut Lepas 28 Kafilah ke MTQ Nasional di Padang )
"Tempat yang dipilih ialah halaman Gereja GMIM Sentrum sekarang yang menurut kadaster adalah milik Negara. Konon kepada Jemaat GMIM akan disediakan suatu areal di bagian tinggi kota Manado," tutur Ben Wowor, Jumat (13/11/2020).
Karena berada di daerah pelabuhan, selain membangun tugu memorial, Belanda berencana menggali areal di depan tugu itu untuk dijadikan pelabuhan dengan dermaganya.
"Tugu ini mulai dibangun tahun 1946 oleh kepala PU NICA, instansi yang dinamakan P.O.D. (Plaatselijke Opbouwdienst), yakni Ir. C. J. Uit den Bosch, tetapi tidak sampai diselesaikan karena waktu itu kita sedang berperang dengan Belanda (Perang Kemerdekaan)," ujar Ben Wowor.
Monumen yang dibangun sebagai kenangan terhadap korban perang pasifik baik dari sekutu, Jepang, dan rakyat itu memiliki ketinggian sekira 40 meter, memiliki empat tiang penyangga dengan sebuah kubus di atasnya.
"Inti dari simbol kubus ini mengandung arti persembahan yang termulia, yaitu tempat persemayaman korban perang yang kita cintai," kata Ben Wowor
Secara kultural tradisional desain ini mengacu kepada adat istiadat tentang bentuk makam bagi rakyat Minahasa yang berbentuk kubus melambangkan sebuah waruga, peti jenazah yang terletak di atas tanah.
Bagi korban perang dari bangsa-bangsa sekutu, kubus di atas puncak tugu melambangkan sebuah sarkofagus yang merupakan suatu warisan suci dan keramat. "Kubus itu dipisahkan dari bagian bawah oleh empat bola penyangga, sebagaimana kita mengusung suatu peti jenazah secara simbolis," jelas Ben.
Lihat Juga: Kisah Purnawarman, Raja Tarumanegara Penunggang Gajah yang Miliki Kekuatan Bak Dewa Wisnu
(msd)