Monitoring IKM: Surabaya Masuk Risiko Rendah COVID-19
loading...
A
A
A
SURABAYA - Hasil monitoring self assessment Indikator Kesehatan Masyarakat (IKM) menunjukkan Kota Surabaya sudah masuk dalam kategori risiko rendah COVID-19 .
Surabaya memiliki nilai 2.58 berdasarkan penilaian yang dilakukan pada Minggu ke-29, atau mulai 28 September - 4 Oktober. (Baca juga: Ini yang Ditunggu, Akan Ada Tes Swab PCR Seharga Rp200 Ribu )
Penilaian yang dilakukan dalam self assessment itu terdiri dari 14 indikator. Di antaranya, penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu terakhir dari puncak, penurunan jumlah kasus ODP dan PDP selama dua minggu terakhir dari puncak, penurunan jumlah meninggal dari kasus positif selama dua minggu terakhir dari puncak, hingga mortality rate (angka kematian) kasus positif per 100,000 penduduk. Sementara itu sebagai pelengkap atau untuk triangulasi, Pemkot Surabaya menambahkan indikator ke-15, yakni Rt Angka reproduksi efektif < 1. (Baca juga: Di Tengah Pandemi, Surabaya Jadi Tuan Rumah Hari Habitat Dunia )
Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya, Febriadhitya Prajatara, mengatakan, hasil pencapaian ini tidak lepas dari berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam memutus mata rantai COVID-19.
“Dengan sumber daya yang terbatas saat itu, belum ada rapid test ataupun reagen, tapi wali kota sudah melakukan beberapa inovasi,” kata Febri, panggilan akrabnya, Rabu (14/10/2020).
Dia mengatakan, pemkot memberikan berbagai intervensi bagi kontak erat maupun pasien konfirm COVID-19 yang sedang melakukan isolasi mandiri. Di antaranya adalah memberikan permakanan, peralatan mandi, hingga peralatan makan seperti sendok dan piring.
Bahkan, kata dia, upaya pencegahan lain juga dilakukan pemkot melalui pola-pola yang komprehensif. Seperti memasang bilik disinfektan, wastafel hingga penyemprotan secara masif di tempat-tempat yang terdampak COVID-19. “Jadi di kampung-kampung itu yang terdampak COVID-19 dilakukan penyemprotan disinfektan,” kata dia.
Febri mengatakan, saat awal pandemi melanda, memang belum ada pedoman atau pola penanganan yang benar. Wali kota bersama jajarannya berusaha semaksimal mungkin melindungi warga dengan berbagai upaya agar terhindar dari virus tersebut.
“Karena agar bisa terlihat itu proses penanganannya on the track atau tidak itu kan memerlukan waktu. Maka dari itu Pemkot Surabaya berusaha semaksimal mungkin, terutama ibu wali kota,” jelas dia.
Saat itu, kata dia, pihaknya fokus untuk menyiapkan berbagai strategi menangani pandemi ini. Salah satu strategi itu adalah melakukan tracing masif, menyiapkan Kampung Wani Jogo Suroboyo serta menerapkan mini blocking bagi kampung yang ditemukan kasus COVID-19.
“Alhamdulillah waktu itu langsung didukung sumber daya dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Alhasil, mulai terlihat bagaimana pola-pola penanganan terhadap COVID-19 di Kota Surabaya,” jelas dia.
Febri menjelaskan, tracing masif yang dilakukan pemkot memang bertujuan untuk mencari tahu berapa banyak warga yang terkena COVID-19. Dengan begitu, dapat diketahui bagaimana pola untuk penanganan selanjutnya. “Karena ketika sudah diketahui maka pemkot tahu bagaimana penanganan dan langkah-langkah kebijakan yang harus diambil selanjutnya,” kata dia.
Salah satu kebijakan itu pun diterapkan kepada warga Surabaya yang terkategori OTG untuk selanjutnya menjalani isolasi dan perawatan di Hotel Asrama Haji. Sedangkan pasien yang memiliki komorbid, dia dirawat di rumah sakit. “Karena mata rantai ini harus diputus agar tidak menulari, maka diambil kebijakan untuk memakai Hotel Asrama Haji,” jelas dia.
Seiring berjalannya waktu, ibu hamil dan guru di sekolah juga difasilitasi untuk tes swab gratis. Upaya ini diiringi pula dengan menerapkan swab dadakan di lokasi-lokasi keramaian. Kini, swab dadakan berkembang menjadi Swab Hunter yang dibentuk per kecamatan.
Namun, upaya pemkot dalam memutus mata rantai pandemi ini rupanya tak berhenti sampai di situ. Sebab, di sisi lain pemkot juga menyediakan fasilitas pemeriksaan sampel swab di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda).
Surabaya memiliki nilai 2.58 berdasarkan penilaian yang dilakukan pada Minggu ke-29, atau mulai 28 September - 4 Oktober. (Baca juga: Ini yang Ditunggu, Akan Ada Tes Swab PCR Seharga Rp200 Ribu )
Penilaian yang dilakukan dalam self assessment itu terdiri dari 14 indikator. Di antaranya, penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu terakhir dari puncak, penurunan jumlah kasus ODP dan PDP selama dua minggu terakhir dari puncak, penurunan jumlah meninggal dari kasus positif selama dua minggu terakhir dari puncak, hingga mortality rate (angka kematian) kasus positif per 100,000 penduduk. Sementara itu sebagai pelengkap atau untuk triangulasi, Pemkot Surabaya menambahkan indikator ke-15, yakni Rt Angka reproduksi efektif < 1. (Baca juga: Di Tengah Pandemi, Surabaya Jadi Tuan Rumah Hari Habitat Dunia )
Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya, Febriadhitya Prajatara, mengatakan, hasil pencapaian ini tidak lepas dari berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam memutus mata rantai COVID-19.
“Dengan sumber daya yang terbatas saat itu, belum ada rapid test ataupun reagen, tapi wali kota sudah melakukan beberapa inovasi,” kata Febri, panggilan akrabnya, Rabu (14/10/2020).
Dia mengatakan, pemkot memberikan berbagai intervensi bagi kontak erat maupun pasien konfirm COVID-19 yang sedang melakukan isolasi mandiri. Di antaranya adalah memberikan permakanan, peralatan mandi, hingga peralatan makan seperti sendok dan piring.
Bahkan, kata dia, upaya pencegahan lain juga dilakukan pemkot melalui pola-pola yang komprehensif. Seperti memasang bilik disinfektan, wastafel hingga penyemprotan secara masif di tempat-tempat yang terdampak COVID-19. “Jadi di kampung-kampung itu yang terdampak COVID-19 dilakukan penyemprotan disinfektan,” kata dia.
Febri mengatakan, saat awal pandemi melanda, memang belum ada pedoman atau pola penanganan yang benar. Wali kota bersama jajarannya berusaha semaksimal mungkin melindungi warga dengan berbagai upaya agar terhindar dari virus tersebut.
“Karena agar bisa terlihat itu proses penanganannya on the track atau tidak itu kan memerlukan waktu. Maka dari itu Pemkot Surabaya berusaha semaksimal mungkin, terutama ibu wali kota,” jelas dia.
Saat itu, kata dia, pihaknya fokus untuk menyiapkan berbagai strategi menangani pandemi ini. Salah satu strategi itu adalah melakukan tracing masif, menyiapkan Kampung Wani Jogo Suroboyo serta menerapkan mini blocking bagi kampung yang ditemukan kasus COVID-19.
“Alhamdulillah waktu itu langsung didukung sumber daya dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Alhasil, mulai terlihat bagaimana pola-pola penanganan terhadap COVID-19 di Kota Surabaya,” jelas dia.
Febri menjelaskan, tracing masif yang dilakukan pemkot memang bertujuan untuk mencari tahu berapa banyak warga yang terkena COVID-19. Dengan begitu, dapat diketahui bagaimana pola untuk penanganan selanjutnya. “Karena ketika sudah diketahui maka pemkot tahu bagaimana penanganan dan langkah-langkah kebijakan yang harus diambil selanjutnya,” kata dia.
Salah satu kebijakan itu pun diterapkan kepada warga Surabaya yang terkategori OTG untuk selanjutnya menjalani isolasi dan perawatan di Hotel Asrama Haji. Sedangkan pasien yang memiliki komorbid, dia dirawat di rumah sakit. “Karena mata rantai ini harus diputus agar tidak menulari, maka diambil kebijakan untuk memakai Hotel Asrama Haji,” jelas dia.
Seiring berjalannya waktu, ibu hamil dan guru di sekolah juga difasilitasi untuk tes swab gratis. Upaya ini diiringi pula dengan menerapkan swab dadakan di lokasi-lokasi keramaian. Kini, swab dadakan berkembang menjadi Swab Hunter yang dibentuk per kecamatan.
Namun, upaya pemkot dalam memutus mata rantai pandemi ini rupanya tak berhenti sampai di situ. Sebab, di sisi lain pemkot juga menyediakan fasilitas pemeriksaan sampel swab di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda).
(nth)