Konsorsium PSN Sebut Proyek SATRIA Mulai Dibangun September 2020
loading...
A
A
A
Menurut Adi, proyek SATRIA bagi kelompok usaha PSN merupakan bagian dari rangkaian Satelit Nusantara yang dimulai sejak 2019. Satelit multifungsi ini memiliki kapasitas 150 gigabyte per second (Gbps) dengan menggunakan teknologi Very High Throughput Satellite (VHTS) dan memakai frekuensi Ka-Band.
Proyek SATRIA, kata dia, merupakan suatu keputusan strategis pemerintah yang sangat penting tidak kalah dengan keputusan pada saat pemerintah memutuskan untuk menggunakan Satelit Palapa A pada 1970 bagi sistem komunikasi satelit domestik yang membuat seluruh masyarakat Indonesia akhirnya dapat berkomunikasi dan menikmati saluran televisi nasional, TVRI.
“Dengan kapasitas sebesar 150 Gbps berarti lebih besar tiga kali lipat dari semua kapasitas satelit nasional yang saat ini masih digunakan. Kami yakin SATRIA dapat menjadi jawaban dari digital gap yang masih terjadi di Indonesia,” jelas Adi.
Total investasi SATRIA mencapai US$ 550 juta atau Rp 8 triliun akan dibiayai sindikasi perbankan bank-bank internasional. Yakni The Hongkong and Shanghai bank Corporation Limited (HSBC), Banco Santander, S.A (Santander) dan The Korean Development Bank (KDB) yang didukung oleh bank penjamin yaitu Bpi France Assurance Export (Bpi)--Export Credit Agency dari Perancis--dan lembaga keuangan multilateral.
Ada juga Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berbasis di Beijing, Tiongkok, dengan persentase fasilitas pinjaman sekitar US$ 425 juta (sekitar Rp 6,3 triliun) atau dengan persentase 77,27% dari seluruh total investasi. Sedangkan sisanya sebanyak US$ 125 juta atau setara 22,73% dari total investasi SATRIA akan menggunakan modal Konsorsium PSN.
Menurut Adi, dengan menerapkan teknologi VHTS, pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dapat melakukan efisiensi biaya sewa SATRIA yaitu hanya akan berkisar 12-20% dari biaya sewa pemerintah saat ini.
Konsultan satelit terkemuka di dunia asal Amerika Serikat, Northern Sky Research, memprediksi harga 1 megabyte per second (Mbps) pada 2024 mendatang di pasar masih akan dua kali lebih mahal dari yang dibayarkan BAKTI untuk proyek SATRIA ini. Dengan itu, kata Adi, pemerintah sudah tepat menerapkan program ini karena memiliki biaya sewa kapasitas yang murah dan terjangkau yang membuat pemerintah dapat menghemat anggaran.
“Kami perlu menekankan bahwa ini proyek SATRIA bukan proyek yang sangat menguntungkan secara komersial bagi perusahaan. Namun, kami merasa terhormat dapat mengemban tanggung jawab dan dapat diikutsertakan dalam membangun Indonesia"
"Kami berterima kasih kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan jajarannya, BAKTI, para pendukung pendanaan dari bank sindikasi Bpi, HSBC, Santander, KDB, AIIB, dan Perusahaan Penjamin Infrastruktur Indonesia, serta semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan proyek SMF. Kami berharap dengan proyek SATRIA benar-benar dapat mengentaskan kesenjangan digital di Indonesia,” tutup Adi.
Proyek SATRIA, kata dia, merupakan suatu keputusan strategis pemerintah yang sangat penting tidak kalah dengan keputusan pada saat pemerintah memutuskan untuk menggunakan Satelit Palapa A pada 1970 bagi sistem komunikasi satelit domestik yang membuat seluruh masyarakat Indonesia akhirnya dapat berkomunikasi dan menikmati saluran televisi nasional, TVRI.
“Dengan kapasitas sebesar 150 Gbps berarti lebih besar tiga kali lipat dari semua kapasitas satelit nasional yang saat ini masih digunakan. Kami yakin SATRIA dapat menjadi jawaban dari digital gap yang masih terjadi di Indonesia,” jelas Adi.
Total investasi SATRIA mencapai US$ 550 juta atau Rp 8 triliun akan dibiayai sindikasi perbankan bank-bank internasional. Yakni The Hongkong and Shanghai bank Corporation Limited (HSBC), Banco Santander, S.A (Santander) dan The Korean Development Bank (KDB) yang didukung oleh bank penjamin yaitu Bpi France Assurance Export (Bpi)--Export Credit Agency dari Perancis--dan lembaga keuangan multilateral.
Ada juga Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berbasis di Beijing, Tiongkok, dengan persentase fasilitas pinjaman sekitar US$ 425 juta (sekitar Rp 6,3 triliun) atau dengan persentase 77,27% dari seluruh total investasi. Sedangkan sisanya sebanyak US$ 125 juta atau setara 22,73% dari total investasi SATRIA akan menggunakan modal Konsorsium PSN.
Menurut Adi, dengan menerapkan teknologi VHTS, pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) dapat melakukan efisiensi biaya sewa SATRIA yaitu hanya akan berkisar 12-20% dari biaya sewa pemerintah saat ini.
Konsultan satelit terkemuka di dunia asal Amerika Serikat, Northern Sky Research, memprediksi harga 1 megabyte per second (Mbps) pada 2024 mendatang di pasar masih akan dua kali lebih mahal dari yang dibayarkan BAKTI untuk proyek SATRIA ini. Dengan itu, kata Adi, pemerintah sudah tepat menerapkan program ini karena memiliki biaya sewa kapasitas yang murah dan terjangkau yang membuat pemerintah dapat menghemat anggaran.
“Kami perlu menekankan bahwa ini proyek SATRIA bukan proyek yang sangat menguntungkan secara komersial bagi perusahaan. Namun, kami merasa terhormat dapat mengemban tanggung jawab dan dapat diikutsertakan dalam membangun Indonesia"
"Kami berterima kasih kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan jajarannya, BAKTI, para pendukung pendanaan dari bank sindikasi Bpi, HSBC, Santander, KDB, AIIB, dan Perusahaan Penjamin Infrastruktur Indonesia, serta semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan proyek SMF. Kami berharap dengan proyek SATRIA benar-benar dapat mengentaskan kesenjangan digital di Indonesia,” tutup Adi.
(msd)