Pemerintah Harus Lindungi Pendonor Ginjal. Ini Alasannya

Selasa, 01 September 2020 - 20:06 WIB
loading...
Pemerintah Harus Lindungi Pendonor Ginjal. Ini Alasannya
dr. Heri Sugeng Widodo. Foto/SINDONews/Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Praktik donor organ terutama ginjal kerap terjadi di Indonesia. Bahkan trend kebutuhan cangkok ginjal sangat tinggi, sehingga mengakibatkan antara kebutuhan dan stok tidak berimbang.

dr. Heri Sugeng Widodo, mengungkapkan dari hasil penelitiannya, saat ini jumlah pasien gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi ginjal di Indonesia mencapai 40.000 orang. Dari jumlah tersebut hanya 500 pasien atau sekitar 1,25 persen yang sudah menjalani cangkok ginjal.

Ironisnya, tidak sedikit pendonor ginjal dirugikan oleh oknum-oknum yang menjembatani antara pendonor dan penerima donor. Seperti yang terjadi di salah satu rumah sakit di Malang beberapa waktu lalu. Dari kesepakatan awal pendonor menerima kompensasi 350 juta, hanya diberi 90 juta. Kejadian itu akhirnya berujung ramai dan masuk peradilan.

(Baca juga: Bocah 11 Tahun di Probolinggo Dicabuli Berulang-ulang dan Divideo )

Kasus tersebut menjadi contoh akibat tidak adanya komite transplantasi organ, baik di tingkat pusat maupun provinsi. Akibatnya penyelenggaraan transplantasi organ dengan memberikan penghargaan (kompensasi) kepada pendonor tidak terlindungi dan dijamin oleh pemerintah, bahkan dianggap memperjualbelikan organ.

"Di sini bukan konteks jual belinya, tapi bagaimana melindungi orang-orang yang sudah mau berkontribusi kepada kehidupan seseorang juga diapresiasi. Bukan malah dikriminalisasi. Sudah membantu tentu mencari nafkahnya juga berkurang," kata Heri saat memaparkan disertasinya berjudul ”Legalisasi Pemberian Penghargaan Terhadap Pendonor Organ di Indonesia” di Untag Surabaya, Selasa (01/9/2020).

Menurut calon wisudawan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini, pemberian kompensasi kepada pendonor yang tidak terlindungi oleh komisi pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 berakibat pada kasus juaI-beli organ.

”Secara yuridis di Indonesia, seseorang tidak diperbolehkan memperjualbelikan organnya, namun pemberian penghargaan terhadap pendonor masih dimungkinkan. Sayangnya ketidakjelasan pemberian kompensasi menyebabkan kasus serupa yang terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,” ungkapnya.

Lebih lanjut Heri mengatakan, kesehatan pendonor yang memerlukan biaya perawatan pasca pelaksanaan transplantasi juga harus dilindungi dan dijamin kesejahteraanmya. Apalagi jika pendonor dalam keadaan ekonomi yang sulit.

Menurutnya pemberian kompensasi akan sangat bermanfaat bagi pendonor yang sukarela memberikan organnya guna menyelamatkan nyawa resipien. Karena itu Heri menegaskan pentingnya perlindungan, pengawasan dan jaminan kepastian hukum terkait Pemberian Penghargaan kepada Pendonor sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 dan Permenkes No. 38 Tahun 2016.

Melalui penelitiannya tersebut, Heri menyarankan agar Pemerintah mengatur peraturan tentang pemberian transplantasi terutama pemberian penghargaan dan melakukan pengkajian terhadap Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun 2009 dan Permenkes No. 38 Tahun 2016.

”Peraturan yang mengatur kepastian hukum terhadap mekanisme pemberian penghargaan terhadap pendonor harus dengan tegas dituangkan secara tertulis dalam aturan perundangundangan, sehingga diharapkan dapat melindungi pendonor terhadap pengingkaran oleh resipien,” pungkasnya.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0898 seconds (0.1#10.140)