Serangan Masif Pangeran Diponegoro Renggut Banyak Korban Jiwa Kalangan Bangsawan
loading...
A
A
A
PANGERANDiponegoro dan prajuritnya melakukan penyerangan besar-besaran ke beberapa daerah di Kulon Progo. Serangan Pangeran Diponegoro ini menjadi serangan besar kedua di Dekso, Kulon Progo.
Serangan gemilang tersebut demi merebut kemenangan beruntun di beberapa daerah yang tersebar di Kulon Progo.
Serangan Pangeran Diponegoro ke tangsi-tangsi pertahanan Belanda juga membuat banyak elite bangsawan Yogyakarta menemui ajalnya. Pasukan Diponegoro di bawah komando Sentot berhasil meraih kemenangan beruntun di Kasuran, Lengkong. Akibatnya, banyak elite bangsawan tewas akibat serangan di Bantul, Kejiwan, dan Delangu.
Semua kemenangan ini membawa mereka dari Kali Progo sampai pinggiran barat Surakarta. Para perwira Belanda menyebut tentara Diponegoro yang berhasil merebut garis pertahanan Belanda layaknya mengamuk dengan kepala tertunduk sambil menyuarakan pekikan yang mengiris hati sebagaimana dikisahkan pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) tulisan Peter Carey.
Dengan rasa putus asa, Belanda mulai mengosongkan garinisun-garnisun mereka di luar Jawa sambil mengerahkan serdadu yang baru didatangkan dari Eropa.
Kedudukan Belanda tampaknya tidak memberikan harapan, tetapi hanya karena terbantu oleh perdebatan panjang soal taktik antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Kondisi ini memungkinkan Belanda dapat mengkonsentrasikan pasukan dalam jumlah cukup besar untuk merebut kemenangan atas pasukan Pangeran Diponegoro di Gawok pada 15 Oktober 1826.
Pertempuran baru juga tercipta di Rembang dan Jipang - Rajekwesi (saat itu daerah Bojonegoro) pada akhir 1827, saudara ipar Pangeran Diponegoro, Sosrodilogo ikut dalam perang. Selama beberapa minggu, peperangan menegangkan terjadi awal Desember 1827 hingga pertengahan Januari 1828.
Imbas peperangan itu, jalur komunikasi pemerintah Belanda antara Semarang dan Surabaya terputus. De Kock, sang jenderal terpaksa menunda rencana keberangkatannya ke Belanda dan menyerahkan kepemimpinan komando tentara ke tangan Van Geen.
Hal ini menunjukkan keputusan tepat mengingat watak Van Geen yang tidak kenal kasihan dengan melakukan taktik bumi hangus dan menghukum tawanan melalui cara siksaan yang begitu dikenal luas yakni dipendam sebatas leher agar dimakan rayap dan semut.
Sebelum peperangan pecah di Rembang, militer Belanda dan pejabat-pejabat sipilnya sudah mulai memikirkan bagaimana mengakhiri perang. Kondisi keuangan begitu sulit, ekonomi di Jawa tengah bagian selatan macet, tidak berputar, dan pemerintah kolonial terancam bangkrut.
Bahkan, raja yang dianggap loyal seperti Sunan Pakubuwana VI tidak dapat diandalkan. Kemungkinan sang Sunan Pakubuwana VI yang angin-anginan itu bersumpah setia kepada Belanda. Di sisi lain, dia bersiap-siap memihak Pangeran Diponegoro bila nanti menang.
Lihat Juga: Kisah Munculnya Mancanegara Wetan dan Kilen saat Sebagian Kerajaan Mataram Dikuasai Belanda
Serangan gemilang tersebut demi merebut kemenangan beruntun di beberapa daerah yang tersebar di Kulon Progo.
Serangan Pangeran Diponegoro ke tangsi-tangsi pertahanan Belanda juga membuat banyak elite bangsawan Yogyakarta menemui ajalnya. Pasukan Diponegoro di bawah komando Sentot berhasil meraih kemenangan beruntun di Kasuran, Lengkong. Akibatnya, banyak elite bangsawan tewas akibat serangan di Bantul, Kejiwan, dan Delangu.
Semua kemenangan ini membawa mereka dari Kali Progo sampai pinggiran barat Surakarta. Para perwira Belanda menyebut tentara Diponegoro yang berhasil merebut garis pertahanan Belanda layaknya mengamuk dengan kepala tertunduk sambil menyuarakan pekikan yang mengiris hati sebagaimana dikisahkan pada buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 - 1855) tulisan Peter Carey.
Dengan rasa putus asa, Belanda mulai mengosongkan garinisun-garnisun mereka di luar Jawa sambil mengerahkan serdadu yang baru didatangkan dari Eropa.
Kedudukan Belanda tampaknya tidak memberikan harapan, tetapi hanya karena terbantu oleh perdebatan panjang soal taktik antara Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Kondisi ini memungkinkan Belanda dapat mengkonsentrasikan pasukan dalam jumlah cukup besar untuk merebut kemenangan atas pasukan Pangeran Diponegoro di Gawok pada 15 Oktober 1826.
Pertempuran baru juga tercipta di Rembang dan Jipang - Rajekwesi (saat itu daerah Bojonegoro) pada akhir 1827, saudara ipar Pangeran Diponegoro, Sosrodilogo ikut dalam perang. Selama beberapa minggu, peperangan menegangkan terjadi awal Desember 1827 hingga pertengahan Januari 1828.
Imbas peperangan itu, jalur komunikasi pemerintah Belanda antara Semarang dan Surabaya terputus. De Kock, sang jenderal terpaksa menunda rencana keberangkatannya ke Belanda dan menyerahkan kepemimpinan komando tentara ke tangan Van Geen.
Hal ini menunjukkan keputusan tepat mengingat watak Van Geen yang tidak kenal kasihan dengan melakukan taktik bumi hangus dan menghukum tawanan melalui cara siksaan yang begitu dikenal luas yakni dipendam sebatas leher agar dimakan rayap dan semut.
Sebelum peperangan pecah di Rembang, militer Belanda dan pejabat-pejabat sipilnya sudah mulai memikirkan bagaimana mengakhiri perang. Kondisi keuangan begitu sulit, ekonomi di Jawa tengah bagian selatan macet, tidak berputar, dan pemerintah kolonial terancam bangkrut.
Bahkan, raja yang dianggap loyal seperti Sunan Pakubuwana VI tidak dapat diandalkan. Kemungkinan sang Sunan Pakubuwana VI yang angin-anginan itu bersumpah setia kepada Belanda. Di sisi lain, dia bersiap-siap memihak Pangeran Diponegoro bila nanti menang.
Lihat Juga: Kisah Munculnya Mancanegara Wetan dan Kilen saat Sebagian Kerajaan Mataram Dikuasai Belanda
(jon)