Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten

Jum'at, 24 Januari 2020 - 05:00 WIB
Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten
Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten
A A A
BANTEN - CAKRADANA pada awal karirnya mendapatkan kepercayaan penuh dari penguasa Banten yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. "Sebuah sumber Inggris menggambarkan tahun 1666 sebagai orang yang paling disukai Sultan dan Guilhen tak ragu menulis: Jelas bahwa ia adalah anak emas raja," kata Claude Guillot dalam bukunya Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.

Cakradana merupakan seorang Syahbandar Utama Kerajaan Islam Banten. Dengan jabatan mentereng itu, dirinya diberi gelar Kyai Ngabehi Cakradana oleh Sultan Banten. Awalnya, Cakradana yang bernama asli Tantseko adalah seorang pandai besi keturunan China.
Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten

Tidak diketahui pasti tempat dan tanggal kelahiran Cakradana. Tetapi berdasarkan dokumen pada tahun 1680 disebut 'tua'. Jadi, diperkirakan pada saat itu berumur 50 tahun atau kelahiran di tahun sebelum 1630 an.

Di dua pucuk surat tulisan tangan Cakradana yang tersimpan di Kopenhagen tertulis dalam bahasa Denmark yang artinya Syahbandar kota Pacinan untuk Sultan di Banten. Kata itu menunjukan bahwa Cakradana merupakan kepala Syahbandar Utama, dirinya adalah Kepala Bea Cukai.

Meski pekerjaannya sebagai mantan pandai besi, bahwa Cakradana sudah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan kerajaan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Jabatan tersebut berada di bawah wewenang sultan.
Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten

Saat menjabat sebagai kepala bea cukai, Cakradana tidak henti-hentinya berusaha untuk mengembangkan perniagaan internasional di Banten serta memodernisasi kerajaan. Berkat kerja kerasnya itulah dia menerima gelar Kyai Ngabehi.

"Kita tahu bahwa saat itu ia telah menjadi seorang muslim dan tampaknya perpindahan agama sudah menjadi persyaratan yang diperlukan untuk orang Banten keturunan asing untuk menjadi pejabat administratif," tulis Guillot.

Cakradana disebut anak emas sultan karena pada masa itulah, perniagaan di Banten maju dan mentereng. Pada tahun 1671 dimulailah pembangunan kompleks pemukiman di Pacinan dengan area yang lebih luas mencangkup sekitar 120 rumah terbuat dari bata dengan toko dilantai dasarnya.

Guillot juga menuliskan bahwa pada 1671 di Banten ada tiga jalan yang dibangun cukup baik oleh Cakradana. Di masing-masing sisi ada 20 rumah bata dan toko untuk menampung orang Tionghoa. Jalan tersebut, tulis Guillot, dibangun dari biaya Cakradana sendiri.

"Negara atau raja meluncurkan atau menyetujui pembangunan sebuah kawasan permukiman yang cukup besar, tapi menyerahkan realisasi dan pembiayaannya kepada sebuah perusahaan swasta, dalam hal ini Cakradana," tulis Guillot.

Selain itu, dua jembatan batu juga dibangun di tahun yang sama. Satu di dalam kota di sebelah utara istana, dan satu lagi jembatan untuk melintas dari kota raja ke daerah niaga di Karangantu. Kedua jembatan ini dibangun di bawah kepemimpinan Cakradana dan pembangunan tak biasa dikenal di Jawa.

Jembatan di Karangantu, sebagaimana digambarkan oleh C. De Bruijn adalah jembatan buka-tutup yang memungkinkan kapal berlalu lalang di sungai. Sedangkan yang di utara istana, adalah jembatan yang dikenal sebagai Jembatan Rantai. Sebuah jembatan yang bisa diangkat dan diturunkan.

Tahun 1677 Kesultanan Banten mulai merenovasi pertahanan kota dengan memperbaiki benteng pertahanan yang sudah ada seratus tahun sebelumnya. Benteng ini terbuat dari bata yang mengelilingi kota raja, karena itu maka disebut sebagai Banten, Negara Kota di dalam Benteng. Karena itu, Kesultanan Banten memiliki pertahanan yang sulit ditembus dari laut oleh para penjajah dari Eropa yang hendak memasuki Nusantara.
Misteri Cakradana, Arsitek Keturunan Tionghoa Anak Emas Sultan Banten

Benteng ini cukup unik, bagian yang berada di tepi laut berbentuk zig-zag, dan dibangun di lahan berpasir. Tembok tebalnya berbahan batu karang dan adukan kapur. Karang tersebut diambil di sekitar pulau oleh para tahanan khususnya para pecandu. Selain itu, tembok-tembok ini juga diperkuat oleh empat buah menara di sepanjang sisinya.

"Diperlukan keahlian yang tidak kami miliki untuk menentukan sumber-sumber yang mengilhami Cakradana dalam proyek arsitektur yang tiada bandingnya di Nusantara pada zaman itu," tulis Guillot.

Setelah merebut kota itu tahun 1682, Belanda menghancurkan karya arsitektur Cakradana, dari benteng pertahanan hingga permukiman Tionghoa –hanya jembatan yang dirombak. Tersisa sebuah peninggalan berupa tembok di sebelah utara di benteng yang kemudian diberi nama Speelwijk tersebut.

Cakradana kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai syahbandar setelah adanya perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji pada tahun 1680. Penggantinya yakni Kiayi Arya Mangunsandana yang berasal dari kalangan bawah seorang tionghoa.

Saat Sutan Ageng Tirtayasa mengambil keputusan untuk melewati masa tuanya di daerah Tirtayasa, di pesisir utara dekat Tanara, sesekali menginap di rumah Cakradana. Saat itu Cakradana sudah dicopot dari jabatannya.

Cakradana kemudian melanjutkan hidupnya dengan memulai beraktivitas dan terlibat peeniagaan maritim, namun dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Selanjutnya Cakradana menjadi syahbandar di Cirebon yang menjadi tempat ia meninggal dunia. Sesuai dengan keinginannya, jasadnya dibawa ke batavia untuk dikebumikan.

Pembangunan hanyalah salah satu dari berbagai wajah orang yang tak ada tandingannya dan yang nasibnya penuh gejolak. Di tempatnya sendiri, hanya sedikit peninggalan yang tersisa untuk dapat menilai bakatnya sebagai ahli pembangunan.

Tak satu pun rumah Tionghoa daerah permukiman yang ia bangun mampu melawan waktu. Jembatan-jembatan di kota telah diubah atau bahkan dibangun kembali sejak akhir abad ke-17 seperti yang telah kita lihat. Benteng telah dihancurkan. Memang, orang Eropa memutuskan untuk menggunakan sebuah kubu di pintu masuk pelabuhan dan untuk itu sebagian dari tembok yang ada dipertahankan untuk menjadi bagian dari kubu mereka yang mereka namakan Speelwijk sebagai tanda penghormatan kepada Speclman.

Peninggalan-peninggalan kubu ini masih terlihat. Apabila kita lewat melalui pintu kecil berkubah yang menghadap ke laut dan mengamati tembok utara kubunya, terlihat dengan jelas tembok ini berbeda penggarapannya dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah sepenggal tembok kota lama karya Cakradana.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0056 seconds (0.1#10.140)