Cerita Masjid Bungkuk Malang Tempat Penggemblengan Pejuang 10 November hingga Kebal Senjata
loading...
A
A
A
Antisipasi dilakukan para pejuang termasuk tokoh-tokoh ulama Islam di Malang dan sekitarnya. Mereka bersama-sama rakyat dan gerilyawan berlatih perang dan membekali dengan ilmu spiritual yang akan dikirim ke Porong untuk berjuang melawan Belanda dan sekutunya.
"Di sana itu gerilya dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat menggemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara-tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," ucap Moensif.
Dia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya.
Bahkan KH Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata.
Moensif ingat ketika masih SD, samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD, ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," ujar pria berusia 87 tahun ini.
Selain di Singosari dan Lawang ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok-pondok pesantren yang memiliki tokoh-tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar di mana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri-sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," katanya.
Lihat Juga: Digadang-gadang Jadi Panglima, Mayjen Imam Soedja'i Pilih Berperang pada Pertempuran November 1945
"Di sana itu gerilya dikirim rata-rata cuma dibekali istilahnya tahan peluru, minum telur ayam, dikasih doa ditelan. Biar orang-orang yang mau berangkat untuk gerilya biasanya diangkut menuju perbatasan frontnya, di daerah Porong dikirim ke sana," terang pria yang juga penasehat takmir Masjid At Thohiriyah, Bungkuk.
"Dari mana-mana dari Jember ke sana, dari Malang ke sana, Singosari ini tempat menggemblengnya mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara-tentara nggak ada baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan," ucap Moensif.
Dia masih ingat betul selain di Bungkuk, Singosari, rumah orang tuanya KH Nachrawi juga digunakan para pejuang gerilyawan berkumpul. Di sana para pejuang dibekali ilmu agama, peperangan, dan terpenting kebal saat ditembak senjata api oleh Belanda dan sekutunya.
Bahkan KH Nachrawi turut turun langsung membekali para pejuang untuk berperang, termasuk ilmu kekebalan terhadap senjata.
Moensif ingat ketika masih SD, samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD, ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," ujar pria berusia 87 tahun ini.
Selain di Singosari dan Lawang ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok-pondok pesantren yang memiliki tokoh-tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar di mana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri-sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," katanya.
Lihat Juga: Digadang-gadang Jadi Panglima, Mayjen Imam Soedja'i Pilih Berperang pada Pertempuran November 1945
(jon)