Kampung Al-Munawwar, Jejak Etnis Yaman di Kota Palembang

Minggu, 30 Agustus 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kampung Al-Munawwar,...
Kampung Al-Munawwar, Jejak Etnis Yaman di Kota Palembang. Foto/SINDOnews/Berli Zul
A A A
PALEMBANG - Peradaban di Palembang, Sumatera Selatan sudah menarik sejak berabad-abad yang lalu. Salah satu saksi sekaligus buktinya keberadaan kampung Al-Munawwar yang berada di Jalan KH Azhari 13 Ulu, Seberang Ulu II Palembang.

Di pinggir Jalan KH Azhari disebut darat dan sisi lainnya dari kampung ini langsung menghadap Sungai Musi yang disebut laut.

Sudah terdapat dermaga untuk pengunjung yang menggunakan jalur sungai dengan menumpang getek atau perahu tradisional dari sekitar Jembatan Ampera atau Pelataran Benteng Kuto Besak.

Atau dapat juga menyusuri jalan dengan melintasi Pasar 10 Ulu jika dari Jembatan Ampera atau belok kanan jika turun dari Jembatan Musi IV.

Kampung Al-Munawwar bukan sekedar pemukiman etnis dari timur tengah tepatnya Yaman bukan Arab Saudi, atau sekadar spot selfy dan destinasi wisata dengan rumah berusia hingga 250 tahun lebih.

Namun, keberadaanya membuktikan menariknya Palembang bagi dunia luar. Para saudagar dari timur tengah sejak abad ke 18 itu sudah tertarik untuk datang, berdagang dan menyebarluaskan agama Islam di Bumi Sriwijaya.

Ada yang menyebut keberadaan kampung Al-Munawwar tak terlepas dari Belanda yang mendekati etnis timur Tengah sehingga ditunjuk seorang pemimpin diantara mereka dengan gelar kapten pada 1825.

Namun apapun itu, wilayah Palembang pada masa itu sudah didatangi berbagai etnis seperti Timur Tengah dengan kampung bukti kampung Al-Munawwar dan Kampung Kapitan untuk etnis Tionghoa.

Rumah-rumah tua yang berusia mencapai hingga 250 tahun yang masih kokoh berdiri lantaran terbuat dari kayu-kayu ulin dan batu marmer yang didatangkan langsung dari Eropa.

Bangunan pertama yang dibangun di abad 18 disebut rumah tinggi. Rumah ini bangun Al-Habib Abdurrahman Al Munawwar orang pertama yang sekaligus cikal bakal kampung ini.

Bentuknya perpaduan arsitektur timur tengah, Eropa dan rumah Limas yakni panggung dengan tiang. Kemudian dalam perkembangannya, dibangun beberapa rumah di sampingan depan dan lainnya untuk anak pertama kedua dan selanjutnya.

Diantaranya rumah darat yang letaknya berhadapan langsung dengan rumah tinggi. Rumah ini dibangun untuk anak pertamanya Al-Habib Muhammad Al-Munawwar.

Selanjutnya rumah batu dibangun untuk putri ketiga sekaligus tempat berlindung warga kampung ketika ada bahaya seperti perang.

Juga ada rumah kaca yang kini dijadikan yayasan sekolah Al Kautsar. Dan juga ada rumah kembar untuk putra keempat. Sesuai namanya dua rumah dibangun dengan bentuk sama saling berhadapan.

Kini kampung ini telah dikembangkan menjadi destinasi wisata. Penataan telah dilakukan termasuk pemasangan lampu jalan, pembangunan dermaga di sisi Sungai Musi dan pemasangan papan informasi mengenai sejarah kampung Al-Munawwar, dan rumah-rumah di cat.

Kampung Al-Munawwar, Jejak Etnis Yaman di Kota Palembang


Walaupun harus jujur ada bagian rumah yang terlihat butuh perbaikan. "Kemarin ada rusak di ujung atap, sudah kita beneri sendiri seadanya," ujar Bagir, generasi ke delapan yang mendiami rumah darat, Sabtu (29/8/2020).

Masyarakat Al-Munawar sangat ramah sejak dahulu hingga kini dengan wisatawan yang datang. Namun, memang nuansa adat timur tengah masih sangat terjaga hingga kini.

Tiap Senin ada majelis taklim menggunakan rumah tinggi, libur pada hari Jumat dan menghentikan aktivitas ketika memasuki waktu ibadah.

Para wanita menjaga jarak dan pandangan dengan jilbab panjang bukan karena di tengah pandemi, sedangkan kaum laki-laki langsung bergegas ke mushola ketika menjelang waktu sholat, suara anak-anak belajar ngaji di rumah kaca.

Menurut Bagir yang mendiami rumah darat bersama beberapa keluarga lainnya, selain beberapa rumah yang berusia ratusan tahun terdapat beberapa rumah yang dibangun warga.

Kampung Al-Munawwar, Jejak Etnis Yaman di Kota Palembang


Menurutnya ada sekitar 30 kepala keluarga dengan sekitar 300 jiwa di Kampung Al-Munawwar. Mereka semua mempunyai tali darah persaudaraan karena aturan perempuan yang tidak membolehkan menikah dengan orang di luar kampung. (Baca juga: Jejak Persinggahan Sang Proklamator di Tanah Bumi Sriwijaya)

Aturan itu hanya berlaku untuk perempuan. Para pria tetap boleh menikahi perempuan di luar kampung namun tetap saja darah Arabnya masih kental dari garis keturunan sang ayah. (Baca juga: Ki Ageng Wonokusumo, Tokoh Islam Ditakuti Belanda, Adzan di Bukit Terdengar Keseluruh Penjuru

Kampung ini selain menyajikan bangunan tua dan bersejarah, juga menyajikan pemandangan langsung ke arah Sungai Musi lengkap dengan jembatan Ampera ketika menoleh ke kiri dan Musi IV jika menoleh ke kanan.
(boy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1155 seconds (0.1#10.140)