Kebengisan Pasukan Khusus Marsose Belanda, Bunuh Pejuang Kemerdekaan dengan Senyap

Senin, 12 Agustus 2024 - 07:56 WIB
loading...
Kebengisan Pasukan Khusus...
Marsose, legiun pasukan khusus penjajah Belanda terkenal kejam dan bengis memberangus perlawanan para pejuang Kemerdekaan di berbagai wilayah di Nusantara. Foto/Istimewa
A A A
MARSOSE,legiun pasukan khusus penjajah Belanda terkenal kejam dan bengis memberangus perlawanan para pejuang kemerdekaan di berbagai wilayah di Nusantara. Terutama di kawasan Aceh yang menjadi catatan kelam sejarah.

Marsose atau marechaussee adalah pasukan khusus komando pertama dengan beranggotakan warga Belanda dan ditambah pribumi.



Pasukan khusus dengan anggota yang berjumlah kecil ini merupakan unit infanteri dengan mobilitas tinggi. Selain itu memiliki daya tahan tinggi di berbagai medan, dan kemampuan bertempur yang kuat dibandingkan pasukan biasa.

Legiun ini menggunakan senapan dengan ukuran yang lebih pendek dari senapan biasa atau laras pendek (karaben) dan tidak tergantung angkutan militer serta biasa berjalan kaki.

Ketangguhan lainnya, unit marsose juga tidak bergantung pada jalur suplai logistik.

Para personel marsose dipersenjatai senapan laras pendek atau karaben dan juga dipersenjatai senjata tajam tradisional khas penduduk setempat seperti klewang, hingga rencong.



Keunggulan lainnya, marsose memiliki karakter tersendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan senjata tajam sejenis klewang untuk menghabisi lawannya dalam jarak dekat.

Selain itu penggunaan senjata tajam sangat membantu prajurit khusus ini sehingga bisa membunuh lawan tanpa harus membuat gaduh dan kehilangan peluru.

Konsep yang digunakan marsose ini tidak jauh berbeda dengan pasukan khusus yang ada dan berkembang sekarang ini.

Marsoses dikenal sebagai pasukan kecil dengan daya gempur yang dahsyat terhadap pertahanan lawan.

Pasukan Marsose yang disebut Korps Marechaussee te Voet dibentuk pada 26 Oktober 1814 oleh Pemerintah Belanda berdasarkan Dekrit No 48.

Pasukan Marsose di Hindia Belanda (Indonesia) ini berbeda dengan Korps Marechaussee te Voet yang ada di Belanda.

Paul Vant Veer dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid X, Jakarta menyebutkan bahwa Marsose di Hindia Belanda dibentuk atas usulan dari Teuku M Arif, Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh yang mendukung Belanda.

Jaksa Kepala Kutaraja Aceh ini memberi nasihat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal Van Teijn untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri antigerilya yang memiliki mobilitas tinggi.

Marsose dibentuk di Hindia Belanda yang personelnya merupakan anggota pilihan dari berbagai kesatuan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) baik pribumi maupun Eropa pada.

Banyak warga pribumi dengan kemahiran dalam pertarungan menjadi anggota marsose karena mereka lebih familiar dengan iklim tropis.

Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa di bawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia.

Kolone Macan


Marsose memulai kiprahnya di Hindia Belanda (nusantara) dengan terjun di Bumi Serambi Mekkah pada tahun 1890. Salah satu unit marsose yang diterjunkan di Aceh dikenal dengan nama Kolone Macan.

Kolone Macan adalah unit khusus yang dibentuk untuk memadamkan perlawanan para pejuang Aceh. Pasukan khusus ini berhasil memukul mundur pejuang Aceh dan sempat menangkap salah satu Panglima Aceh, Teuku Umar yang kemudian mati syahid.

Marsose terkenal dengan cara yang kejam dan sadis saat mereka melalukan sweeping dan eksekusi di tempat. Kesadisan Marsose itu terdengar sampai di daratan Eropa.

Pasukan Marsose pimpinan Overste van Daalen pada 1904 membantai sebanyak 2.549 orang di Kampung Kute Reh, Badek, Cane Uken Tungul, Penosan, Tampeng, Likat dan Kute Lengat Baru.

Pasukan Marsose ini mampu membantu pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengakhiri Perang Aceh yang panjang hingga awal abad ke 20.

Namun Belanda mengalami kerugian yang sangat besar baik dari segi materi dan moral dalam pendudukannya di Bumi Serambi Mekkah ini.

Kiprah pasukan marsose juga dinilai berhasil mengalahkan pasukan Sisingamangaraja XII saat berperang di pedalaman Sumatera Utara pada 1907.

Pasukan ini dipimpin Letkol WBJA Scheepens dan Hans Christoffel yang juga telah berhasil dalam menjalankan tugasnya di Aceh.

Hans Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang sangat ahli berburu.

Setelah mereka memadamkan perjuangan Sisingamangaraja XII, di pedalaman Sumatera Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti raja di tanah Batak ini telah ditaklukan.

Unit marsose juga dinilai berperan dalam memadamkan perlawanan Pasukan Sultan Muhammad Seman saat Perang Banjar. Pasukan marsose di bawah pimpinan Hans Christoffel ini bisa menduduki Benteng Manawing pada Januari 1905.

Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan Banjar tertembak dan gugur dalam pertempurab.

Salah satu marsose pribumi yang cukup diakui adalah WC Ferdinandus dari Haruku, Saparua yang berhasil mengalahkan pasukan Maria Langa pimpinan pejuang di NTB pada awal tahun 1900 an.

Selain itu ada nama Robert Talumewo, Simon Leiwakabessy, Stephanus Melfibossert Anthony dan Redjakrama yang berdarah Jawa.

Atas keberanian marsose pribumi ini pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan Bintang Jasa Militair Willemsorde kelas IV.

Pada 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Setelah bubar tak diketahui jelas kemana saja para pasukan ini menyebar.

Tapi, yang pasti mereka benar-benar telah memberikan sejarah kelam dalam dunia militer di Nusantara. Cerita mengenai marsose juga mulai redup sejak kedatangan tentara Dai Nippon di Indonesia.

Pembentukan DST


Tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol WBJA Scheepens, yakni Kapten WJ Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945.

Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946.

Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten WJ Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa.

Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung. Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling.

Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD. Batujajar, Jawa Barat digunakan untuk mengambil spesialisasi Para dan Komando bagi para anggota Kopassus.

Selain DST terdapat juga pasukan payung Belanda yang bertugas di Indonesia.

Pasukan ini memiliki ciri khas berbaret merah yang mengadopsi pasukan khusus dari Inggris. Kemudian Kepala Staf KNIL di Indonesia Jenderal Simon Spoor mengabungkan DST dengan pasukan payung berbaret merah Belanda.

Spoor menggabungkan konsep komando dan para bagi pasukan ini dengan nama Korps Speciale Troepen (KST).

Pada 1 Mei 1947 Jenderal Spoor melantik pasukan gabungan ini. Salah satu anggotanya adalah Rokus Bernadus Visser atau Muhammad Idjon Janbi yang kemudian menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan khusus TNI AD yang merupakan cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Sumber: Pasukan Komando, Petrik Matanasi 2008; wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1325 seconds (0.1#10.140)