Sejarah Gelar 'Haji' di Indonesia

Senin, 12 Agustus 2019 - 05:00 WIB
Sejarah Gelar Haji di...
Sejarah Gelar 'Haji' di Indonesia
A A A
Setelah melaksanakan rangkaian ibadah haji terutama wukuf di Padang Arafah, para jamaah resmi menjadi haji atau hajjah. Namun, gelar haji ini hanya populer dan akrab di Indonesia.

Pemberian gelar haji ini memang tergolong unik karena hanya ada di Tanah Air. Di luar negeri seperti di Arab Saudi dan negara muslim lainnya jarang digunakan.

Ibadah haji merupakan hal yang istimewa di Indonesia. Selain butuh biaya besar, menunaikan ibadah ini butuh pengorbanan. Bahkan ada yang harus menabung dan rela menunggu bertahun-tahun baru bisa berangkat haji.

Gelar haji beda dengan julukan 'ulama' yang merupakan bentuk jamak dari kata 'alim atau orang yang berilmu (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996: 25). Namun, dalam perkembangannya ulama diartikan sebagai orang yang ahli dan 'alim dalam syariat Islam serta menjadi panutan di tengah masyarakat.

Di Indonesia, ulama ini mempunyai sebutan berbeda di setiap daerah, seperti Kiyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Teungku/Tengku (Aceh), Syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), Buya (Minangkabau), Tuan Guru (Nusa Tenggara, Kalimantan).

Terkait gelar haji ini, Pakar Ilmu Linguistik Arab lulusan Cairo-Mesir, Ustaz Miftah el-Banjary menjelaskan, panggilan haji di Tanah Air ini dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Secara politis di masa kolonial, ibadah haji memiliki kekuatan politis yang bisa menjadi gerakan politik yang sangat diperhitungkan oleh Belanda.

Belanda mengkhawatirkan dampak politis dari ibadah haji, karena orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci di Jawa. Karena itulah, para haji diyakini lebih didengar penduduk awam lainnya sehingga pemerintah Belanda membuat peraturan ketat yang berhubungan dengan ibadah Haji.

"Tahun 1859 dibuatlah peraturan baru yaitu paspor haji gratis, calon haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan. Kemudian tahun 1889 Snouck Hurgronje datang ke Indonesia dan mengkritik tajam kebijaksanaan haji pada tahun 1859," papar Ustaz Miftah yang juga motivator dan penulis buku-buku Islami ini.

Kata Ustaz Miftah, Snouck berpendapat bahwa jamaah haji yang datang dari Mekkah tidak perlu dikhawatirkan karena kecil sekali kemungkinannya dipengaruhi ide Pan Islam. Akhirnya, perubahan kembali dilakukan pada 1902 yaitu ketentuan tentang ujian dalam pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan. Hanya pengawasan terhadap para haji yang diperketat.

"Dari kronologis sejarahnya sesungguhnya sebutan haji pada awalnya bagian dari taktik dan strategi kolonial memberikan atribut politik bagi orang muslim yang datang dari Makkah untuk dibatasi pergerakan politisnya melawan penjajahan," jelas Dai muda asal Kalimantan Selatan ini.

Sementara itu, Arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan gelar Haji mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1916. "Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar haji) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari pesantren. Tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," papar Agus Sunyoto seperti dikutip dari NU Online.

Agus yang juga penulis buku 'Atlas Wali Songo' itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap warga pribumi pulang dari Tanah Suci selalu terjadi pemberontakan. "Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," jelasnya.

Untuk memudahkan pengawasan, pada tahun 1916 Belanda mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari ibadah haji wajib menggunakan gelar 'Haji'.

Seiring berjalannya waktu, sebutan gelar 'Haji' itu semakin populer di tengah umat muslim Tanah Air. Alhasil, secara turun temurun hingga kini panggilan 'Haji' menjadi akrab di Indonesia, bahkan menular ke negara tetangga seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan Thailand bagian Selatan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1649 seconds (0.1#10.140)