Kisah Raja Mataram Gemar Kumpulkan Selir Cantik, Berikut Alasannya
loading...
A
A
A
RAJA Mataram dahulu sering mengambil perempuan cantik sebagai selir. Pengambilan selir yang kelak dijadikan permaisuri ini merupakan salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selir yang sering berasal dari putri bangsawan bawahan ini menjadi salah satu tanda loyalitas kepada Raja Kesultanan Mataram yang sedang berkuasa. Bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, juga merupakan tanda takluk kepada raja.
Selain bangsawan, banyak rakyat biasa yang secara sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Dengan harapan jika si anak melahirkan keturunan raja, maka keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Selir Raja Mataram diambil dari daerah yang dikenal memiliki banyak perempuan cantik. Ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur.
Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
“Upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Namun yang memprihatinkan, posisi perempuan yang hendak menjadi calon selir menjadi semacam komoditas. Sebab tidak semua perempuan yang dibawa ke keraton berhasil dipinang sebagai selir raja.
Mereka yang gagal itu lantas ditempatkan di daerah terpencil, yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi. Pergeseran nilai itu menemukan bentuknya pasca Perang Jawa (1825-1830).
Di mana ketika kolonial Belanda mulai membuka proyek perkebunan, pembangunan jalan raya, pendirian pabrik gula, serta mengintensifkan pelabuhan.
Banyak pekerja yang rata-rata laki-laki merasa kesepian dan butuh dekapan perempuan. Pada masa kolonial Belanda, 11 Kabupaten di Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja itu, bergeser menjadi pemasok praktik prostitusi.
“Kabupaten-kabupaten itu sekarang justru menjadi “pemasok” perempuan untuk prostitusi di kota-kota besar,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Selir yang sering berasal dari putri bangsawan bawahan ini menjadi salah satu tanda loyalitas kepada Raja Kesultanan Mataram yang sedang berkuasa. Bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, juga merupakan tanda takluk kepada raja.
Selain bangsawan, banyak rakyat biasa yang secara sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Dengan harapan jika si anak melahirkan keturunan raja, maka keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Selir Raja Mataram diambil dari daerah yang dikenal memiliki banyak perempuan cantik. Ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur.
Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
“Upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Namun yang memprihatinkan, posisi perempuan yang hendak menjadi calon selir menjadi semacam komoditas. Sebab tidak semua perempuan yang dibawa ke keraton berhasil dipinang sebagai selir raja.
Mereka yang gagal itu lantas ditempatkan di daerah terpencil, yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal munculnya praktik pergundikan dan prostitusi. Pergeseran nilai itu menemukan bentuknya pasca Perang Jawa (1825-1830).
Di mana ketika kolonial Belanda mulai membuka proyek perkebunan, pembangunan jalan raya, pendirian pabrik gula, serta mengintensifkan pelabuhan.
Banyak pekerja yang rata-rata laki-laki merasa kesepian dan butuh dekapan perempuan. Pada masa kolonial Belanda, 11 Kabupaten di Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pemasok selir raja itu, bergeser menjadi pemasok praktik prostitusi.
“Kabupaten-kabupaten itu sekarang justru menjadi “pemasok” perempuan untuk prostitusi di kota-kota besar,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(shf)