Di Balik Berpindah-pindahnya Ibu Kota Sukapura

Jum'at, 08 Februari 2019 - 05:00 WIB
Di Balik Berpindah-pindahnya...
Di Balik Berpindah-pindahnya Ibu Kota Sukapura
A A A
Sukapura yang terbentang dari Tasikmalaya sekarang (Kota dan Kabupaten) sampai Kota Banjar, Ciamis sebagian dan Kabupaten Pangandaran, adalah pemerintahan pertama di wilayah yang kini disebut Tasikmalaya .

Berubahnya nama Sukapura menjadi Tasikmalaya hingga pusat kota yang berpindah-pindah telah menjadi sejarah unik. Semua itu tak lepas dari urusan politik.

Ibu Kota Sukapura (Tasikmalaya) pertama kali adalah Sukaraja yang kini jadi kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Meski sebelumnya ada istilah 'Sukapura Kolot' yakni Mangunreja yang bersebelahan dengan Singaparna sebagai ibu kota Kabupaten Tasikmalaya.

Kemudian, Manonjaya di sebelah timur yang kini hanya kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, serta terakhir di Kota Tasikmalaya yang membentuk pemerintahan sendiri dengan nama Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Penulis mengumpulkan literasi karya Alm. R. Sulaeman Anggapradja (Sesepuh Kulawargi Sukapura Cabang Garut) dan Buku berbentuk Buletin terbitan 1933 dalam rangka memperingati 300 tahun Tasikmalaya (1632-1933) era Bupati Tasikmalaya ke-14 RAA. Wiratanuningrat.

Dalam Sejarah Sukapura Jilid Dua karya Sulaeman Anggapradja dan Buletin Peringatan Hari Jadi Tasikmalaya ke-300 itu disebutkan proses kepindahan Ibu Kota Sukaraja ke Harjawinangun (Manonjaya) di masa pemerintahan Sukapura lebih besar karena karut-marutnya politik Hindia Belanda.

Kala itu sekitar Tahun 1807-1837, Keresidenan Priangan mengalami perubahan politik begitu besar atas kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels. Terjadi penggabungan wilayah dan pembubaran wilayah yang menimpa Kabupaten Limbangan, Sukapura, dan Galuh pada 2 Maret 1811.

Tiga kabupaten itu dibubarkan, tidak lagi menghasilkan kopi, serta terjadinya pembangkangan Bupati Sukapura Jaya Anggadipa atas perintah Hindia Belanda untuk menanam nila di sawah-sawah dengan alasan kalau sawah ditanami nila, kebutuan padi untuk rakyat terganggu.

Dampaknya, Sukapura, Limbangan dan Galuh dimasukkan pada Pemerintahan Daerah Priangan Cirebon. Dan, bupati yang menjabat di daerah itu dicopot sehingga Sukapura mengalami kekosongan pemerintahan.

Di sisi lain, Gubernur Jenderal Daendels diganti oleh Thomas Stamford Raffles, sehingga pemerintahan Hindia Belanda beralih ke Inggris. Atas usul Komisi Tanah di Bogor dilakukan kembali pembentukan dan pembubaran kabupaten-kabupaten tahun 1813.

Kabupaten Parakan Muncang dibubarkan, sementara Kabupaten Limbangan dibentuk lagi dengan Ibu Kota di Suci Garut. Namun, Bupatinya dari Parakan Muncang yakni Raden Tumenggung Adiwijaya.

Begitu juga Kabupaten Karawang dibubarkan, sementara Kabupaten Sukapura kembali dihidupkan dan Bupati Karawang kala itu Raden Tumenggung Surialaga II asal Sumedang atau sering disebut Bupati Talun diangkat menjadi Bupati Sukapura dengan distrik di bawahnya yakni Distrik Selacau, Parung, Karang, Mandala, Sukaraja, Taraju, Batuwangi, Nagara, Kandangwesi, dan Cidamar. Adapun Distrik Malangbong diserahkan ke Kabupaten Sumedang.

Pusat Kabupaten Sukapura pun berkedudukan di Distrik Singaparna karena Bupatinya keturunan Sumedang. Kemudian, distrik-distrik Singaparna, Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang, serta bekas Kabupaten Galuh Kawasen dan Kabupaten Sumedang yang menjadi Wakil Bupati Sukapura berkedudukan di Kota Tasikmalaya yaitu Tumenggung Kusuma Yuda, adiknya Raden Tumenggung Adiwijaya, putra Pangeran Kornel.

Kedua Bupati tersebut (Limbangan dan Sukapura) ditugaskan meneruskan penanaman nila serta pabrik-pabrik karena dianggap kalau bupatinya keturunan Sukapura dan Limbangan akan lain pertimbangannya dalam menjalankan tugas penanaman nila.

Namun, kali ini bukan bupatinya, tapi rakyat Sukapuranya yang membangkang pada bupati keturunan Sumedang itu. Jika pagi hari ditanam nila, sore harinya disiram air panas agar mati.

Dua tahun sudah Bupati Surialaga II memerintah Sukapura, tapi penanaman nila tak berhasil. Akhirnya dia tidak mampu lagi menyuruh rakyat Sukapura dan memilih meletakkan jabatan lalu meminta kepada Gubernur agar dipulangkan ke Sumedang.

Jabatan Bupati Sukapura pun diberikan pada Bupati Limbangan Raden Adipati Adiwijaya, sehingga secara otomatis merangkap menjadi Bupati di Sukapura dan Limbangan.

Dan, untuk menguatkan posisi Limbangan, Kabupaten Sukapura kembali dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen pada 19 April 1821.

Atas perintah Residen Priangan di Cianjur, Bupati Limbangan diharuskan menggandeng mantan Bupati Sukapura Jaya Anggadipa (Wiradadaha VIII), sehingga Jaya Anggadipa diberi jabatan sebagai "Kumetir" (Pengiring Bupati), yang bertugas mengurus kebun nila serta diharuskan membuat pabrik nilanya.

Jaya Anggadipa menerima jabatan itu dengan maksud sebagai batu loncatan atas saran Raden Patih Danuningrat yang saat itu menjadi Patih Galuh di Pasir Panjang, agar ke depannya posisi sebagai Bupati Sukapura bisa kembali diraih.

Karena khawatir setiap pekerjaan yang mendapat nama baik akan tetap disebut hasil Bupati Limbangan, Jaya Anggadipa meminta tempat penanaman nila dan pabrik tidak di Sukaraja tetapi di Batuwangi dan Nagara (sekarang wilayah Singajaya Kabupaten Garut). Ia optimistis tercapai karena Batuwangi awalnya masukwilayah Sukapura sehingga rakyat Batuwangi bisa taat pada Jaya Anggadipa.

Selesai sudah penanaman nila bersama pabriknya yang di Batuwangi dan Nagara itu. Lalu dilaporkan ke Bupati Limbangan, sementara pekerjaan Bupati Limbangan di Sukaraja dan Mangunreja belum selesai. Bupati Limbangan Raden Adipati Adiwijaya pun merasa dilema karena khawatir kalau sampai dilaporkan kesuksesan Jaya Anggadipa akan mendapat penilaian buruk terhadap dirinya sehingga Gubernur Residen Priangan di Cianjur bisa mengembalikan kembali wilayah Sukapura ke Jaya Anggadipa.

Meski demikian, Adiwijaya tetap melaporkan kesuksesan Jaya Anggadipa ke Residen. Dan, hal ini berbuah apresiasi bahwa orang Sukapura memang rajin dan cekatan.

Jaya Anggadipa pulang dari Batuwangi, kemudian menghadap Adiwijaya. Lalu diminta meneruskan pekerjaan di Mangunreja, serta kalau selesai di Mangunreja kerjakan juga yang di Sukaraja.

Selesai di Mangunreja, kemudian beralih ke Sukaraja. Dan, di Sukaraja lah Jaya Anggadipa menyemangati rakyat Sukaraja agar bekerja tekun mendirikan pabrik supaya Sukaraja kembali ke pangkuan rakyat Sukapura, tidak lagi di bawah Limbangan.

Di Sukaraja juga kerja gotong royong besar-besaran terjadi, karena seluruh pemimpin rakyat kala itu begitu bersemangat sehingga pendirian pabrik terlaksana juga yang salah satunya ada peran Raden Haji Abdul Wajah (Penghulu Cianjur) yang pulang ke Sukapura, yang piawai mengatur setiap pekerjaan.

Dalam tempo tiga bulan, pabrik beserta perumahan berdiri. Kebun-kebun telah dipagar dan ditanami sehingga di akhir tahun 1830 sudah bisa dipanen.

Atas prestasi tersebut, Gubernur Residen Priangan di Cianjur akhirnya mengembalikan lagi wilayah Sukapura menjadi Kabupaten Sukapura dan Raden Jaya Anggadipa dipulihkan kembali sebagai Bupati Sukapura, sehingga Raden Jaya Anggadipa ini menjadi Bupati Sukapura untuk kedua kalinya lewat Surat Keputusan Gubernur Jenderal Johannes Graaf Van Den Bosch pada 18 Oktober 1831.

Adapun Bupati Limbangan Raden Adipati Adiwijaya wafat dan dikebumikan di Cipeujeuh sehingga sampai sekarang mendapat julukan Dalem Cipeujeuh. Sementara, posisi Bupati Limbangan diturunkan pada anak Raden Adipati Adiwijaya yakni Raden Alit Kusumahdinata yang pelantikannya hampir bersamaan.

Galuh Timur Digabung ke Sukapura
Penyebab pindahnya Ibu Kota Sukapura, Sukaraja ke Manonjaya juga karena digabungkannya wilayah Galuh Timur meliputi Pasir Panjang (Manonjaya-Cimaragas), Banjar, Pangandaran, Cikembulan, Parigi sampai ke Kabupaten Sukapura oleh Gubernur Residen Priangan di Cianjur. Hal itu agar rakyat Sukapura bertambah banyak dari 1.000 keluarga menjadi 4.000 ribu keluarga.

Galuh Timur dipimpin oleh Raden Tumenggung Aria Danuningrat (Raden Tanuwangsa adiknya Raden Jaya Anggadipa atau Bupati Sukapura, Wiradadaha VIII) sebagai Wakil Bupati Galuh Timur yang saat itu masuk wilayah Kabupaten Sumedang.

Pengangkatan menjadi Tumenggung (Wakil Bupati) pun karena prestasi Tanuwangsa dalam mendirikan gudang garam di Banjar dan Pangandaran atas perintah Bupati Sumedang Pangeran Kusumah Yuda. Sehingga, tanah Galuh di bawah kekuasaan Sumedang meliputi Pasir Panjang, Banjar, Kawasen, Kalipucang, Cikembulan dan Parigi diserahkan ke Tanuwangsa atau disebut Raden Aria Danuningrat.

Pelantikan Tanuwangsa menjadi Tumenggung terjadi tahun 1832 di zaman Residen Priangan Hollenberg yang berkedudukan di Cianjur.

Di Galuh Timur, pertama kali dikenal Hari Pasar yang dalam dua kali seminggu ada istilah Pasar Rabu dan Pasar Sabtu, sehingga wilayah tersebut (kala itu Pasir Panjang) banyak didatangi para pedagang dari Singaparna, Garut, Ciamis, Tawang (Tasikmalaya). Ada pula yang datang dari Tegal, Cirebon, Ciamis, dan Singaparna yang memilih menetap.

Selang satu tahun sekitar 1833, Bupati Sumedang Pangeran Kusumah Yuda meninggal dunia. Kemudian di Sukapura yang Bupatinya Raden Jaya Anggadipa atau sering disebut Wiradadaha VIII diangkat menjadi Adipati (Wakil Residen Wilayah Otonom Priangan).

Saat pelantikan, Raden Tumenggung Danuningrat pun harus hadir di Sukapura sebagai simbol bergabungnya Galuh Timur ke Sukapura.
Danuningrat juga lebih senang menjadi bawahan Sukapura dibanding Sumedang, karena Bupati Sukapura kakaknya sendiri sehingga secara keluarga bisa bertemu setiap hari setelah sekian tahun berpisah.

"Aduhai adikku. Tak terperikan kegembiraan Kanda bisa bertemu lagi dengan Adinda. Adikku seorang jantan, sungguh besar pengorbanan Adinda. Bertahun-tahun Adinda sengsara dan menderita karena membela tanah pusaka, sehingga terbang ke rantau orang. Sekarang Adinda telah kembali sambil membawa tanah Galuh karena pengorbanan Adinda ke Kanda bisa menjabat warisan leluhur kita. Amat besar utang budi Kanda pada Adinda," ujar Jaya Anggadipa saat menyambut kedatangan adiknya, Danuningrat di Sukaraja.

Jaya Anggadipa atau Bupati Wiradadaha VIII ini pun menganggap jabatan Adipati sebagai simbol semata karena yang paling berhak mendapat gelar itu harusnya adik sendiri yaitu Danuningrat.

"Jika ada di antara keturunan Kanda (Jaya Anggadipa) yang beritikad buruk kepada keturunan Adinda (Danuningrat), semoga kutuk Allah ditimpakan kepadanya," demikian Sumpah Jaya Anggadipa disaksikan Danuningrat. Kemudian keduanya menyiramkan air ke bumi sebagai simbol kesucian hati.

Dan, di hari pelantikan, Kontrolir dari Residen Priangan, Van Dek membacakan surat keputusan tetang digabungnya daerah Galuh ke Kabupaten Sukapura. Artinya, Galuh lepas dari kekuasaan Sumedang dan kini menjadi kekuasaan Sukapura.

Singkat cerita, wilayah Sukaraja mulai padat oleh rumah penduduk sehingga pusat pemerintahan begitu ramai. Joglo (sekarang Pendopo) mulai lapuk dan kalau dibangun harus memakai tanah persawahan, juga karena faktor politik atas digabungnya tanah Galuh Timur (Pasir Panjang, Cimaragas, Banjar, Kalipucang, Pangandaran, Parigi sampai Cijulang) ke Sukapura.

Kalau pusat pemerintahan dekat, rakyat Galuh pun akan terkelola dan terperhatikan dengan baik sehingga tidak merasa dibawahi Sukapura. Maka, atas saran Patih (Wakil Bupati) Sukapura Danuningrat (Raden Tanuwangsa adik Bupati Sukapura, Raden Adipati Wiradadaha VIII), Ibu Kota Sukapura sebaiknya dipindahkan.

Danuningrat mengusulkan ke Bupati kala itu, Wiradadaha VIII suatu daerah hutan luas dan datar yang bisa dibuka menjadi kota baru. Daerah tersebut adalah Tembong Gunung-Kalimanggis (Manonjaya sekarang) yang sebagian tanahnya bisa dijadikan persawahan juga dengan mengambil sumber air dari Tawang dari Sungai Cimulu dan Cisoleh.

Selain itu, sudah tersedia gudang nila dan kopi di Banjar yang tidak jauh dari laut sehingga Kalipucang bisa dibangun pelabuhan yang sama-sama masuk wilayah Sukapura. Kemudian dibabatlah hutan Tembong Gunung itu.

Sesuai rencana tata ruang kota, setiap sudut tanah untuk Alun-alun ditanami pohon beringin, termasuk membuat saluran air untuk pesawahan, pasar, dan kolam-kolam yang sudah ada ikannya mulai ikan mas, tawes, dan gurame, serta bangunan untuk pemerintahan.

Setelah selesai sekitar tahun 1834, Bupati Sukapura Wiradadaha VIII meninjau langsung tempat tersebut. Ia begitu takjub lalu menamai daerah tersebut dengan sebutan "Harjawinangun" yang artinya daerah subur, gemah ripah yang bisa dirasakan rakyatnya.

Dan, sejak itu pula Ibu Kota Sukapura secara resmi berkedudukan di Harjawinangun (sekarang Manonjaya) dengan memiliki dua patih atau wakil bupati yakni Raden Danuningrat menguasai dan mengurus Sukapura bagian Timur (yang berasal dari Galuh) dan Raden Demang Brajanagara khusus menguasai dan mengurus Sukapura barat atau yang berasal dari Sukapura.

Tahun 1837 atau Muharam 1253 Hijriah, Bupati Sukapura Raden Kanjeng Adipati Wiradadaha VIII wafat setelah memimpin Sukapura selama 30 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Tanjungmalaya atau sebelah selatan Manonjaya (sekarang menjadi Pemakaman Bupati dan keluarga Sukapura).

Pada tahun itu pula atas usul Gubernur Residen Priangan yang berkedudukan di Cianjur, Raden Tumenggung Danuningrat (Wakil Bupati sekaligus Adik Wiradadaha ke-8) diangkat menjadi Bupati Sukapura melanjutkan kepemimpinan kakaknya. Nama Raden Tumenggung Danuningrat diganti menjadi Raden Tumenggung Wiratanubaya.

Puncaknya, dengan keputusan Gubernur Jenderal di Batavia, nama Harjawinangun diubah menjadi "Manonjaya". Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (besluit/lembar negara) Nomor 2 tanggal 10 Januari 1839.

Raden Tumenggung Danuningrat meninggal dunia pada 4 Januari 1844 dan dimakamkan di Tanjungmalaya Manonjaya setelah memimpin selama enam tahun. Peninggalan yang masih bisa dirasakan sampai sekarang adalah Alun-alun Manonjaya dan Kaum atau Masjid Agung Manonjaya. Masjid dibangun sekitar tahun 1837, yang diperluas oleh Raden Tumenggung Arya Wirahadingrat tahun 1889 sebagai Bupati Sukapura ke-12.

Pemerintahan Sukapura yang berpusat di Manonjaya belangsung sejak 1834 sampai 1901 atau sekitar 67 tahunan karena dipindah ke Tasikmalaya atau Kota Tasikmalaya sekarang.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1197 seconds (0.1#10.140)