Kisah Jenderal Gatot Subroto, Perisai Hidup Soekarno Pemberi Julukan Monyet ke Soeharto
loading...
A
A
A
Kisah kedekatan Jenderal Gatot Subroto dengan Soeharto terukir dalam karir kemiliteran. Saking dekatnya, perisai hidup Presiden Soekarno ini sering memanggil Soeharto dengan sebutan ‘monyet’ dalam latihan.
Jenderal Gatot Subroto dapat dikatakan menjadi satu-satunya sosok yang berani memanggil Soeharto dengan sebutan monyet, saat keduanya masih aktif berdinas di kemiliteran. Sebutan monyet dalam karier kemiliteran era Gatot saat itu sebagai panggilan keakraban.
Sebagaimana diketahui, Gatot merupakan salah satu tokoh pejuang militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Ia dilahirkan pada 10 Oktober 1907 di Banyumas, Jawa Tengah, sebagai putra pertama dari Sajid Joedojoewono.
Panggilan yang disematkan untuk Soeharto yang kelak menjadi Presiden kedua RI ini tidak merasa sakit hati dengan sebutan tersebut. Bukan tanpa alasan, panggilan monyet oleh Gatot Subroto pada bawahannya ternyata memiliki makna tersendiri.
Saat itu, baik Soeharto dan Gatot sama-sama masih aktif berdinas di kemiliteran. Keduanya pun merupakan serdadu bentukan tentara kolonial Hindia Belanda (KNIL), di mana panggilan dengan nama binatang adalah hal yang wajar.
Gatot Subroto pernah berteriak memanggil Soeharto Ketika sedang berada di pertempuran Palagan Ambarawa. “Hei monyet, mari ke puncak sini” ujar Gatot kepada Soeharto saat itu. Soeharto yang mendengar hal tersebut pun tidak ingin ambil pusing ataupun marah pada Gatot.
Karena secara usia dan pengalaman di dunia militer, ia kalah senior dengan atasannya tersebut. Pria yang kelak menjadi RI ke-2 itu pun manut dan nurut meski dirinya dipanggil monyet. Selain kalah senior dan pengalaman militer, Gatot merupakan sosok yang berjasa besar pada Soeharto.
Dalam buku Suharto: Sebuah Biografi Politik karya Robert Elson, disebutkan bahwa Gatot Subroto ikut menyelamatkan karier Soeharto yang nyaris dikeluarkan dari Angkatan Darat karena terlibat kasus penyelundupan.
Sosok Gatot Soebroto sendiri mempunyai hubungan dekat dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, walaupun pangkat Gatot lebih rendah. Setelah Perjanjian Roem-Royen ditandatangani.
Pemerintah Republik Indonesia pun kembali ke Yogyakarta. Namun Jenderal Soedirman masih bergerilya memimpin anak buahnya ke Yogya, dan hanya Gatot Soebroto lah yang berhasil melemahkan pendirian Panglima Besar itu.
Hingga akhirnya pada pada tanggal 10 Juli 1949 Jenderal Soedirman kembali ke Yogya. Meskipun terkenal disiplin dan sangat keras. Namun sikapnya itu tak membuat ia dijauhi anak buah dan koleganya di tentara.
Dia sangat perhatian dan sayang terhadap anak buah. Bahkan ia rela untuk membela anak buahnya serta berani mengambil risiko. Hal ini terlihat saat ia pasang badan untuk Soeharto. Kala itu, Soeharto menjabat sebagai Pangdam IV Diponegoro.
Soeharto kala itu terindikasi melakukan penyelundupan ilegal. Jenderal AH Nasution dan Ahmad Yani marah sekali dan akan memberikan hukuman keras kepada Soeharto.
Mengetahui itu dengan cepat Gatot Soebroto menemui Presiden Sukarno untuk memberikan pengampunan kepada Suharto dengan jaminan dirinya mampu mengubah perangai Suharto karena menurutnya Suharto masih mungkin berubah.
Profil Gatot Subroto
Gatot Subroto lahir di Banyumas, Jawa Tengah, sebagai putra pertama keluarga Sajid Joedojoewono pada 10 Oktober 1907. Dia tutup usia pada 11 Juni 1962 karena terkena serangan jantung.
Seminggu setelah ia dimakamkan di Desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.283 tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.
Setamat pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi memilih menjadi pegawai.
Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) di Magelang.
Menamatkan sekolah militer di Magelang, Gatot menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda) hingga akhir kependudukan Belanda di Indonesia. Ia dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang.
Gatot dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Dengan bergabung dengan KNIL membuat Gatot Soebroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak.
Kemudian pasca-Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Soeboroto pun mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) dan setelah lulus dari PETA ia memilih menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) setelah kemerdekaan Indonesia.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) merupakan adalah latar belakang dari nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini.
TKR yang dipimpin oleh Kolonel Sudirman di mana saat itu Gatot Soebroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan Divisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang dalam pertempuran Ambarawa.
Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan pihak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia.
Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto.
Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948.
Serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang pasukan Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Jenderal Gatot Subroto dapat dikatakan menjadi satu-satunya sosok yang berani memanggil Soeharto dengan sebutan monyet, saat keduanya masih aktif berdinas di kemiliteran. Sebutan monyet dalam karier kemiliteran era Gatot saat itu sebagai panggilan keakraban.
Sebagaimana diketahui, Gatot merupakan salah satu tokoh pejuang militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Ia dilahirkan pada 10 Oktober 1907 di Banyumas, Jawa Tengah, sebagai putra pertama dari Sajid Joedojoewono.
Panggilan yang disematkan untuk Soeharto yang kelak menjadi Presiden kedua RI ini tidak merasa sakit hati dengan sebutan tersebut. Bukan tanpa alasan, panggilan monyet oleh Gatot Subroto pada bawahannya ternyata memiliki makna tersendiri.
Saat itu, baik Soeharto dan Gatot sama-sama masih aktif berdinas di kemiliteran. Keduanya pun merupakan serdadu bentukan tentara kolonial Hindia Belanda (KNIL), di mana panggilan dengan nama binatang adalah hal yang wajar.
Gatot Subroto pernah berteriak memanggil Soeharto Ketika sedang berada di pertempuran Palagan Ambarawa. “Hei monyet, mari ke puncak sini” ujar Gatot kepada Soeharto saat itu. Soeharto yang mendengar hal tersebut pun tidak ingin ambil pusing ataupun marah pada Gatot.
Karena secara usia dan pengalaman di dunia militer, ia kalah senior dengan atasannya tersebut. Pria yang kelak menjadi RI ke-2 itu pun manut dan nurut meski dirinya dipanggil monyet. Selain kalah senior dan pengalaman militer, Gatot merupakan sosok yang berjasa besar pada Soeharto.
Dalam buku Suharto: Sebuah Biografi Politik karya Robert Elson, disebutkan bahwa Gatot Subroto ikut menyelamatkan karier Soeharto yang nyaris dikeluarkan dari Angkatan Darat karena terlibat kasus penyelundupan.
Sosok Gatot Soebroto sendiri mempunyai hubungan dekat dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, walaupun pangkat Gatot lebih rendah. Setelah Perjanjian Roem-Royen ditandatangani.
Pemerintah Republik Indonesia pun kembali ke Yogyakarta. Namun Jenderal Soedirman masih bergerilya memimpin anak buahnya ke Yogya, dan hanya Gatot Soebroto lah yang berhasil melemahkan pendirian Panglima Besar itu.
Hingga akhirnya pada pada tanggal 10 Juli 1949 Jenderal Soedirman kembali ke Yogya. Meskipun terkenal disiplin dan sangat keras. Namun sikapnya itu tak membuat ia dijauhi anak buah dan koleganya di tentara.
Dia sangat perhatian dan sayang terhadap anak buah. Bahkan ia rela untuk membela anak buahnya serta berani mengambil risiko. Hal ini terlihat saat ia pasang badan untuk Soeharto. Kala itu, Soeharto menjabat sebagai Pangdam IV Diponegoro.
Baca Juga
Soeharto kala itu terindikasi melakukan penyelundupan ilegal. Jenderal AH Nasution dan Ahmad Yani marah sekali dan akan memberikan hukuman keras kepada Soeharto.
Mengetahui itu dengan cepat Gatot Soebroto menemui Presiden Sukarno untuk memberikan pengampunan kepada Suharto dengan jaminan dirinya mampu mengubah perangai Suharto karena menurutnya Suharto masih mungkin berubah.
Profil Gatot Subroto
Gatot Subroto lahir di Banyumas, Jawa Tengah, sebagai putra pertama keluarga Sajid Joedojoewono pada 10 Oktober 1907. Dia tutup usia pada 11 Juni 1962 karena terkena serangan jantung.
Seminggu setelah ia dimakamkan di Desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.283 tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.
Setamat pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi memilih menjadi pegawai.
Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) di Magelang.
Menamatkan sekolah militer di Magelang, Gatot menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda) hingga akhir kependudukan Belanda di Indonesia. Ia dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang.
Gatot dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Dengan bergabung dengan KNIL membuat Gatot Soebroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak.
Kemudian pasca-Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Soeboroto pun mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) dan setelah lulus dari PETA ia memilih menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) setelah kemerdekaan Indonesia.
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) merupakan adalah latar belakang dari nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini.
TKR yang dipimpin oleh Kolonel Sudirman di mana saat itu Gatot Soebroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan Divisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang dalam pertempuran Ambarawa.
Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan pihak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia.
Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto.
Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948.
Serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang pasukan Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
(ams)