Heboh Mal Terbesar di Yogyakarta Dijual, Ini Kata DPD REI
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Salah satu mal terbesar di Yogyakarta, yaitu Jogja City Mall hendak dijual oleh pemiliknya. Aksi penjualan mal di kawasan Sleman ini menarik komentar para netizen dan ada yang menyebut jika dunia Yogyakarta tidak sedang baik-baik saja.
Seperti unggahan dalam akun x JOG MENFESS @jogmfs. "Dunia jog sedang tidak baik-baik saja;) Nih lagi wete'es siapa tau ada yang mau beli" tulis akun tersebut.
Unggahan tersebut dilengkapi dengan tangkapan layar iklan penjualan Jogja City Mall dari akun media sosial lainnya. Unggahan tersebut mengundang komentar beragam dari warganet.
Dalam komentarnya bahkan ada yang menyebut jika Yogyakarta tidak butuh banyak mal. Yogyakarta hanya butuh 3 mal yang memang menjadi perintis pusat perbelanjaan besar di DIY.
MAN hari @harsupp Membalas @jogmfs "Sakjane jogja gur butuh 3 mall, mall malioboro, amplaz & pakuwon. Liyane mesakke ges, ketok sepi ngono," tulisnya.
Ada juga yang justru memperjelas harga dengan menyebut angka Rp3 triliun dan juga spesifikasinya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Yogyakarta Ilham Muhammad Nur mengaku heran mengapa postingan iklan penjualan mal tersebut mengundang kehebohan warganet.
Penjualan mal sebenarnya hal yang biasa dan lazim. “Penjualan sebuah properti seperti mal ataupun hotel sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim ataupun biasa," katanya.
Dia mencontohkan ketika pandemi COVID-19, banyak properti yang berpindah tangan karena menghindari kerugian lebih besar. Misalnya, Hartana Mall Yogyakarta berpindah tangan dan menjadi Pakuwon Mall. “Bahkan kala itu (Hartono Mall) harganya murah," katanya.
Ilham mengatakan terkait harga tentu banyak yang menjadi pertimbangan. Jika sekarang JCM ditawarkan Rp3 triliun, menurut dia itu tergantung manfaat dan prospek bisnis ke depan.
Menurut dia penjualan gedung-gedung megah seperti mal ataupun hotel tidak selamanya karena bisnisnya tengah sepi. “Belum tentu karena sepi atau merugi," terangnya.
Menurutnya, bisa jadi pemilik ingin mendapatkan properti lain yang lebih baik ataupun sekedar menguji harga layak untuk aset yang dimilikinya. Jadi sebuah properti dijual tidak mencerminkan jika dia sedang tidak baik-baik saja.
Ilham mengatakan apa yang nampak itu hanyalah permainan pasar dan tidak mencerminkan kondisi realnya. Di mana ketika properti itu dijual menunjukkan kondisi bisnisnya dalam keadaan menurun. Walau memang ada yang menjual properti karena kondisi bisnisnya menurun.
Seperti unggahan dalam akun x JOG MENFESS @jogmfs. "Dunia jog sedang tidak baik-baik saja;) Nih lagi wete'es siapa tau ada yang mau beli" tulis akun tersebut.
Unggahan tersebut dilengkapi dengan tangkapan layar iklan penjualan Jogja City Mall dari akun media sosial lainnya. Unggahan tersebut mengundang komentar beragam dari warganet.
Dalam komentarnya bahkan ada yang menyebut jika Yogyakarta tidak butuh banyak mal. Yogyakarta hanya butuh 3 mal yang memang menjadi perintis pusat perbelanjaan besar di DIY.
MAN hari @harsupp Membalas @jogmfs "Sakjane jogja gur butuh 3 mall, mall malioboro, amplaz & pakuwon. Liyane mesakke ges, ketok sepi ngono," tulisnya.
Ada juga yang justru memperjelas harga dengan menyebut angka Rp3 triliun dan juga spesifikasinya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Yogyakarta Ilham Muhammad Nur mengaku heran mengapa postingan iklan penjualan mal tersebut mengundang kehebohan warganet.
Penjualan mal sebenarnya hal yang biasa dan lazim. “Penjualan sebuah properti seperti mal ataupun hotel sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim ataupun biasa," katanya.
Dia mencontohkan ketika pandemi COVID-19, banyak properti yang berpindah tangan karena menghindari kerugian lebih besar. Misalnya, Hartana Mall Yogyakarta berpindah tangan dan menjadi Pakuwon Mall. “Bahkan kala itu (Hartono Mall) harganya murah," katanya.
Ilham mengatakan terkait harga tentu banyak yang menjadi pertimbangan. Jika sekarang JCM ditawarkan Rp3 triliun, menurut dia itu tergantung manfaat dan prospek bisnis ke depan.
Menurut dia penjualan gedung-gedung megah seperti mal ataupun hotel tidak selamanya karena bisnisnya tengah sepi. “Belum tentu karena sepi atau merugi," terangnya.
Menurutnya, bisa jadi pemilik ingin mendapatkan properti lain yang lebih baik ataupun sekedar menguji harga layak untuk aset yang dimilikinya. Jadi sebuah properti dijual tidak mencerminkan jika dia sedang tidak baik-baik saja.
Ilham mengatakan apa yang nampak itu hanyalah permainan pasar dan tidak mencerminkan kondisi realnya. Di mana ketika properti itu dijual menunjukkan kondisi bisnisnya dalam keadaan menurun. Walau memang ada yang menjual properti karena kondisi bisnisnya menurun.
(wib)