Radio Tak Bersegel, Rengasdengklok dan Proklamasi Kemerdekaan RI
loading...
A
A
A
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), militer Jepang melarang peredaran radio secara bebas. Hanya radio-radio yang sudah tersegel atas izin Jepang yang boleh dimiliki dan digunakan penduduk di Indonesia.
Salah satu penggerak Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) Sutan Sjahrir punya kegemaran mendengarkan siaran radio. Sjahrir memilik sebuah radio kesayangan berwarna gelap yang selalu disembunyikan di kamar tidurnya. (Baca juga: Pandemi Covid, Perhatian Publik terhadap Konten TV dan Radio Semakin Besar )
Radio milik Sjahrir itu ilegal karena tidak bersegel alias tidak ada izin dari penguasa Jepang. Sjahrir hanya mengeluarkan radio tersebut ketika ingin mendengarkan kabar berita dari dunia di luar Indonesia. (Baca juga: Kisah Penculikan Sutan Sjahrir dan Kudeta Pertama di RI )
Jurnalis Rosihan Anwar mengungkapkan, Sutan Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang dengan menggunakan radio tersebut.
Menurut Rosihan, Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan penguasa Jepang saat itu dengan menggunakan radio tak bersegel tersebut. Termasuk siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia. “Dari siaran itu, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-temannya di daerah pembuangan,” cerita Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya.
Satu ketika Sjahrir mendengar berita yang dikumandangkan sebuah stasiun radio milik Sekutu dan mengabarkan bahwa Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu. Jepang akhirnya menyerah setelah pemboman atom oleh Amerika Serikat di Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Setelah mendengar informasi Jepang menyerah kepada sekutu, Sjahrir mengabarkan kepada rekan-rekannya di antaranya yakni, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh.
Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut kepada sekutu, golongan muda pejuang Indonesia mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa Indonesia sendiri, bukan pemberian Jepang.
Mendapat kabar dari Sjahrir, Soekarno dan Hatta pada 15 Agustus 1945 mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Kemudian Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat datang sambil menjawab dia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI yang akan dilaksanakan keesokan harinya, pagi 16 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat pada saat itu tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Di sisi lain, para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Tan Malaka yang tergabung dalam gerakan bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan RI tanpa melibatkan Jepang.
Pada dini hari 16 Agustus 1945, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Mohammad Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuan mereka menculik Soekarno-Hatta adalah agar kedua tokoh ini tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, pejuang muda Wikana, dan golongan tua yaitu Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Lalu diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Soekarno dan Moh Hatta kembali ke Jakarta. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka Laksamana Muda Maeda menawarkan untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala Pemerintahan Militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda.
Mocihiro Yamamoto memerintahkan agar Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang Mayor Jenderal Otoshi Nishimura untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Saat itu Nishimura menjelaskan, sejak siang hari, 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.
Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI dengan cara pura-pura tidak tahu. Melihat perdebatan yang panas itu, Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang dipinjam dari kantor perwakilan Angkatan Laut (AL) Jerman milik Mayor (Laut) Dr Hermann Kandeler. Sebab mesin ketik yang dimiliki Laksamada Maeda bertuliskan huruf Jepang, bukan huruf latin. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.
Semula, pembacaan proklamasi rencananya akan dilakukan di Lapangan Ikada. Namun karena alasan keamanan akhirnya pembacaan teks Proklamasi dipindahkan ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi No. 1).
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10.00 pagi dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian dilanjutkan pengibaran bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih). Bendara Merah Putih dijahit oleh Ibu Fatmawati.
Pada awalnya, Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun dia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit.
Akhirnya ditunjuklah seorang prajurit PETA Latief Hendraningrat dibantu Soehoed untuk menaikkan bendera Merah Putih. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih.
Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Salah satu penggerak Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) Sutan Sjahrir punya kegemaran mendengarkan siaran radio. Sjahrir memilik sebuah radio kesayangan berwarna gelap yang selalu disembunyikan di kamar tidurnya. (Baca juga: Pandemi Covid, Perhatian Publik terhadap Konten TV dan Radio Semakin Besar )
Radio milik Sjahrir itu ilegal karena tidak bersegel alias tidak ada izin dari penguasa Jepang. Sjahrir hanya mengeluarkan radio tersebut ketika ingin mendengarkan kabar berita dari dunia di luar Indonesia. (Baca juga: Kisah Penculikan Sutan Sjahrir dan Kudeta Pertama di RI )
Jurnalis Rosihan Anwar mengungkapkan, Sutan Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang dengan menggunakan radio tersebut.
Menurut Rosihan, Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan penguasa Jepang saat itu dengan menggunakan radio tak bersegel tersebut. Termasuk siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia. “Dari siaran itu, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-temannya di daerah pembuangan,” cerita Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya.
Satu ketika Sjahrir mendengar berita yang dikumandangkan sebuah stasiun radio milik Sekutu dan mengabarkan bahwa Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu. Jepang akhirnya menyerah setelah pemboman atom oleh Amerika Serikat di Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Setelah mendengar informasi Jepang menyerah kepada sekutu, Sjahrir mengabarkan kepada rekan-rekannya di antaranya yakni, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh.
Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut kepada sekutu, golongan muda pejuang Indonesia mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa Indonesia sendiri, bukan pemberian Jepang.
Mendapat kabar dari Sjahrir, Soekarno dan Hatta pada 15 Agustus 1945 mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Kemudian Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat datang sambil menjawab dia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI yang akan dilaksanakan keesokan harinya, pagi 16 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat pada saat itu tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Di sisi lain, para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Tan Malaka yang tergabung dalam gerakan bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan RI tanpa melibatkan Jepang.
Pada dini hari 16 Agustus 1945, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Mohammad Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuan mereka menculik Soekarno-Hatta adalah agar kedua tokoh ini tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, pejuang muda Wikana, dan golongan tua yaitu Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Lalu diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Soekarno dan Moh Hatta kembali ke Jakarta. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka Laksamana Muda Maeda menawarkan untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala Pemerintahan Militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda.
Mocihiro Yamamoto memerintahkan agar Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang Mayor Jenderal Otoshi Nishimura untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Saat itu Nishimura menjelaskan, sejak siang hari, 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.
Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI dengan cara pura-pura tidak tahu. Melihat perdebatan yang panas itu, Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang dipinjam dari kantor perwakilan Angkatan Laut (AL) Jerman milik Mayor (Laut) Dr Hermann Kandeler. Sebab mesin ketik yang dimiliki Laksamada Maeda bertuliskan huruf Jepang, bukan huruf latin. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.
Semula, pembacaan proklamasi rencananya akan dilakukan di Lapangan Ikada. Namun karena alasan keamanan akhirnya pembacaan teks Proklamasi dipindahkan ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi No. 1).
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10.00 pagi dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian dilanjutkan pengibaran bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih). Bendara Merah Putih dijahit oleh Ibu Fatmawati.
Pada awalnya, Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun dia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit.
Akhirnya ditunjuklah seorang prajurit PETA Latief Hendraningrat dibantu Soehoed untuk menaikkan bendera Merah Putih. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih.
Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
(nth)