Dihajar Jepang, Penyiar Proklamasi Itu Pincang Selamanya
loading...
A
A
A
Dalam buku Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air, dan Cinta (2005) karya Teguh Esha dituliskan,Joesoef berhasil mengumpulkan awak penyiar pada 10 September 1945. Pada pertemuan itu, mereka membahas gagasan untuk mendirikan stasiun radio nasional guna menggelorakan semangat perjuangan (halaman 63).
Salah satu opsi untuk mencapai itu adalah dengan mengambil alih radio milik Jepang. Menempuh jalan negosiasi untuk mendapatkannya, tidak mungkin. Sebab, Jepang terikat perjanjian perang, di mana semua aset Jepang –termasuk stasiun radio- di Indonesia wajib diserahkan kepada Sekutu.
Jalan satu-satunya melalui aksi perlawanan atau perebutan stasiun secara paksa. Maka, sehari setelah rapat itu, perlawanan merebut stasiun radio Hoso Kyoku dan Kantor Berita Domei dilakukan. Dicatat oleh Kustiniyati Mochtar dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar “Zaman Singapura” 1945-1950 (1992), bahwa Indonesia berhasil merebut Hoso Kyoku yang kemudian ditetapkan sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Sementara Domei menjadi Kantor Berita Antara yang dipimpin Adam Malik (halaman 36).
Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama dan kedua pada 1947 dan 1948, RRI memainkan perannya. Ia menggelorakan semangat perlawanan rakyat Indonesia. Merasa peran RRI sangat berbahaya, Belanda lalu merebutnya. Joesoef beserta sejumlah tokoh RRI lainnya ditangkap dan dipenjara.
Akhir 1949, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia Joesoef dan beberapa rekannya bebas. Sukarno kembali menunjuk Joesoef untuk memimpin RRI. Tangga 11 September 1949 kemudian ditetapkan pemerintah sebagai Hari Lahir RRI. Pada masa ini Joesoef Ronodipoero mencetuskan jargon legendaris “Sekali di Udara Tetap di Udara”. Jargon di masa revolusi yang cukup sakti untuk memompa semangat juang rakyat.
Beberapa tahun setelah memimpin RRI, Joesoef menjalani tugas sebagai Duta Besar di Argentina, Chili, dan Uruguay. Ia juga pernah dipercaya menjadi utusan RI untuk PBB hingga 1976. Di bidang pendidikan dan penelitian, dia ikut membidani lahirnya Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (L3PES) pada 1971.
Memasuki usia 57 tahun, Joesoef memutuskan pensiun dan menikmati masa tua. Joesoef Ronodipoero meninggal tanggal 27 Januari 2008, di Jakarta, pada usia 88 tahun. Sebagai penghormatan atas dedikasinya, dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Diramu dari berbagai sumber)
Salah satu opsi untuk mencapai itu adalah dengan mengambil alih radio milik Jepang. Menempuh jalan negosiasi untuk mendapatkannya, tidak mungkin. Sebab, Jepang terikat perjanjian perang, di mana semua aset Jepang –termasuk stasiun radio- di Indonesia wajib diserahkan kepada Sekutu.
Jalan satu-satunya melalui aksi perlawanan atau perebutan stasiun secara paksa. Maka, sehari setelah rapat itu, perlawanan merebut stasiun radio Hoso Kyoku dan Kantor Berita Domei dilakukan. Dicatat oleh Kustiniyati Mochtar dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar “Zaman Singapura” 1945-1950 (1992), bahwa Indonesia berhasil merebut Hoso Kyoku yang kemudian ditetapkan sebagai Radio Republik Indonesia (RRI). Sementara Domei menjadi Kantor Berita Antara yang dipimpin Adam Malik (halaman 36).
Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama dan kedua pada 1947 dan 1948, RRI memainkan perannya. Ia menggelorakan semangat perlawanan rakyat Indonesia. Merasa peran RRI sangat berbahaya, Belanda lalu merebutnya. Joesoef beserta sejumlah tokoh RRI lainnya ditangkap dan dipenjara.
Akhir 1949, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia Joesoef dan beberapa rekannya bebas. Sukarno kembali menunjuk Joesoef untuk memimpin RRI. Tangga 11 September 1949 kemudian ditetapkan pemerintah sebagai Hari Lahir RRI. Pada masa ini Joesoef Ronodipoero mencetuskan jargon legendaris “Sekali di Udara Tetap di Udara”. Jargon di masa revolusi yang cukup sakti untuk memompa semangat juang rakyat.
Beberapa tahun setelah memimpin RRI, Joesoef menjalani tugas sebagai Duta Besar di Argentina, Chili, dan Uruguay. Ia juga pernah dipercaya menjadi utusan RI untuk PBB hingga 1976. Di bidang pendidikan dan penelitian, dia ikut membidani lahirnya Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (L3PES) pada 1971.
Memasuki usia 57 tahun, Joesoef memutuskan pensiun dan menikmati masa tua. Joesoef Ronodipoero meninggal tanggal 27 Januari 2008, di Jakarta, pada usia 88 tahun. Sebagai penghormatan atas dedikasinya, dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Diramu dari berbagai sumber)
(don)