Kritik Akademisi ke Jokowi Berlanjut, Guru Besar Universitas Brawijaya: Tak Ada Intervensi Kepentingan Politik

Kamis, 08 Februari 2024 - 11:41 WIB
loading...
Kritik Akademisi ke Jokowi Berlanjut, Guru Besar Universitas Brawijaya: Tak Ada Intervensi Kepentingan Politik
Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Prof Rachmad Safaat menegaskan, kritikan kepada pemerintahan Presiden Jokowi tidak dalam tendensi serta kepentingan apapun. Foto/MPI/Avirista Midaada
A A A
MALANG - Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof Rachmad Safa'at menegaskan, keputusan seruan kritikan kepada pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak dalam tendensi serta kepentingan apapun.

Menurutnya, ada lima alasan yang membuat dewan profesor, akademisi, dan mahasiswa UB, pada Selasa lalu (6/2/2024) menyentil pemerintah.



Menurut Guru Besar Fakultas Hukum ini, alasan pertama pengembangan sistem ekonomi dan politik oligarki yang kian kuat di era pemerintahan Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir.



Sistem politik ekonomi oligarki ini kian nampak ketika penguasa membangun elite, yang menguasai sumber daya alam.

"Sistem ini nampaknya pemerintah membangun elite, elite itu orang tertentu, di pengusaha dan pemerintah, untuk menguasai pengambilan keputusan di dewan, dan menguasai sumber daya alam. Sehingga yang lain nggak kebagian, elite oligarki ini tidak lebih dari 100 orang, mereka menguasai 60 persen kekayaan Indonesia, bahkan lebih sekitar 70-an. Selebihnya harus dibagi yang 30 persen itu dibagi ke rakyat Indonesia," kata Prof Rachmad Safa'at dikonfirmasi pada Kamis (8/2/2024)

Di sisi lain, korupsi semasa pemerintahan Presiden Jokowi kian subur. Bahkan indeks korupsi Indonesia di mata dunia kian meningkat. Beberapa negara di dunia, disebut Rachmad, menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup.


Padahal jika kekayaan alam itu dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat, kebutuhan rakyat bisa tercukupi.

"Kemudian yang ketiga ada persoalan di mana Jokowi membangun sistem otoritarian dengan menggerakkan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR, dan tentara, serta polisi, untuk berada dalam cengkraman politik. Sehingga anda lihat saja bagaimana calon presiden yang lain tiba-tiba dilarang oleh Polisi. Ini yang disebut dengan oligarki personal otoritarian," paparnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5345 seconds (0.1#10.140)