Kabel Terancam Dipotong, APJATEL Keluhkan Mahalnya Tarif Sewa Utilitas di Surabaya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pemkot Surabaya mengundang seluruh operator jaringan dan layanan telekomunikasi dalam rangka sosialisasi dan koordinasi atas penilaian sewa barang milik daerah yang telah dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) pada Jumat (7/8/2020) lalu.
Rapat dipimpin oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya , Ikhsan, dan didampingi oleh perwakilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur serta dihadiri oleh operator jaringan dan layanan telekomunikasi yang juga merupakan anggota dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Asosisasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi ( APJATEL ) menyatakan bahwa Pemkot Surabaya bersikukuh tetap akan menerapkan harga sewa dengan pendekatan harga pasar (komersial). (Baca juga: Apjatel: Penerapan Network Sharing Bisa Membuat Perang Harga)
Harga sewa tidak menggunakan pendekatan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap jaringan telekomunikasi yang melintas di seluruh wilayah Kota Surabaya. Lebih lanjut dalam presentasinya, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Ikhsan S memberikan contoh di Jalan Raya Darmodi, di mana saat ini harga pasar tanah di Jalan Raya Darmo mencapai Rp30 juta per meter. (Baca juga: KPPU: Harga Layanan Telekomunikasi Sudah Sesuai Persaingan Usaha Sehat)
Sehingga jika diasumsikan satu jaringan utilitas dimanfaatkan oleh 25 operator, maka Pemkot Surabaya akan mengenakan harga sewa sebesar Rp13.333 per meter setiap tahun untuk setiap operator. Jika operator telekomunikasi memiliki kabel di sepanjang jalan Raya Darmo sepanjang 4 km, artinya setiap operator harus membayar minimal Rp53 juta pertahun. Jumlah yang harus dibayar oleh operator ini akan jauh lebih tinggi lagi ketika mereka memiliki jaringan kabel di dua ruas jalan Raya Darmo untuk keperluan back up jaringan atau memiliki jaringan di wilayah lain di kota Surabaya.
Harga sewa utilitas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya akan berbeda-beda, tergantung harga nilai pasar di wilayah tersebut. Dalam sosialisasi yang dilakukan secara daring, Ikhsan juga menjelaskan bahwa operator telekomunikasi harus segera membayar sewa tersebut kepada Pemkot Surabaya.
Jika tak segera membayar sewa tersebut dan setelah mendapatkan surat peringatan ketiga, maka akan diproses oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan jaringan yang dimiliki operator telekomunikasi akan ditertibkan atau diputus oleh Satpol PP Pemkot Surabaya. Sebagai informasi, saati ni Surat Peringatan pertama (SP1) telah dilayangkan oleh Pemkot Surabaya pada akhir Juli lalu ke hampir seluruh operator telekomunikasi.
Menanggapi rencana Pemkot Surabaya yang akan mengenakan tarif sewa dengan skema komersial, hak itu sangat disesalkan oleh Ketua Umum APJATEL, Muhammad Arif. Menurut Arif, operator telekomunikasi yang tergabung dalam APJATEL dan ATSI, bukan tak ingin mendukung program Pemkot Surabaya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“APJATEL dan ATSI akan mendukung penuh program peningkatan PAD olehPemkot Surabaya. Namun skema harga yang diberikan oleh Pemkot Surabaya tak masuk akal. Saat ini telekomunikasi merupakan kebutuhan utama masyarakat. Sudah seperti listrik dan air. Terlebih lagi di saat pandemi COVID-19 seperti saat ini, di mana masyarakat diharuskan untuk beraktifitas dari rumah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan belajar dari rumah atau School From Home (SFH). Telekomunikasi merupakan urat nadi perekonomian nasional,” ujar Arif.
“Kami meminta kepada Pemkot Surabaya agar jaringan Fibre Optic (FO) yang telah dibangun oleh penyelenggaran jaringan telekomunikasi diperlakukan sebagai infrastruktur vital seperti listrik dan air. Mana mungkin masyarakat Surabaya saat ini bisa menjalankan kegiatannya secara online, seperti melalui Zoom Webinar, Google Meeting dan Class dll, apabila tidak ada FO yang kami bangun di Kota Surabaya,” tegasnya.
Menurut Arif, rencana penerapan harga sewa lahan yang sangat tinggi kepada seluruh operator telekomunikasi tanpa dibarengi dengan adanya upaya dari Pemkot Surabaya untuk membuat ducting atau sarana terpadu utilitas untuk mendukung aktivitas operator telekomunikasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta.
“Pemkot Surabaya hanya mengenakan sewa saja terhadap infrastruktur kabel Fibre Optic (FO) kita di jalan atau area yang dilewati kabel tersebut. Padahal area tersebut tidak hanya digunakan khusus untuk kabel saja. Melainkan untuk area umum juga dan tanpa difasilitasi dengan sarana jaringan utilitas terpadu sebagai bentuk penataan kabel udara. Sebaiknya, ketika kita menyewa properti, harus ada kejelasan mengenai hak dan kewajiban dari pengelola dan penyewa, sehingga membawa manfaat positif bagi kedua belah pihak,” kata Arif.
Arif mengingatkan kepada Pemkot Surabaya dan daerah lain yang mungkin memiliki niat yang sama. Jika Pemkot Surabaya tetap bersikukuh ingin menerapkan harga sewa secara komersial dan tak masuk akal, maka nantinya seluruh kenaikan beban biaya yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi akibat dari mahalnya harga sewa lahan, praktis, akan dibebankan kepada masyarakat di Kota Surabaya.
“Setiap ada tambahan biaya pasti akan mempengaruhi harga jual kita kepada masyarakat. Kami berharap Pemkot Surabaya tak memberikan beban tambahan kepada kami. Terutama di masa pendemi ini di mana masyarakat Surabaya yang saat ini sangat menggantungkan aktivitas ekonomi dan belajarnya pada layanan internet,” kata Arif.
Arif juga mengingatkan Pemkot Surabaya untuk tidak melakukan pemotongan kabel operator telekomunikasi. Dalam UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pasal 38 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, di mana ada sanksi pidana terhadap pelanggaran ini.
“Selain sanksi pidana, rencana Pemkot Surabaya yang akan menertibkan jaringan telekomunikasi milik operator dipastikan akan mengganggu program nasional yang tengah digalakkan Presiden Joko Widodo. Presiden mengharapkan layanan broadband dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat denganharga yang terjangkau. Jika Pemkot sampai memutus kabel fiber optic operator telekomuniasi, berarti Pemkot Surabaya bertentangan dengan program nasional yang saat ini digalakkan oleh Presiden Joko Widodo,” pungkas Arif.
Rapat dipimpin oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya , Ikhsan, dan didampingi oleh perwakilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur serta dihadiri oleh operator jaringan dan layanan telekomunikasi yang juga merupakan anggota dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Asosisasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi ( APJATEL ) menyatakan bahwa Pemkot Surabaya bersikukuh tetap akan menerapkan harga sewa dengan pendekatan harga pasar (komersial). (Baca juga: Apjatel: Penerapan Network Sharing Bisa Membuat Perang Harga)
Harga sewa tidak menggunakan pendekatan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap jaringan telekomunikasi yang melintas di seluruh wilayah Kota Surabaya. Lebih lanjut dalam presentasinya, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Ikhsan S memberikan contoh di Jalan Raya Darmodi, di mana saat ini harga pasar tanah di Jalan Raya Darmo mencapai Rp30 juta per meter. (Baca juga: KPPU: Harga Layanan Telekomunikasi Sudah Sesuai Persaingan Usaha Sehat)
Sehingga jika diasumsikan satu jaringan utilitas dimanfaatkan oleh 25 operator, maka Pemkot Surabaya akan mengenakan harga sewa sebesar Rp13.333 per meter setiap tahun untuk setiap operator. Jika operator telekomunikasi memiliki kabel di sepanjang jalan Raya Darmo sepanjang 4 km, artinya setiap operator harus membayar minimal Rp53 juta pertahun. Jumlah yang harus dibayar oleh operator ini akan jauh lebih tinggi lagi ketika mereka memiliki jaringan kabel di dua ruas jalan Raya Darmo untuk keperluan back up jaringan atau memiliki jaringan di wilayah lain di kota Surabaya.
Harga sewa utilitas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya akan berbeda-beda, tergantung harga nilai pasar di wilayah tersebut. Dalam sosialisasi yang dilakukan secara daring, Ikhsan juga menjelaskan bahwa operator telekomunikasi harus segera membayar sewa tersebut kepada Pemkot Surabaya.
Jika tak segera membayar sewa tersebut dan setelah mendapatkan surat peringatan ketiga, maka akan diproses oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan jaringan yang dimiliki operator telekomunikasi akan ditertibkan atau diputus oleh Satpol PP Pemkot Surabaya. Sebagai informasi, saati ni Surat Peringatan pertama (SP1) telah dilayangkan oleh Pemkot Surabaya pada akhir Juli lalu ke hampir seluruh operator telekomunikasi.
Menanggapi rencana Pemkot Surabaya yang akan mengenakan tarif sewa dengan skema komersial, hak itu sangat disesalkan oleh Ketua Umum APJATEL, Muhammad Arif. Menurut Arif, operator telekomunikasi yang tergabung dalam APJATEL dan ATSI, bukan tak ingin mendukung program Pemkot Surabaya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“APJATEL dan ATSI akan mendukung penuh program peningkatan PAD olehPemkot Surabaya. Namun skema harga yang diberikan oleh Pemkot Surabaya tak masuk akal. Saat ini telekomunikasi merupakan kebutuhan utama masyarakat. Sudah seperti listrik dan air. Terlebih lagi di saat pandemi COVID-19 seperti saat ini, di mana masyarakat diharuskan untuk beraktifitas dari rumah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan belajar dari rumah atau School From Home (SFH). Telekomunikasi merupakan urat nadi perekonomian nasional,” ujar Arif.
“Kami meminta kepada Pemkot Surabaya agar jaringan Fibre Optic (FO) yang telah dibangun oleh penyelenggaran jaringan telekomunikasi diperlakukan sebagai infrastruktur vital seperti listrik dan air. Mana mungkin masyarakat Surabaya saat ini bisa menjalankan kegiatannya secara online, seperti melalui Zoom Webinar, Google Meeting dan Class dll, apabila tidak ada FO yang kami bangun di Kota Surabaya,” tegasnya.
Menurut Arif, rencana penerapan harga sewa lahan yang sangat tinggi kepada seluruh operator telekomunikasi tanpa dibarengi dengan adanya upaya dari Pemkot Surabaya untuk membuat ducting atau sarana terpadu utilitas untuk mendukung aktivitas operator telekomunikasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta.
“Pemkot Surabaya hanya mengenakan sewa saja terhadap infrastruktur kabel Fibre Optic (FO) kita di jalan atau area yang dilewati kabel tersebut. Padahal area tersebut tidak hanya digunakan khusus untuk kabel saja. Melainkan untuk area umum juga dan tanpa difasilitasi dengan sarana jaringan utilitas terpadu sebagai bentuk penataan kabel udara. Sebaiknya, ketika kita menyewa properti, harus ada kejelasan mengenai hak dan kewajiban dari pengelola dan penyewa, sehingga membawa manfaat positif bagi kedua belah pihak,” kata Arif.
Arif mengingatkan kepada Pemkot Surabaya dan daerah lain yang mungkin memiliki niat yang sama. Jika Pemkot Surabaya tetap bersikukuh ingin menerapkan harga sewa secara komersial dan tak masuk akal, maka nantinya seluruh kenaikan beban biaya yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi akibat dari mahalnya harga sewa lahan, praktis, akan dibebankan kepada masyarakat di Kota Surabaya.
“Setiap ada tambahan biaya pasti akan mempengaruhi harga jual kita kepada masyarakat. Kami berharap Pemkot Surabaya tak memberikan beban tambahan kepada kami. Terutama di masa pendemi ini di mana masyarakat Surabaya yang saat ini sangat menggantungkan aktivitas ekonomi dan belajarnya pada layanan internet,” kata Arif.
Arif juga mengingatkan Pemkot Surabaya untuk tidak melakukan pemotongan kabel operator telekomunikasi. Dalam UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pasal 38 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, di mana ada sanksi pidana terhadap pelanggaran ini.
“Selain sanksi pidana, rencana Pemkot Surabaya yang akan menertibkan jaringan telekomunikasi milik operator dipastikan akan mengganggu program nasional yang tengah digalakkan Presiden Joko Widodo. Presiden mengharapkan layanan broadband dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat denganharga yang terjangkau. Jika Pemkot sampai memutus kabel fiber optic operator telekomuniasi, berarti Pemkot Surabaya bertentangan dengan program nasional yang saat ini digalakkan oleh Presiden Joko Widodo,” pungkas Arif.
(shf)