Kisah Retaknya Hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada Usai Perang Bubat

Selasa, 19 Desember 2023 - 08:43 WIB
loading...
Kisah Retaknya Hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada Usai Perang Bubat
Hubungan Raja Majapahit Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Mada merenggang usai Perang Bubat yang mengakibatkan Dyah Pitaloka Citraresmi tewas bunuh diri. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
HUBUNGAN antara Raja Majapahit Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Mada merenggang usai Perang Bubat yang mengakibatkan Dyah Pitaloka Citraresmi putra Raja Sunda tewas bunuh diri. Kedua orang tua calon istri Hayam Wuruk dari Kerajaan Sunda serta beberapa pejabat penting tewas di Perang Bubat.

Peperangan kala itu terjadi karena Gajah Mada ingin Sunda yang belum berhasil ditaklukan Majapahit tunduk sebagai negara taklukkan dengan pernikahan politis Hayam Wuruk dan putri cantik Raja Sunda.



Hal ini yang berimbas pada Gajah Mada dijadikan kambing hitam kegagalan pernikahan Hayam Wuruk.

Pasca Peristiwa Bubat itulah, konon Hayam Wuruk masih meneruskan tradisi blusukan ke wilayah kekuasaannya. Konon di blusukannya pasca Peristiwa Bubat itu diarahkan menuju timur ibu kota Kerajaan Majapahit.

Selain menyerap aspirasi masyarakatnya, Hayam Wuruk ingin memastikan keamanan wilayah kekuasaannya. Sebab wilayah Lamajang, yang dituju Raja Majapahit ini kerap kali dilanda peperangan dan ketidakstabilan keamanan serta politik. Konon kunjungan ketiga dilakukan sang raja Majapahit pasca Perang Bubat.

Saat kunjungan ini Gajah Mada yang sempat diistirahatkan pasca kesalahannya di Perang Bubat turut mendampingi Hayam Wuruk dan rombongan kerajaan.



Mansur Hidayat pada penjelasannya di buku "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru", kunjungan terjadi pada 1359 Masehi ke wilayah bekas Kerajaan Lamajang Tigang Juru.



Selain dua pejabat utama yakni Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kunjungan ke Lamajang ini juga diikuti para menteri, tanda, pendeta, pujangga, abdi istana, dan dikawal ribuan pasukan.

Rombongan besar ini melakukan kunjungan diplomasi yang sangat penting, karena merupakan wilayah yang kerap terjadi pergolakan.

Pada kunjungannya ini rombongan Kerajaan Majapahit memakan waktu tiga bulan dengan menelusuri wilayah timur ibu kota Majapahit. Rombongan lantas bergerak menuju Malang dan Pasuruan, yang merupakan wilayah inti Kerajaan Majapahit.

Berturut-turut rombongan lantas melintasi Pawijungan yang diperkirakan di daerah Bantaran (Probolinggo selatan), yang kemudian menuruni Pesawahan (daerah Sawaran) dengan melintasi sawah dan kemudian menuju Jaladipa, Talapika, dan Padali, yang saat ini bisa diidentifikasi menjadi daerah Ranu Bedali (Ranuyoso dan Klakah sekarang).

Kemudian melintasi Arnon (Biting/Kutorenon) yang merupakan ibu kota langsung menuju Panggulan (diperkirakan Panjunan atau Sukodono sekarang), hingga menuju Tepasena (diperkirakan Purwosono sekarang).

Rombongan ini terus bergerak menuju ke arah Kota Rembang, yang diperkirakan daerah Candipuro, di mana ini merupakan kompleks bekas ibu kota Lamajang di masa lebih kuno.

Rombongan Kerajaan Majapahit ini lantas meneruskan perjalanannya sambil blusukan ke rakyatnya. Rombongan pada akhirnya sampai di Dampar, yang terdapat di pinggir pantai.

Di sinilah rombongan beristirahat cukup lama dengan santai sambil menikmati pemandangan indahnya pesisir pantai.

Dari Dampar ini rombongan berjalan ke arah Timur menuju Patunjungan (Desa Tunjungrejo, Kecamatan Yosowilangun) dan di Kasogatan Bajraka, yang termasuk wilayah Taladwaja dimana banyak penghuninya mengungsi akibat seringnya terjadi peperangan.

Para warga ini memilih mengungsi, untuk menghindari kehadiran rombongan besar karena peperangan antara Majapahit dan Lamajang belum reda setelah berlangsung 43 tahun lamanya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3499 seconds (0.1#10.140)